Pemerintah ‘Palak’ Rp27,38 T dari BBM
JAKARTA (HR)-Rencana pemerintah memungut dana ketahanan energi dari setiap penjualan bahan bakar minyak jenis solar dan premium, masih terus menuai kontra. Selain dinilai aturannya belum jelas, kebijakan itu menimbulkan kesan pemerintah mengambil keuntungan alias 'memalak' dana dari sektor ini hingga sebesar Rp27,38 triliun per tahun.
Seperti diketahui, mulai 5 Januari 2016 mendatang, pemerintah menurunkan harga solar dari Rp6.700 per liter menjadi Rp5.650. Kemudian ditambah pungutan untuk dana ketahanan energi sebesar Rp300 per liter. Sehingga, harga baru solar menjadi Rp5.950 per liter.
Pemerintah
Sedangkan harga premium turun dari Rp7.300 menjadi Rp6.950 ditambah pungutan untuk dana ketahanan energi sebesar Rp200. Sehingga harga baru premium menjadi Rp7.150 per liter.
Rencana in diterapkan, juga sebagai persiapan menghadapi perubahan harga minyak dunia. Sehingga jika harga minyak mentah tinggi, maka dana tersebut bisa menjadi penyelamat dan membuat harga BBM tidak ikut naik.
Namun, dana tersebut dikhawatirkan malah menjadi celah bagi para oknum pencari rente di pemerintah. Seperti dituturkan Wakil Ketua DPP Partai Gerindra, Arief Poyuono, ia menyebutkan dana pungutan tersebut sangat rawan disalahgunakan.
"Rakyat harus membiayai ketahanan energi, sementara dana tersebut tidak mudah dikontrol penggunaannya karena masuk pendapatan Negara bukan pajak," kata Arief dalam keterangan tertulisnya, Minggu (27/12).
Ia menilai, kebijakan pemerintah membebankan dana ketahanan energi tersebut kepada rakyat, merupakan bentuk ketidakmampuan pemerintah meningkatkan penerimaan di luar pajak dan royalti pertambangan.
Dalam perhitungannya, kebutuhan BBM setahun 1.294.000 barel dengan 1 barel sebanyak 159 liter, maka jika dikali 365 hari, kemudian dikali dana pungutan sebesar Rp200 tiap liternya, maka dana ketahanan energi yang diperoleh mencapai Rp15,2 triliun.
Sementara pungutan dari subsidi produk biodiesel sebesar USD50 per ton untuk CPO, dan USD30 per ton untuk produk turunnya. Saat ini, ekspor CPO setiap tahun mencapai 12 juta ton. Jika dikali USD50, maka dana untuk ketahanan energi yang didapat sebesar USD600 juta atau setara Rp8,4 triliun. Adapun ekspor turunan CPO, dari 9 juta ton per tahun dikali USD30 menghasilkan dana ketahanan USD270 juta atau setara Rp3,78 triliun per liter.
"Total tanggungan rakyat untuk ketahanan energi per liter itu Rp27,38 triliun. Apakah ini yang namanya sudah tidak memberi subsidi malah pemerintah justru disubsidi rakyat," ujarnya.
Senada, Direktur Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan, pemerintah harus transparan dalam memungut dana ketahanan energi. Apalagi dana itu didapat dari pungutan penjualan premium dan solar. “Dana ketahanan energi harus jelas landasan hukumnya,” ujarnya.
Menurutnya, pemerintah harus membuat aturan yang jelas menunjuk BUMN sebagai pengelola dana ketahanan energi sehingga benar-benar dimanfaatkan secara produktif. “Harus ada koordinasi pertanggungjawabannya sehingga dapat terimplementasi dengan baik. Jumlah harus transparan sehingga tidak rentan korupsi,” ujarnya.
Payung Hukum
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Satya Widya Yudha, menilai, rencana tersebut harus memiliki payung hukum yang jelas. SUpaya hal itu tercapai, rencana itu pemberintah itu seharusnya dimasukkan dalam pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2016.
Satya menjelaskan, hal tersebut mengingat dana pungutan harus diatur melalui undang-undang dan dipertanggungjawabkan melalui audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
"Pemerintah tidak bisa hanya bersandar pada Undang-Undang Energi terhadap pungutan kepada rakyat, walaupun ide besar tersebut sangat baik untuk kelangsungan energi kita ke depan," ingatnya.
Satya menuturkan, mekanisme dana ketahanan energi ini bisa dibuat sama seperti dana cadangan risiko energi, yang ada dalam APBN 2013. Saat itu, tambahnya, dana cadangan risiko energi dicadangkan dalam APBN 2013 untuk menghadapi manakala terjadi lonjakan subsidi baik listrik maupun BBM.
Sementara itu, dana ketahanan energi dimaksudkan untuk pengembangan energi baru dan terbarukan agar energi fosil tidak lekas habis. "Mekanisme dibuat sama agar pungutan itu menjadi berpayung hukum dan aktivitas pembelanjaannya dikontrol DPR sesuai Undang-Undang APBN," ucap Satya.
Salah Sebut
Sedangkan pengamat energi nasional, Sofyano Zakaria, mendukung rencana pemerintah tersebut. Menurutnya, anggaran energi itu lebih tepat disebut dengan harga ambang batas tertinggi dan ambang batas bawah. "Saya memahami bahwa itulah yang dimaksudkan Menteri ESDM," ujarnya.
Ia menilai, Menteri ESDM Sudirman Said salah menyebutkan istilah itu dan terlanjur menyebutnya sebagai anggaran ketahanan energi.
Menurutnya, pungutan tersebut harusnya dipahami sebagai ekstra margin atau keuntungan lebih sebagai anggaran cadangan, untuk menutup kerugian ketika harga BBM seharusnya naik tetapi tidak dinaikkan.
"Dengan adanya ambang batas atas dan ambang batas bawah dan selama floor dan ceiling itu tidak terlewati, maka harga jual ke masyarakat tidak boleh berubah," katanya.
Menurutnya, kebijakan harga dengan ambang batas atas dan ambang batas bawah bisa merupakan jawaban atas tidak disetujuinya konsep dana stabilisasi BBM atau energi sebagaimana juga terhadap dana stabilisasi pangan yang tidak ada dalam APBN. (bbs, okz, dtc, kom, azw)