Akan Melemahkah KPK?
La shaifa kal haqqa wala awna kal shiddiq (tiada pedang lebih tajam selain kebenaran dan tidak penolong kuat hanya kejujuran)- pepatah Arab.
Akan melemahkah posisi Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK)? Pertanyaan ini datang saat beberapa hari lagi akan dipilihnya 5 (lima) pimpinan KPK yang baru, setelah panitia seleksi menyerahkan nama-nama ke DPR.
Pada waktu yang berbarengan DPR juga menetapkan revisi Undang-Undang tentang KPK. Jawabannya ya dan tidak dengan penjelasan berikut:
Pertama, mengenai eksistensi KPK. Memang ada pendapat bahwa pemberantasam korupsi lumpuh. Di Indonesia,kemampuan KPK diragukan.
Faktor utamanya kredibiltas pimpinan kurang mampu menegakkan kebenaran di ranah kumpulan koruptor yang besinergi melakukan perlawanan.
Faktanya di depan mata, pimpinan mudah ditangkap dikriminalkan. Lembaga yang menjadi ujung tombak pemberantasaan korupsi yaitu KPK memang nyaris keok, kalah. Memberantas korupsi menjadi tidak berlanjut, alias mandek.
Kedua, faktor KPK yang berfungsi adhoc. Kita tahu lahirnya KPK diiringi suasana kebatinan bersifat mendesak. Yaitu memberantas korupsi secara ad hoc.
Karean pihak polisi dan kejaksaan dinilai tidak mampu melaksanakannya. Bahkan kedua lembaga penegak hukum itu dinilai seolah-olah telah menjadi bagian dari problem korupsi itu sendiri.
Berangkat dari situasi itu, maka KPK membuat terobosan yang dibekali UU, yaitu UU tentang Pemberantasan Korupsi. Payung hukum ini memungkinkan KPK menangkap siapa saja yang terlibat korupsi sepanjang alasan bukti yang cukup. Ini berhasil dilakukan. Beberapa kasus korupsi diselesaikan. Hanya saja karena KPK bersentuhan dengan Kejaksaan dan Kepolisian, KPK menghadapi banyak lawan yang menantang fungsi KPK yang extra ordinary (luar biasa) tersebut. Ini hambatan eksitensi kelembagaan.
Ketiga faktor dasar kasus penyidikan. Yaitu penyidikan alasan kesalahan dan penyidikan alasan kejahatan. Ini yang jadi persoalan kasus korupsi menjadi tak terbatas dan menumpuk ke KPK. Yaitu kesalahan korupsi karena administrasi, prosedur. Akibatnya perkara berlarut-larut, para tersangka menderita lahir batin karena kasusnya tidak kunjung selesai. Ini menjadi sumbu perlawanan terhadap adanya KPK.
Dari faktor-faktor tadi, yakni kredibilitas pimpinan, soal KPK adhoc atau bersifat sementara, dan cara penanganan KPK yang tidak fokus sehingga, menumpuk, membuat tuntutan agar lembaga KPK ditinjau.
Alasan itu sementara ini yang melumpuhkan daya KPK karena banyak dan kuatnya penentang KPK.
Misalnya dengan mengkriminaliasi pimpinan KPK, pra-peradilan bahkan kini panitia seleksi pimpinan KPK. Ini terkesan akan menjatuhkan KPK dari posisi semula kehadiran pimpinan KPK yang sangat didambakan.
Terhadap persoalan akan lumpuhkah KPK, penulis berpendapat tidak. Mengingat arus pokok masyarakat tetap menentang korupsi. Tapi memerlukan dua hal yaitu:
Pertama, KPK harus kontrol diri hanya menghadapi korupsi yang berdampak luas merugikan negara. Jangan asal-asal, nantinya tidak bisa diselesaikan. KPK harus menindak korupsi yang arahnya kejahatan.
Bukan soal administrasi dan prosedur. Sebab berapa banyak orang menjadi terpidana karena kurang mengerti dan salah dalam adminstrasi. Dua bentuk kesalahan itu diatur berbeda, yang kekeliruan adminstrasi harus dihukum ringan. Sementara yang berbentuk kejahatan, kriminal harus menjadi prioritas dan diancam hukuman berat.
Di atas itu semua, kita tunggu siapa pimpinana KPK yang baru. Kemudian revisi Undang-Undang KPK seperti apa. KPK akan kuat jika pimpinannya menegakkan kebenaran sesuai Undang-Undang. Juga UU KPK yang baru nanti harus memperkuat fungsi KPK bukan melemahkannya.
Akhirnya, KPK kalau mau eksis, tetap menegakkan kebenaran kejujuran. Bukan bermain politik dan kecurangana. Mungkin pepatah Arab di atas bisa bermakna menjadi pegangan KPK yaitu
la shaifa al haqqa wala awna kalsiddiq (tidak ada pedang yang lebih tajam dari kebenaran dan tidak penolong yang lebih kuat dari kejujuran).***
Dosen Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta