Mendidik dengan Keteladanan dan Hati
Seorang anak akan menjadi baik jika dididik dengan cara yang baik. Begitu juga sebaliknya jika dididik dengan cara yang kurang baik maka anak akan mnejadi tidak baik. Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu teladan yang baik baginya dan kedatangan hari kiamat dan ia banyak menyebut Allah (QS. 33:21).
Keteladanan hendaknya diartikan dalam arti luas, yaitu menghargai ucapan, sikap, dan perilaku yang melekat pada pendidik. Jika hal ini telah dilakukan dan dibiasakan dengan baik sejak awal maka akan memiliki arti penting dalam membentuk karakter sebagai guru yang mendidik. Keteladanan dalam pendidikan merupakan pendekatan atau metode yang sangat berpengaruh dan terbukti paling berhasil dalam mempersiapkan dan dan membentuk serta mengembangkan potensi peserta didik.
Ada tiga unsur agar seseorang bisa diteladani atau menjadi teladan, yakni: Pertama, Kesiapan untuk dinilai dan dievaluasi. Kesiapan untuk dinilai berarti adanya kesiapan menjadi cermin bagi dirinya maupun orang lain. Kondisi ini akan berdampak pada kehidupan sosial di masyarakat, karena ucapan, sikap, dan perilakunya menjadi sorotan dan teladan.
Kedua, memiliki kompetensi minimal, seseorang akan dapat menjadi teladan jika memiliki ucapan, sikap, dan perilaku untuk diteladani. Oleh karena itu, kompetensi yang dimaksud adalah kondisi minimal ucapan, sikap, dan perilaku yang harus dimiliki seseorang sehingga dapat dijadikan cermin bagi dirinya maupun orang lain. Demikian juga bagi seorang guru kompetensi minimal sebagai guru, harus dimiliki agar dapat menumbuhkan dan menciptakan keteladanan, terutama bagi peserata didiknya.
Ketiga, memiliki integritas, integritas adalah adanya kesamaan antara ucapan dan tindakan atau satunya kata dan perbuatan. Inti dari integritas terletak pada kualitas istiqomahnya. Sebagai pengejawantahan istiqomah adalah berupa komitmen dan konsistensi terhadap profesi yang diembannya ( Zainal Aqib: 2011).
Menurut M. Furqon (2009) dalam Zainal Aqib, pendidik yang dapat diteladani berarti ia dapat juga menjadi cermin orang lain. Cermin secara filosofi memiliki makna sebagai berikut: Pertama, Tempat yang tepat untuk introspeksi, jika kita bercermin maka kita akan melihat potret diri kita sesuai dengan keadaan yang ada. Sebagai pendidik, kita harus siap menjadi tempat mawas diri, koreksi diri, atau introspeksi. Untuk itu, kita harus siap menjadi curahan hati para siswa kita.
Kedua, Meneriman dan menampakkan apa adanya, cermin memiliki karakteristik bersedia menerima dan memperlihatkan apa adanya. Untuk itu, hal ini dapat dimaknai sebagai pribadi yang memiliki sifat-sifat, seperti sederhana, jujur, objektif, jernih, dan lain-lain. Ketiga, menerima kapanpun dan dalam keadaan apapun, cermin memiliki karakteristik bersedia menerima kapanpun dan dalam keadaan apapun. Artinya sebagai pendidik harus memiliki sifat-sifat seperti pengabdian, setia, sabar, dan lain-lain.
Keempat, tidak pilih kasih/tidak diskriminatif, cermin memiliki sifat tidak pernah pilih-pilih, siapa saja yang mau bercermin pasti diterima. Artinya cermin memiliki sifat tidak pilih kasih, tidak membeda-bedakan, atau tidak pernah diskriminatif. Oleh karena itu, sebagai pendidik harus memiliki jiwa mendidik kepada siapapun tanpa pandang bulu. Semua anak apapun kondisinya harus dididik tanpa kecuali. Bahkan kita tidak dibenarkan memisah-misahkan atau memilih-milih kondisi siswa (exclusive), tetapi kita dalam mendidik harus bersifat inklusif.
Kelima, pandai menyimpan rahasia, cermin tidak pernah memperlihatkan siapa yang telah bercermin kepadanya, baik yang bercermin itu kondisinya baik atau buruk. Berarti cermin memiliki sifat pandai menyimpan rahasia. Sebagai pendidik yang pandai menyimpan rahasia berarti ia juga memiliki sifat-sifat, seperti ukhuwah atau persaudaraan, peduli, kebersamaan, tidak menjatuhkan, tidak mempermalukan orang lain, dan lain-lain.
Selain mendidik dengan keteladanan seorang guru perlu juga mendidik dengan hati. Mendidik dengan hati dapat dilakukan melalui tahap-tahap, yakni: (1) menumbuhkan motivasi internal, (2) membangun keyakinan, (3) menumbuhkan dan memberikan inspirasi, dan (4) melaksanakan pembelajaran yang berkualitas (Zainal Aqib, 2011). Dengan demikian mari kita laksanakan hal tersebut di atas agar benar-benar berhasil anak didik kita dan menjadikan anak bangsa ini menjadi manusia yang berkualitas amin.***
Guru SMA Negeri 1 Tebing Tinggi, Kabupaten Kepulauan Meranti.