Kepemimpinan dalam Dimensi Moral dan Agama
Kita baru saja menyelesaikan hajatan besar, yakni pesta Pilkada yang telah rampung dan sukses. Semoga tidak ada masalah menjelang pelantikan bagi calon yang memenangkannya.
Semoga menjadi pemimpin yang benar-benar dapat dicontoh teladani oleh rakyatnya dalam segala bidang, terutama dalam bidang politik, ekonomi dan dunia hukum. Ross Perot, seorang eksekutif dan politikus Amerika berkeyakinan, bahwa pemim pinan yang efektif adalah faktor yang sangat penting dalam dunia saat ini, baik dalam dunia politik maupun ekonomi dan lain-lainnya. Tetapi sayangnya faktor tersebut sering tidak ada pada diri orang-orang yang memegang status pemimpin.
Dalam sebuah komentarnya mengenai situasi politik dan ekonomi Amerika dewasa ini, dia katakan, negara menjerit mengenai kepemimpinan di bidang bisnis dan politik. Kekurangan kepemimpinan adalah masalah besar yang dihadapi dalam membuat negara ini tetap kompetitif. Warren Bennis dan Burt Nanus, menggambarkan pentingnya kepemimpinan yang efektif bagi organisasi dan perusahaan sebagai berikut, sebuah perusahaan yang hanya bermodal kecil bisa meminjam uang, dan perusahaan yang berada di lokasi yang tidak tepat bisa pindah tempat.
Tetapi sebuah perusahaan yang tidak memiliki seorang pemimpin yang baik hanya punya sedikit kans untuk selamat.
Pemimpin dengan dasar-dasar teori apapun yang dia miliki, apakah atas dasar teori sifat yang diperoleh secara genetik, atau atas dasar perilaku yang dia dapatkan melalui pelatihan, atau proses interaksi sosial lainnya, atau atas dasar situasional yang dia peroleh karena adanya peluang dan adanya ketepatan dalam memilih gaya kepemimpinan, dia selalu mempunyai peluang untuk menggunakan tiga hal strategis yang dapat mengubah situasi dan kondisi pengikutnya.
Tiga hal tersebut, pengaruh, keputusan dan kekuasaan. Kualitas pemimpin dan efektifitas kepemimpinannya banyak terkait dengan kemampuan dan kemauan si pemimpin. Sejauh mana dia menggunakan pengaruhnya dan untuk tujuan apa pengaruh itu digunakan. Dengan demikian, dengan keputusan yang diambilnya, untuk apa dan untuk kepentingan siapa keputusan itu mesti dilakukan. Dan yang lebih penting lagi dalam penggunaan kekuasaan, untuk apa kekuasaan itu digunakan? Dengan cara bagaimana kekuasaan itu dikerahkan? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang dapat diajukan untuk mengukur kualitas dan efektifitas kepemimpinan seorang pemimpin.
Kejadian yang dialami bangsa kita akhir-akhir ini, baik dalam masalah politik, ekonomi, moral, hukum, korupsi, nepotisme, mafia peradilan, mafia perpajakan, kasus bungkar muat peti kemas, penggusuran tanah rakyat, penyalahgunaan jabatan dan kekayaan negara merupakan panorama atraktif dari penyalahgunaan pengaruh, keputusan, dan kekuasaan yang dipegang oleh sebagian pemimpin-pemimpin bangsa ini.
Edwin A Locke menggambarkan kediktatoran sebagai seorang diktator membuat orang lain bertindak melalui paksaan fisik atau ancaman serangan fisik, beberapa diktator memang melakukan aktivitas tertentu yang menjadi karakteristik dari para pemimpin, seperti menawarkan sebuah misi. Contoh Hitler membangkitkan aspirasi rakyat Jerman dengan menyodorkan suatu Visi mengenai dunia yang didominasi orang Jerman.
Lenin menginspirasi para pengikutnya lewat sebuah visi mengenai dunia utopia komunis. Tetapi seorang diktator selalu atau terutama bertumpu pada kekuatan (force), untuk mengaktualisasikan visi apapun yang ia miliki. Seperti halnya yang pernah dikatakan Mao Zedong, kekuasaan tumbuh dari laras senjata. Pernyataan dan sikap ini mungkin benar untuk kekuasaan seorang diktator, tetapi tidak tepat untuk para pemimpin yang menghormati nilai-nilai moral dan kemanusiaan.
Tokoh Islam dan sekaligus pemimpin yang disegani, tangguh, kuat dan pemberani yakni Umar Bin Khattab, selalu berpesan kepada para pejabat yang diangkatnya, agar tidak menyalahgunakan pengaruh dan kekuasaannya, lebih-lebih jika penyalahgunaan itu dapat merugikan hak orang lain, yang ada di bawah kepemimpinan itu dalam ajaran agama Islam merupakan amanah yang harus dilaksanakan sebagaimana mestinya, dijaga dari berbagai macam distorsi dan penyimpangan, dan dipertanggungjawabkan kepada Tuhan pemberi amanat.
Suatu ketika Umar menegur dengan keras kepada Amru Bin ash, sebagai gubernur Mesir, yang dinilainya telah menyalahgunakan pengaruh dan kekuasaannya, sehingga terjadi perlakuan yang tidak wajar oleh anak Gubernur kepada anak rakyat. Umar berkata kepada Amru, "sejak kapan engkau memperbudak rakyat, padahal mereka dilahirkan oleh ibu mereka sebagai orang-orang yang merdeka?”
Pada waktu Umar Bin Khattab memilih tokoh untuk diangkat menjadi kepala daerah, dia minta pendapat beberapa sahabatnya. Dia berkata, ”Tunjukkan saya orang yang cocok untuk menjadi kepala daerah”. Para sahabat yang diajak bicara bertanya, ”Syarat-syaratnya bagaimana?” Umar menjawab. "Dia orang yang berpengaruh di tengah-tengah masyarakat, meskipun dia tidak memegang jabatan pimpinan. Dan jika dia sedang menjabat sebagai pemimpin, dia hidup seperti warga masyarakat lainnya.”
Umar menginginkan kepala daerah yang mempunyai kepribadian, mempunyai integritas moral, mempunyai sifat yang merakyat, yang egaliter, di samping kemampuan dan kemampuannya. Memasuki dunia modern dan dalam arus globalisasi sekarang dan masa mendatang, yang ditandai dengan model kehidupan yang serba teknikal dan profesional, diramalkan banyak orang yang mengabaikan dimensi moral dan agama dalam kehidupan individual maupun sosial.
HAR Tilar mengatakan, masyarakat masa depan akan bertumpu pada sendi ilmu pengetahuan dan teknologi. Apabila pandai memanfaatkannya, bisa saja ilmu pengetahuan dan teknologi akan mengganti keyakinan umat manusia menjadi ber-Tuhan-kan ilmu pengetahuan dan teknologi. Apabila hal ini terjadi, maka kehidupan manusia kehilangan, oleh karena segala sesuatunya akan ditentukan ilmu pengetahuan dan teknologi dan diarahkan kepada hedonisme dan materialisme. Kemajuan iptek harus diimbangi dengan pengembangan moral dan religi.
Drucher menganjurkan, para pemimipin masa depan harus menonjol bidang lunak yang kurang dapat diukur secara fisik dan matematika, seperti kepribadian dan nilai, yang diyakini secara pribadi. Dalam hal ini sekurang-kurangnya menjadi jelas, pemimpin masa depan harus memiliki integritas moral, kejujuran, kesetiaan pada prinsip, percaya diri, harga diri, keteguhan, tingkat semangat yang tinggi, suatu elastisitas yang memungkinkan pemimpin mampu memelihara ketenangan batin di tengah- tekanan suasana yang berpusat pada urgensi tinggi dan perubahan cepat.
Tholchah Hasan menyebyutkan, tantangan masa depan menuntut para pemimpin untuk mampu mengidentifikasi, mempromosikan, memperkuat, dan hidup sebagai modal dari nilai-nilai inti (rule models of key core values). Pemimpin ini harus menggerakkan kelompok yang beragam ke arah tindakan bersama, dimana mereka mengorbankan beberapa otonomi mereka, demi suatu tujuan umum jangka panjang, serta memberikan yang terbaik dalam mengejar tujuan bersama tersebut. ***
Guru SMA Negeri 1 Tebing Tinggi
Kabupaten Kepulauan Meranti