Eksepsi Raja Erisman Ditolak
PEKANBARU (HR)-Sidang lanjutan kasus dugaan korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu) dengan terdakwa mantan Sekretaris Daerah Inhu, Raja Erisman, kembali digelar di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru, Selasa (19/1). Adapun agenda persidangan, yakni tanggapan Jaksa Penuntut Umum terhadap eksepsi terdakwa.
Eksepsi
Dalam tanggapannya, JPU Putra Himawan dari Kejaksaan Negeri Rengat menyatakan kalau pihaknya menolak eksepsi atau keberatan yang diajukan terdakwa atas dakwaan JPU, yang disampaikan pada persidangan sebelumnya.
"Menolak eksepsi yang diajukan terdakwa. Meminta majelis hakim untuk melanjutkan persidangan ini," ungkap JPU Putra Himawan, di hadapan majelis hakim yang diketuai Rinaldi Triandiko.
Tanggapan JPU atas eksepsi terdakwa yang disebutkan jika dakwaan prematur dijawab kalau penilaian hal tersebut merupakan tugas dan kewenangan majelis hakim.
"Dakwaan jaksa prematur, tidak beralasan, karena yang menentukan nantinya adanya atau tidak kerugian negara adalah majelis hakim. Sehingga eksepsi terdakwa yang menyebut dakwaan jaksa prematur karena tidak berwenang melakukan perhitungan kerugian negara tidak dapat diterima," tegas Putra.
Raja Erisman, yang merupakan mantan Sekretaris Daerah Kabupaten (Sekdakab) Inhu, didakwa dalam perkara dugaan korupsi penyimpangan APBD Inhu Tahun 2011-2012, atas dana sisa kas daerah tersebut. Diduga atas perkara tersebut terjadi kerugian negara sebesar Rp2,7 miliar.
Atas perbuatannya, Raja Erisman dijerat dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah ditambah dan diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Usai persidangan, Kepala Seksi (Kasi) Pidana Khusus (Pidsus) Kejari Rengat, Roy Madino menjelaskan jika kewenangan Kejaksaan dalam perhitungan kerugian negara menurutnya telah diatur dalam Undang Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
"UU Tipikor di penjelasannya sudah disebutkan, bahwa kita termasuk instansi yang berwenang menghitung kerugian negara," pungkas Roy.
Ini menjawab eksepsi terdakwa yang mempertanyakan proses perhitungan kerugian negara dalam perkara ini yang dilakukan oleh penyidik Kejaksaan, bukan lembaga pemeriksa keuangan.
Untuk diketahui, kasus ini bermula tahun 2011 hingga 2012, saat Raja Erisman menjabat sebagai Sekdakab Inhu. Dalam pengelolaan uang APBD Inhu 2011 dan 2012, terjadi penyimpangan pada sisa kas daerah sebesar Rp2,7 miliar, yang belum dipertanggungjawabkan oleh Bendahara Pengeluaran Setdakab Inhu, Rosdianto.
Saat itu, Erisman diduga memerintahkan kepada Rosdianto untuk menutupi kekurangan dana tersebut dengan dana Uang Persediaan (UP). Selanjutnya, Bendahara Rosdianto meminta kepada Bendahara Pembantu, Putra Gunawan untuk menarik dana UP tahun 2012 sebesar Rp10 miliar lebih untuk menutupi sisa kas tahun 2011 yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Selanjutnya Erisman diduga menerbitkan Surat Perintah Membayar (SPM) UP 2012 dan ditandatanganinya selaku pengguna anggaran dan dibawa ke Kepala Bagian Keuangan untuk diterbitkan SP2D-nya, oleh Kepala Bagian Keuangan, yang saat itu dijabat oleh Hasman Dayat. Oleh Hasman, menerbitkan SP2D sehingga dana UP Rp10 miliar tersebut dicairkan.
Keterlibatan Erisman diduga karena menandatangani bukti Surat Tanda Setoran (STS) dengan uraian rincian objek adalah pengembalian sisa dana UP dan GU sekretariat daerah tahun 2011 sebesar Rp2.775.637.880, tertanggal 23 Februari 2012.
Dalam perkara ini sebelumnya telah menjerat mantan Bendahara Setda Inhu, Rosdianto, dan Putra Gunawan. Keduanya telah divonis masing-masing 6 tahun kurungan. (dod)