Menuju Lembaga Riset Kelas Dunia
Perkembangan perekonomian suatu negara saat ini semakin bergantung pada penguasaan dan kemajuan iptek. Kesadaran negara maju tentang peran teknologi dalam pertumbuhan perekonomian telah mendorong mereka untuk terus menciptakan inovasi teknologi yang berkelanjutan. Sebaliknya, di Indonesia, inovasi teknologi hanya terdengar sebagai suatu hal yang biasa, dan kurang adanya perhatian yang serius mengenai hal tersebut.
Inovasi teknologi tidak terlahir dengan sendirinya. Lembaga riset atau lembaga penelitian dan pengembangan adalah salah satu pihak yang bertanggung jawab dalam melahirkan invensi dan inovasi tersebut. Ironisnya, kualitas lembaga riset di Indonesia masih tergolong rendah. Menurut World Economic Forum, skor kualitas lembaga riset Indonesia pada tahun 2015 adalah 4,8 (skala 1-7), dan menempati urutan ke-41 dari 144 negara. Posisi ini jauh tertinggal dibandingkan negara ASEAN lainnya, seperti Singapura (skor 5,6 di urutan ke-11), dan Malaysia (skor 5,2 di urutan ke-20).
Selama ini, pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan kualitas lembaga riset, tetapi sampai sekarang belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Kegagalan dalam meningkatkan kualitas lembaga riset terjadi karena kebijakan pemerintah tidak mengarah pada pengaturan faktor-faktor kunci yang mampu mendorong peningkatan kualitas dan kinerja lembaga riset secara signifikan.
Tidak adanya peta atau basis data lembaga riset sebagai pijakan kebijakan pengembangan lembaga riset di Indonesia merupakan salah satu permasalahan utama yang harus segera diatasi. Disadari atau tidak disadari, banyak sekali lembaga yang melaksanakan kegiatan riset. Mereka tersebar di lembaga pemerintah (kementerian dan nonkementerian), perguruan tinggi, industri, di daerah, maupun di masyarakat. Mustahil bagi pemerintah untuk mampu menciptakan lembaga riset kelas dunia tanpa mengetahui gambaran kondisi lembaga riset di Indonesia, baik tentang jumlah, sebaran, sumber daya, dan kompetensi inti yang dimiliki, serta hal-hal strategis lainnya terkait data lembaga riset di Tanah Air.
Berikutnya, ketidakjelasan arah kebijakan pembinaan lembaga riset. Tidak jelasnya arah pembinaan ini diperparah dengan kebijakan pembinaan yang menggeneralisasi lembaga riset tanpa mengikuti tahapan perkembangan lembaga riset. Sebagaimana pendapat Adizes (1999), bahwa bagaimanapun organisasi seperti organisme hidup, ada serangkaian tantangan yang unik pada setiap tahap perkembangannya. Terkait dengan hal ini, maka hendaknya strategi pembinaan lembaga riset harus disesuaikan dengan tahapan perkembangan lembaga riset, dan perlu adanya kategorisasi lembaga riset berdasarkan tingkat perkembangannya (misal, kategorisasi lembaga riset pratama, madya, dan utama).
Setelah dibina, tentunya perlu ada pengakuan terhadap kinerja dan kualitas lembaga riset tersebut. Akreditasi terhadap lembaga riset menjadi suatu hal yang penting sebagai pengakuan formal terhadap kemampuan lembaga dalam melaksanakan riset tertentu. Pelaksanaan akreditasi lembaga riset hendaknya juga dibarengi dengan pelaksanaan sertifikasi SDM pelaku riset yang ada di lembaga riset sebagai pengakuan formal terhadap kompetensi.
Keberhasilan membangun penguatan lembaga dan SDM di dalamnya, tidak serta-merta menjadikan lembaga riset tersebut berkualitas unggul. Jaringan kerja sama turut menentukan kecepatan kemajuan dari sebuah lembaga riset. Penguatan jaringan kerja sama dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu pendekatan informal melalui komunitas peneliti (komunitas iptek), dan pendekatan antarlembaga riset. Sering kali kerja sama lembaga riset diawali dengan hubungan informal jaringan komunitas iptek, yang secara bertahap meningkat menjadi kerja sama formal antarinstitusi.
Selanjutnya, untuk menumbuhkan motivasi dan menciptakan kompetisi, perlu adanya suatu bentuk apresiasi untuk lembaga riset. Jaminan royalti terhadap hak kekayaan intelektual (HKI) yang dihasilkan peneliti masih dipandang sebagai salah satu bentuk apresiasi yang mampu mendorong peneliti untuk berinovasi. Bagi peneliti yang berprofesi sebagai PNS, sistem royalti yang berlaku saat ini masih dianggap belum mampu menumbuhkan gairah peneliti untuk berinovasi karena HKI dari penelitian yang dibiayai pemerintah dianggap sebagai milik negara. Perlu adanya mekanisme pembagian royalti yang jelas dan menarik bagi peneliti PNS, lembaga riset, dan negara.
Bentuk apresiasi lainnya yang dapat diberikan kepada lembaga litbang, yaitu penganugerahan status "lembaga riset unggulan" atau "lembaga riset terbaik". Adanya penganugerahan status tersebut akan mampu menumbuhkan motivasi dan menciptakan kompetisi yang positif dalam mengejar status "terbaik" atau "unggulan".
Terakhir, yaitu dukungan pendanaan bagi lembaga riset. Menurut World Bank, nilai rasio belanja riset nasional terhadap produk domestik bruto (PDB) saat ini masih pada kisaran 0,09 persen, di mana kondisi ini jauh lebih rendah dibanding rata-rata rasio di negara maju, yaitu sebesar dua persen dari PDB. Kondisi ini diperparah dengan kenyataan bahwa 67 persen pembiayaan kegiatan riset di Indonesia berasal dari pemerintah, di mana persentase belanja riset terhadap APBN terus mengecil dari tahun-ke tahun (LIPI, 2014). Di samping perlu adanya perhatian pemerintah untuk memperbesar alokasi anggaran riset dalam struktur APBN, lembaga riset harus kreatif dalam mencari sumber pendanaan nonpemerintah.
Memang, untuk mewujudkan lembaga riset kelas dunia tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh komitmen yang sungguh-sungguh dari pemerintah dan para pemangku kepentingan lainnya. Namun, yakinlah bahwa usaha keras menciptakan lembaga riset kelas dunia akan terbayar seiring melimpahnya inovasi yang dihasilkan dan terjadinya percepatan pertumbuhan ekonomi yang berbasis iptek. ***
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia