Dugaan Kekerasan terhadap Wartawan

Zuhdi Diperiksa Propam Polda Riau

Zuhdi Diperiksa Propam Polda Riau

PEKANBARU (HR)-Pewarta media online lokal, Zuhdy Febriyanto, yang diduga sebagai korban pengeroyokan disertai pemukulan yang dilakukan oknum kepolisian, memberikan keterangan di hadapan Penyidik dari Bidang Profesi dan Pengamanan (Bid Propam) Polda Riau, Rabu (9/12).

Pemberian keterangan tersebut merupakan lanjutan atas laporan korban yang didampingi tim kuasa hukum ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polda Riau, Senin (7/12). Dalam laporan tersebut, diterima sebagaimana tertuang dalam Surat Tanda Penerimaan Laporan Nomor : STPL/579/XII/2015/SPKT/Riau tertanggal 7 Desember 2015.

Dalam pemeriksaan yang berlangsung selama 6 jam, yang dimulai sejak pukul 10.00 WIB, sempat terjadi tarik-menarik dan pembahasan alot saat penyidik enggan memasukkan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Meski begitu, akhirnya delik Pers dimasukkan bersamaan dengan Pasal 170 dan Pasal 351 KUHPidana. "Alhamdulilah, akhirnya Delik Pers ini dimasukkan dalam laporan. Usai divisum dan dilakukan pemeriksaan awal oleh penyidik Mika Sihotang," ungkap Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Suryadi, Rabu (9/12).

Usai diperiksa penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum (Dit Reskrimum) Polda Riau, Zuhdy kemudian melaporkan kasus etika polisi dengan main pukul saat pengeroyokan berlangsung, Selasa (8/12) kemarin. Ketika itu, Zuhdy diterima anggota Bidang Propam Polda Riau, Agusman.

"Saat hendak memberikan keterangan Selasa kemarin, korban sempat berpapasan dengan empat polisi Sabhara yang sedang diperiksa Propam Polda. Ternyata, Zuhdy mengenali di antara keempat polisi itu ada yang mengeroyok dan memukulnya," lanjut Suryadi.

Lebih lanjut, peristiwa pengeroyokan disertai pemukulan yang dilakukan oknum kepolisian Zuhdy Febriyanto akhir pekan lalu, menunjukkan kekerasan yang tidak bisa ditolerir. Pasalnya, peristiwa ini mencederai Hak Asasi Manusia (HAM) dan memiliki indikasi kuat terjadinya pelanggaran berupa kekerasan dengan hilangnya hak rasa aman.

"Pengeroyokan dan kekerasan terhadap wartawan ini telah memunggungi kebebasan pers dan kerja-kerja jurnalistik yang dijamin Undang-Undang," tegas Suryadi lebih lanjut.

Suryadi menjelaskan, bukti aparat negara secara terang-benderang memposisikan jurnalis sebagai ancaman, bukan mitra strategis dalam era keterbukaan. "Peristiwa ini secara terang-benderang mengancam mandat Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers,” paparnya.

Di samping undang-undang tersebut, lanjut Ketua LBH Pers tersebut, peristiwa ini mencerminkan belum dihormatinya berbagai konvensi HAM internasional sudah diratifikasi Indonesia. Di antaranya Kovenan Internasional Hak-hak Sipil Politik maupun Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

"Secara normatif-yuridis, eksistensi pers dan peran jurnalis sesungguhnya telah dijamin UUD 1945, utamanya dalam menjalankan dua hak asasi sebagai pilar utama demokrasi, hak kebebasan menguarkan pendapat dan hak mendapatkan informasi yang bebas," lanjut mantan Ketua LBH/YLBHI Pekanbaru itu.

Dasar ini, tuturnya, diperkuat oleh UU Pers Nomor 40 tahun 1999, UU Hak Asasi Manusia Nomor 39 tahun 1999, dan UU Kebebasan Informasi Publik No 18 tahun 2008. Kebebasan pers merupakan salah satu dimensi hak asasi manusia, yaitu hak untuk membentuk pendapatnya secara bebas dalam kaitan kehidupan di ruang publik, sebagaimana tertuang dalam Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Azasi Manusia dan Pasal Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik.

Kasus Zuhdy Febriyanto, korban pemukulan Sabtu, (5/12) lalu, merupakan fenomena kekerasan semestinya sudah tak perlu terjadi lagi apabila presfektive HAM dan penghargaan pada kebebasan Pers menjadi cara pandang yang menjadi pondasi dalam melaksanakan tugas-tugas profesional kepolisian.

Sebab itu, LBH Pers Pekanbaru memandang perlu untuk menyatakan sikap, yakni mendesak Kapolda Riau untuk menindaklanjuti laporan kasus pemukulan terhadap wartawan Zuhdy Febriyanto, dan menegakkan hukum dan delik Pers UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dalam kasus tersebut.

"Kita juga Mendesak Kapolri untuk memberikan kurikulum khusus tentang standar HAM dalam pengamanan, dan pemahaman Undang-undang Pers kepada seluruh jajaran anggotanya di seluruh wilayah Indonesia supaya kejadian serupa yang dialami wartawan tidak terlulang lagi di kemudian hari," tandasnya.

Enggan Masukkan Delik Pers
Sempat terjadi tarik-menarik dan pembahasan alot saat Polisi enggan memasukkan Pasal 18 ayat 1 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Walau alot, akhirnya delik Pers dimasukkan bersamaan dengan Pasal 170 dan Pasal 351 KUHP.
“Alhamdulilah akhirnya Delik Pers ini dimasukkan dalam laporan, usai divisum dan dilakukan pemeriksaan awal oleh penyidik Mika Sihotang,” kata Direktur LBH Pers, Suryadi, Rabu (9/12).

Usai diperiksa penyidik Ditreskrimum Polda Riau, Zuhdy kemudian melaporkan kasus etika polisi dengan main pukul saat pengeroyokan berlangsung, Selasa (8/12). Ketika itu, Zuhdy diterima anggota Bidang Propam Polda Riau, Agusman.

“Saat hendak memberikan keterangan Selasa lalu, korban sempat berpapasan dengan empat polisi Sabhara yang sedang diperiksa Propam Polda. Korban Zuhdy ternyata mengenali di antara keempat polisi itu ada yang mengeroyok dan memukulnya,” kata Suryadi.(dod)