Mengubah Indonesia dari Pinggiran
Setiap kali mengunjungi daerah perbatasan dan daerah-daerah terluar Indonesia, saya selalu mendapatkan spirit baru. Disparitas fasilitas infrastruktur di wilayah Pulau Jawa dengan di daerah perbatasan dan pulau-pulau terluar (wilayah pinggiran) demikian nyata. Namun, warga di daerah pinggiran tidak lantas mengiba. Padahal, godaan bagi mereka yang tinggal di perbatasan berpaling demikian besar. Ibarat kata, hanya selangkah saja mereka melongok negeri tetangga, mereka akan menemukan gemerlap pembangunan yang jauh lebih maju. Toh, saudara kita di perbatasan itu bergeming. Mereka enggan berpaling dari Merah Putih. Mereka tetap bersemangat menatap masa depan bersama Indonesia.
Dari warga di pinggiran Indonesia itulah saya kian bersemangat mewujudkan harapan mereka, yakni melaksanakan pembangunan di segala bidang di wilayah pinggiran, khususnya di sektor infrastruktur. Inilah sektor yang saya yakini sepenuh hati sebagai salah satu sektor vital untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Infrastruktur, khususnya jalan adalah sektor antara yang menghubungkan berbagai macam aktivitas ekonomi.
Kalaupun pembangunan infrastruktur di pinggiran tersebut saat ini tidak bisa menyamai apa yang ada di perkotaan, setidaknya infrastruktur yang ada akan memudahkan mereka lepas dari isolasi di negeri sendiri. Dengan kata lain, akan terjadi konektivitas antarwilayah. Saya berkepentingan dengan hal itu, karena membangun infrastruktur adalah sektor yang menjadi tugas utama saya selaku anggota Kabinet Kerja pimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Spirit warga untuk tetap bersatu dalam NKRI, memompa motivasi saya untuk memastikan bahwa pembangunan infrastruktur yang merupakan urat nadi kemajuan bangsa segera terwujud. Gelora seperti itu pula yang saya rasakan saat terakhir mengunjungi wilayah perbatasan di wilayah Kalimantan Utara, akhir Oktober 2015 lalu. Sebelumnya, saya pun sudah berulang kali mengunjungi dan mengawasi secara langsung pembangunan jalan di wilayah pinggiran Indonesia yang lain, seperti di NTT dan Papua.
Dengan segala keterbatasan fasilitas yang ada, warga pinggiran terus menyalakan semangat Indonesia. Sekalipun, mereka (warga pinggiran) acapkali hanya merasakan perhatian manakala di wilayah tersebut terjadi gesekan dengan tetangga dari negeri jiran. Namun, kini pengharapan mereka sebagai bagian nyata bangsa Indonesia secara utuh kembali menyala manakala duet Joko 'Jokowi' Widodo-Jusuf 'JK' Kalla tampil ke permukaan. Inilah duet pemimpin bangsa saat ini yang secara lugas menyatakan pentingnya pembangunan di wilayah perbatasan.
Butir ketiga Nawacita
Jejak semangat membangun wilayah pinggiran mulai didengungkan saat pasangan Jokowi-JK melakukan kampanye pemilihan Presiden di tahun 2014. Kala itu, Jokowi-JK tegas mencantumkan "Pembangunan Wilayah Pinggiran" sebagai butir ketiga program Nawacita. "Kami akan membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negara Kesatuan. Kami akan meletakkan dasar-dasar bagi dimulainya desentralisasi asimetris. Kebijakan desentralisasi asimetris ini dimaksudkan untuk melindungi kepentingan nasional Indonesia di kawasan-kawasan perbatasan, memperkuat daya saing ekonomi Indonesia secara global, dan untuk membantu daerah-daerah yang kapasitas berpemerintahan belum cukup memadai dalam memberikan pelayanan publik."
Janji tersebut kemudian dituangkan dalam program kerja Kabinet Kerja 2014-2019. Untuk mewujudkannya, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), pada tahun 2015 memulainya dengan pembangunan infrastruktur jalan di perbatasan utara, selatan, dan timur Indonesia yang selanjutnya diikuti dengan penyiapan prasarana permukiman dan sumber daya air. Di utara, terdapat proyek jalan perbatasan Kalimantan. Di selatan, terdapat proyek perbatasan Nusa Tenggara Timur (NTT). Sedangkan di timur, ada proyek jalan Trans Papua. Untuk tahun 2015 ini total anggarannya mencapai Rp 2 triliun.
Di wilayah Kalimantan yang berbatasan langsung dengan Malaysia, PUPR membangun sembilan ruas jalan yang membentang sepanjang 771,36 kilometer dari Kalimantan Barat, Kalimantan Timur hingga Kalimantan Utara. Hingga akhir Oktober 2015, total panjang jalan yang sudah dibuka mencapai 441,7 kilometer meski sebagian masih belum dilengkapi dengan perkerasan aspal, atau masih jalan tanah dengan perkerasan batu-batu kerikil. Masih terdapat 329,66 kilometer yang harus ditangani sampai tuntas agar seluruh ruas jalan dapat terhubung.
Untuk jalan perbatasan NTT terdapat enam ruas dengan total panjang mencapai 171,56 kilometer. Total panjang jalan di NTT yang ditangani di tahun 2015 ini mencapai 47 kilometer. Sisanya akan ditangani pada tahun 2016 sepanjang 67,61 kilometer dan terakhir pada tahun 2017 sepanjang 56,95.
Sementara itu, untuk jalan Trans Papua, terdapat 12 ruas yang jika tersambung semua akan mencapai panjang 4.325 kilometer. Saat ini jalan Trans Papua yang sudah tersambung cukup panjang, yaitu 3.498 kilometer dengan perkerasan aspal mencapai panjang 2.075 kilometer dan sisanya masih berupa tanah/agregat yang dipadatkan. Sisa panjang jalan yang belum tersambung adalah 827 kilometer, masih lebih panjang 55,64 kilometer jika dibandingkan dengan total panjang jalan Trans Kalimantan.
Efek ganda
Penulis meyakini bahwa geliat pembangunan berbagai ruas jalan di wilayah perbatasan akan mengubah wajah Indonesia secara menyeluruh. Pembangunan jalan tidak lain adalah membangun konektivitas yang kelak di kemudian hari akan mengakselerasi pertumbuhan ekonomi di kawasan tersebut. Secara garis besar, dalam rancangan PUPR, membangun infrastruktur dari pinggiran adalah untuk mengatasi kesenjangan antardaerah; (1) mewujudkan kemandirian ekonomi: dukungan infrastruktur untuk menggerakkan sektor-sektor ekonomi strategis; (2) meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing bangsa dengan mempercepat pembangunan infrastruktur untuk meningkatkan efisiensi dan pelayanan sistem logistik nasional; (3) meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia melalui penyediaan infrastruktur dasar termasuk perumahan sejalan dengan prinsip "Infrastruktur untuk Semua".
Sebagai salah satu subsektor infrastruktur, jalan memiliki fungsi aksesibilitas untuk membuka daerah kurang berkembang dan fungsi mobilitas untuk memacu daerah yang telah berkembang. Sebagaimana tertera dalam UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Jalan, jalan memiliki sejumlah peran: (1) sebagai bagian prasarana transportasi yang mempunyai peran penting dalam bidang ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup, politik, pertahanan, dan keamanan serta dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; (2) sebagai prasarana distribusi barang dan jasa yang merupakan urat nadi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara; dan (3) merupakan kesatuan sistem jaringan jalan menghubungkan dan mengikat wilayah Republik Indonesia.
Dari banyak studi diketahui bahwa jaringan jalan akan meningkatkan produktivitas sektor ekonomi lainnya sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kondisi sosial-budaya kehidupan masyarakat melalui efek berganda. Sedangkan, secara langsung terkait sektor konstruksi, infrastruktur jalan juga akan menciptakan kesempatan kerja dan usaha. Oleh karena itu, keberadaan infrastruktur jalan yang baik akan dapat mendorong terciptanya pertumbuhan berbagai aspek positif dalam masyarakat, mendorong pergerakan ekonomi mikro yang selanjutnya akan menunjang laju pembangunan nasional.
Pemecahan masalah isolasi dan konektivitas merupakan batu loncatan untuk menggali, menumbuhkembangkan potensi wilayah, menggerakkan ekonomi mikro, peningkatan kesejahteraan wilayah, dan akan berujung pada pertumbuhan ekonomi nasional. Konektivitas merupakan salah satu unsur prasarana penting untuk meningkatkan daya tarik investasi, menurunkan biaya produksi dan meningkatkan daya saing produk-produk Indonesia.
Hal penting lain yang tidak boleh dilupakan, melalui pembangunan prasarana dasar, antara lain jalan raya, kita tingkatkan rasa kebanggaan bangsa dan perkuat NKRI. (rol)
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.