Catatan yang Ditelan Hujan
Kepingan hari di Bumi Lancang Kuning belakangan adalah pusaran hujan. Begitu warga menyibak jendela, tiada lagi jala mentari menyapa pagi. Mereka disuguhi jalanan yang basah, sawah dan ladang, bahkan pemukiman warga terendam.
Sketsa Kota Bertuah pun dibuat tak lagi segak perkasa. Tengok saja beberapa ruas jalan utama, tak jarang air doyan nian menggenang. Tak pelak, arus lalu lintas dikebat macet tanpa kira masa. Konon pemantiknya, selain drainase kota ini digarap setengah hati hingga sampah dibuang sekenanya. Boleh saja dinas dan instansi terkait melakukan planing tata kota sedemikian aduhai, namun fakta lapangan, tetap saja jalan di tempat adanya.
Barangkali Pekanbaru tak sendirian perihal banjir. Di daerah semisal Indragiri Hulu. Banjir melanda justru mencapai status siaga III. Beberapa desa mulai digenangi banjir. Puluhan rumah sudah terendam termasuk fasilitas pendidikan, kesehatan seperti Pustu dan juga infrastruktur jalan serta kebun karet, sawit, sawah serta ladang masyarakat.
Pemukiman warga yang terendam semisal, Pasir Keranji Kecamatan Pasir Penyu, Pasir Bongkal Kecamatan Sungai Lala, Desa Petalongan, Kecamatan Rakit Kulim dan beberapa desa lainnya. Di Desa Pasir Keranji, air malah memasuki lebih kurang 20 rumah warga, lainnya baru sebatas halaman, karena rumah mereka beruntung ulah membuat rumah panggung, namun jika keluar rumah warga terpaksa harus menggunakan sampan.
Selain itu juga kebun sawit dan karet juga sudah terendam.
Dan suatu pagi, seorang rekan di tanah seberang berceloteh di jejaring sosial. Bunyinya lebih kurang begini,”Habis asap terbitlah banjir.” Celoteh itu disahut dengan gempita oleh rekan lainnya. Titik simpulnya adalah, konon manusia kini bangga justru dengan dosa. Tawa mereka pun pecah di hari yang basah. Seketika mereka tersontak kala diibukota dihembuskan BBM turun. Sayangnya, harga sembako malah bergeming, kalau tak patut dibilang harga masih selangit.
Sepagi ini wajah Kota Bertuah serasa pasi tanpa mentari, saat pesan pendek dari rekan di Ibukota singgah lagi. "Teror bom Jakarta ulah pedagang kopi keliling yang kalah saing." Aih, kelakar nian kawan itu. Ia bilang, segelas starbucks coffee Rp50 ribu, bagaimana pedagang keliling itu nggak mengamuk.
Wajah Kota Bertuah yang basah, wajah Ibukota yang siaga dampak bom teroris serasa mengiris. Bagi warganya, kehidupan takkan berhenti, meski sedemikian menyebakkan. Alam selalu mengajarkan, waktu tak pernah berjalan surut bukan? ***