Anti-Kekerasan dan Radikalisme
Trump, salah seorang calon kandidat Presiden Amerika dalam kampanyenya menyebutkan “Melarang Orang yang Beragama Islam masuk ke Amerika”. Pernyataannya telah melukai hati umat Islam sedunia, yang menyebabkan banyak para tokoh Islam dunia angkat bicara, seperti pernyataan dari MUI Indonesia, dimana Trump seharusnya tidak menyatakan hal tersebut, karena Islam bukanlah agama teroris, tapi Islam adalah agama kedamaian, dan begitu juga tokoh Islam dari negara lain, sangat menentang pernyataan Trump tersebut, kita sebagai umat yang beragama mari kita sikapi dengan bijaksana.
Trump sangat cemas dengan teroris, padahal pada konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-27 yang berlangsung di Kuala Lumpur, Malaysia, 18-21 November 2015, yang dibuka secara resmi oleh Perdana Menteri Njib Razak sebagai tuan rumah, yang dihadiri 10 Kepala negara ASEAN, yang berhasil mencapai kesepakatan, di antaranya adalah kerja sama dalam bidang intelejen.
Masalah teroris seperti yang dinyatakan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak bahwa masalah teroris serius. Perlu dihadapi bersama. Negara potensial dalam baris terdepan menghadapi teroris, adalah Malaysia, Indonesia, dan Philipina serta Muangthai. Nah, dengan demikian menurut hemat penulis pernyataan Trump sebagai kandidat presiden Amerika perlu diluruskan dan jangan terlalu berlebihan untuk menyudutkan orang-orang yang beragama Islam.
Kekerasan dari yang berskala mini (perusakan, pemaksaan) hingga berskala besar (pemboman dan aksi terorisme) atas nama agama Islam bukanlah watak autentik Islam.
Kekerasan tersebut tidak ada kaitannya dengan ajaran Islam, juga tidak sesuai dengan
akal sehat. Teologi ini adalah teologi negatif yang digunakan untuk tujuan-tujuan gerakan politik atau keputusasaan mereka akibat kehilangan makna dalam hidup. Tindakan kekerasan harus dibaca dari perspektif psikologi, politik, sosiologi, dan politik internasional. Dimensi agama hanyalah korban dari dimensi-dimensi tersebut.
Dilihat dari sisi mana pun, tindakan kekerasan adalah tindakan yang dipersalahkan oleh ajaran agama, ajaran etika, dan ajaran peradaban. Tindakan kekerasan lebih mencitrakan watak setan dan Firaun, pewaris nilai-nilai setan dan Firaun. Islam adalah representasi kemurahan Allah atau rahmat Allah yang menebarkan kedamaian dan kebaikan-kebaikan hidup untuk seluruh alam atau rahmatan lil ‘alamin. Islam tidak berwatak eksklusif dan mencari keselamatan sendiri. Islam mengajarkan keselamatan universal melalui ajaran akhlak dan konsep rahmatan lil ‘alamin. Tujuan Islam adalah menebarkan belas kasih dan menyajikan ajaran-ajaran moral. Islam tidak berkepentingan untuk mengislamkan seluruh manusia di muka bumi karena Allah telah memberitahu bahwa manusia itu tidak satu, tidak tunggal, dan tidak pula seragam (Mudhofa Abdullah dalam Rudy Syahbuddin).
Praktik toleransi Islam telah diakui oleh non-Muslim. Bahkan, oleh umat Yahudi, di antaranya oleh kesaksian Max I. Dimon. Ia mengatakan bahwa sekiranya tidak ada toleransi dalam Islam di Spanyol, maka umat Yahudi akan lenyap dan tertelan sejarah.
Itulah sebabnya, perkembangan Islam yang begitu luas dan cepat tidak akan mungkin terjadi bila dasar-dasarnya dibangun melalui kekerasan nilai-nilai setan. Atas prestasinya ini, seorang penulis One Hundred: The Most Influential Person in History atau Seratus Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah, Michael H. Hart, menempatkan Muhammad saw. Pada rangking pertama disusul Issac Newton dan Tsailun penemu kertas di Cina. Dari optik akal sehat, tidaklah mungkin peradaban Islam yang dapat bertahan hingga sekarang dibangun di atas dasar kebohongan, kekerasan, dan terorisme. Mausia beradab tidak akan mau menerima nilai-nilai kekerasan. Tambahan lagi, peradaban yang dibangun di atas kekerasan akan tersisih dari arus utama sejarah manusia yang secara fitrah condong pada perdamaian dan persaudaraan.
Perlu ditekankan bahwa pengaruh kekerasan atas nama Islam lahir sebagian karena cara membaca teks yang tidak toleran juga meskipun mengatasnamakan kebenaran Al-Qur’an dan Sunnah. Jadi, ketidaktoleran terjadi ada pada pembacanya, bukan kitab sucinya. Dengan demikian, mengakhiri teologi kekerasan dan membangun teologi rahmatan lil ‘alamin adalah usaha-usaha dekonstruksi-rekonstruksi atas tafsir-tafsir kekerasan itu. Dari usaha-usaha itu, teks-teks yang toleran akan membentuk pembaca-pembaca yang toleran dan akhirnya menghasilkan perilaku-perilaku yang toleran juga.
Metode seperti ini sangat membantu mengembalikan citra Islam di tengah kehidupan global yang membutuhkan kerja sama mengatasi krisis-krisis kekerasan kemanusiaan, lingkungan, peperangan, dan ancaman kepunahan ras manusia oleh bencana-bencana. Pada saat yang sama, akar-akar kekerasan di level politik, sosial, ekonomi, dan isu internasional harus kondusif bagi terciptanya “pencairan internal” dari sisi doktrin agama-agama, baik Islam, Kristen, yahudi maupun keyakinan-keyakinan lain di dunia.
Sikap toleransi dan rahmatan lil ‘alamin dapat menjadi pintu masuk bagi terjalinnya keakraban yang berani antara komunita Islam dengan komunitas lainnya. Dialog peradaban hanya bisa dijalankan melalui saling pengertian, keterbukaan, dan saling memahami. Jika dialog peradaban itu bisa diselenggarakan, maka teori-teori Clash of Civilization-nya Huntington atau teori The New Cold war-nya Marx Juergensmeyer atau teori The New World Disorder- nya Basam Tibi tidak terbukti. Memang harus diakui, sejak gejala fundamentalisme agama mengemuka, para ilmuan barat sering meragukan berfungsinya agama sebagai pencipta perdamaian.
Dalam perspektif kebudayaan, agama dapat mengambil bentuk sebagai sistem pengetahuan dan keyakinan. Sehingga agama secara fungsional digunakan untuk acuan tindakan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat manusia, terutama sebagai pemenuhan kebutuhan adab. Sebagai sistem pengetahuan dan sistem keyakinan, agama menyediakan sarana-sarana berupa pengetahuan-pengetahuan keagamaan yang menurut keyakinan pemeluknya sendiri, bersumber dari wahyu yang terkodifikasi ke dalam teks-teks suci, berupa serangkaian simbol-simbol terutama simbo-simbol konstitutif (agama).
Hasil tafsiran pemahaman atas teks-teks simbolik itu melahirkan kecenderungan umum bagi para pemeluknya seperti klaim kebenaran secara sepihak. Dengan demikian, pada setiap agama terdapat aliran-aliran keagamaan. Pemeluk dari agama dan aliran-aliran keagamaan. Pemeluk dari agama dan aliran-aliran keagamaan yang diikuti, cenderung melahirkan perbedaan-perbedaan pemahaman, pensikapan, dan tindakan (tanggapan) terhadap berbagai persoalan yang dihadapi. Dari sini pula agama dalam kehidupan sosial mengekspresikan atau diekspresikan oleh umatnya sebagai pemersatu dan sekaligus sebagai pemisah. Dalam konteks seperti ini, sepertinya agama menjadi dan dijadikan sarana pendorong melakukan serangkaian tindakan sekalipun dalam bentuk kekerasan. Ini artinya, antara kepentingan agama dan kepentingan umat beragama, dalam kehidupan sosial seringkali menjadi tumpang tindih.
Kekerasan dan radikalisme bukanlah sifat ajaran dari agama mana pun yang hadir dalam rentetan sejarah. Agama sebagai simbol mata air kebijaksanaan akan tereduksi bila terdapat pembelaan dan pemihakan terhadap agama tertentu serta adanya monopoli tafsir kebenaran. Pesan ini dalam setiap agama-agama bisa dilihat dan dirasakan dalam sifat dan karakternya yang bisa membuat manusia sadar akan kehormatan, mempunyai rasa ketulusan dan empati pada setiap manusia sekalipun berbeda agama, ras, dan suku bangsa (Rudy Syahbuddin & Hika D. Asril Putra). Semoga terciptalah kedamaian di alam ini amin.***