Memahami Konsep Jihad
Tidak ada istilah paling sering disebut orang belakangan ini kecuali kata terorisme dan jihad. Pengaburan dan kejahilan sebagian orang membuat kesan seolah-olah dua kata ini sinonim atau sama artinya. Karena gagal atau salah memahami konsep jihad dan bahkan melupakan sama sekali konteks sejarah, hukum, rukun, syarat, dan adab-adabnya, terjadilah berbagai macam aksi dan reaksi yang merugikan, distorsi, dan disfungsi yang kontraproduktif.
Menurut Sayyid Sabiq, jihad berasal dari kata juhd, artinya upaya, usaha, kerja keras, dan perjuangan. Seseorang dikatakan berjihad apabila ia berusaha mati-matian dengan mengerahkan segenap kemampuan fisik maupun materil dalam memerangi dan melawan musuh agama (Fiqh as-Sunnah, Beirut: Mu'assasat ar-Risalah, 1422 H/2002, 3:79). Dengan kata lain, berjihad sama dengan berperang (qital), seperti dimaksud dalam imperatif ini: jaahidi l-kuffar wa l-munafiqin (QS 9: 73 dan 66: 9). Adapun hadis riwayat Imam al-Bayhaqi dan al-Baghdadi yang menyatakan perang melawan hawa nafsu adalah, jihad akbar, sebagian ulama seperti az Zayn al Iraqi dan Ibn Hajar al Asqalani menilainya sebagai hadis lemah.
Dalam sejarah Islam, perintah jihad dalam arti qital turun di Madinah pada tahun kedua Hijriyah atau kurang lebih 14 tahun setelah beliau berdakwah, mengajak orang kepada Islam memperkenalkan dan mengajarkannya secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Selama lebih dari satu dekade di Mekah, Rasulullah SAW diperintahkan menghindari konfrontasi dengan kaum pagan. Beliau disuruh bersabar dan memaafkan mereka yang tak henti-hentinya mengintimidasi dan meneror.
Seperti kita ketahui, teroris semacam Abu Jahl ibn Hisyam dan Abu Lahab tidak hanya menolak, tapi juga merintangi dan berusaha melumpuhkan dakwah Islam, sering kali bahkan dengan kekerasan dan penyiksaan. Namun, Allah SWT berfirman, Maafkan mereka dan katakanlah salam perdamaian (QS 43: 89). Beritahukan kaum beriman, hendaklah mereka mengampuni orang-orang yang tidak mengharapkan hari-hari Allah (QS 45: 14). Kaum Muslim pada masa itu juga dilarang membalas kekerasan dengan kekerasan. Mereka dipuji karena mampu bersabar dan membalas kejahatan dengan kebaikan (QS 13: 22).
Yang menjadi prioritas pada masa itu adalah pembinaan individu dan pembentukan jamaah Muslim yang solid (Imam Ibn Katsir, Tafsir Alquran al Azhim, Beirut, al Maktabah al Ashriyyah, 1416 H/1995, jilid 3, hlm 213). Penindasan, kezaliman, dan teror kaum kafir Quraisy terhadap komunitas muslim mencapai klimaks ketika Rasulullah SAW dan para pengikutnya mulai dipersekusi. Saat itu di Mekah hampir tidak ada lagi ruang tersisa untuk kaum muslim menghirup kebebasan beragama.
Sejumlah petinggi Quraisy telah berkonspirasi untuk menghabisi Nabi Muhammad SAW, once and for all. Hanya ada dua pilihan bagi kaum muslim saat itu, bertahan di Mekah tetapi keluar dari Islam atau bertahan dalam Islam tetapi keluar dari Mekah. Dan mereka memilih kedua, hijrah ke Madinah (Imam Ibn Katsir, as Sirah an Nabawiyyah, ed Mushthafa Abdul Wahid, Beirut, Dar al Fikr, 1398 H/1978, jilid 2, hlm 213-266). Di Madinah, Rasulullah SAW melakukan penataan ke dalam dan perluasan sayap dakwah Islam ke luar. Beliau mendirikan masjid, memimpin Salat Jumat, mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan Anshar, melakukan diplomasi, negosiasi, dan ekspedisi dakwah, baik dengan komunitas lokal, seperti kaum Yahudi dengan membuat Perjanjian Madinah, maupun komunitas internasional, dengan para kepala negara di sekelilingnya.
Kemudian turun pula perintah azan, menyeru orang salat berjamaah, dan perintah berpuasa di bulan Ramadan, dan tak lama kemudian turunlah perintah berjihad (QS 22: 39-41; 2: 190-193 dan 2: 216-218). Dalam ayat tersebut dijelaskan mengapa dan untuk apa jihad dilakukan, yaitu apabila orang Islam diperangi, dizalimi, dihalau dari kampung halamannya sendiri, semata-mata karena agama yang diyakininya itu. Jihad diizinkan apabila jalan dakwah disekat, kaum muslim dimusuhi dan diserang, dijajah dan dirampas hak asasinya. Apabila kaum kafir melancarkan udwan, muqatalah, zhulm, dan fitnah terhadap Islam dan umat Islam.
Oleh karena itu, tujuan jihad jelas, untuk mempertahankan diri dan menangkis serangan lawan, menegakkan agama Allah, melepaskan umat Islam dari belenggu penindasan, menjamin dan melindungi hak-hak mereka, mengakhiri kezaliman dan permusuhan, demi terciptanya kedamaian dan keadilan (QS 4: 75). Musuh tidak dicari, tapi kalau bertemu pantang lari.
Begitulah prinsip yang diajarkan (QS 8: 15 dan 47: 4). Jihad hanya dihentikan jika musuh berhenti menyerang dan setuju berdamai, jika mereka berjanji tidak akan menekan dan memusuhi umat Islam lagi (QS 2: 193 dan 8: 61). Sudah barang tentu, jihad memerlukan kalkulasi cermat dan persiapan matang (QS 8: 60), koordinasi yang mantap serta strategi yang tepat dan jitu (QS 61: 4 dan 3: 200). Berjihad tidak boleh sembrono atau asal-asalan, tidak boleh membabi buta dan mengikuti hawa nafsu belaka.
Ada banyak perkara yang perlu diperhatikan oleh seorang mujahid. Pertama, niat yang betul, yakni li i'la'i kalimatillah, bukan untuk gagah-gagahan, cari popularitas, dan tujuan duniawi lainnya. Kedua, harus di bawah komando seorang imam dan setelah ada deklarasi perang. Ketiga, harus seizin kedua orang tua. Keempat, harus banyak berzikir, berdoa, dan bersabar. Kelima, harus memberi kesempatan terakhir kepada musuh sebelum berperang dengan mengajak mereka masuk Islam atau membayar jizyah. Keenam, dilarang membunuh kaum wanita, anak-anak, dan orang-orang lanjut usia. Ketujuh, tidak boleh merusak lingkungan hidup, rumah ibadah, dan fasilitas umum (Abu Bakr al Jazairi, Minhajul Muslim, Kairo, Dar al Aqidah, hlm 272-275).
Berjihad merupakan fardhu kifayah. Artinya, tidak perlu semuanya pergi ke medan perang. Harus ada juga yang ditugaskan membangun umat di sektor lain, terutama pendidikan (QS 9: 122). Jihad bisa menjadi fardhu ayn apabila kampung halaman kita diserang dan diduduki musuh (seperti terjadi pada zaman kolonial dahulu, sekarang, maupun mendatang). Namun demikian, terdapat puluhan ayat Alquran dan hadis Nabi SAW yang menerangkan keutamaan jihad dan penghargaan yang akan diperoleh seorang mujahid, apalagi untuk mereka yang gugur sebagai syuhada (Imam an Nawawi, Riyadh as-Shalihin, Damaskus: Dar Ibn Katsir, 1422 H/2002, 415-435).
Dalam konteks Indonesia dan negara Muslim lainnya dewasa ini, di mana Islam belum total direalisasikan, para tokoh gerakan Islam umumnya berpendapat agenda utama yang mesti didahulukan saat ini adalah membina individu dan organisasi Muslim serta membangun kekuatan umat pada semua lini. ***