Eksekusi Lahan di Tenayan Ricuh
PEKANBARU (HR)-Eksekusi terhadap lahan seluas dua hektare di Jalan Pesantren, Kelurahan Kulim, Kecamatan Tenayan Raya, Pekanbaru,Kamis (3/12), berlangsung ricuh. Warga menuding pelaksanaan eksekusi tidak tepat. Pasalnya, warga mengaku masih melakukan upaya perlawanan di pengadilan, sementara proses eksekusi tetap dilaksanakan.
Pantauan Haluan Riau di lapangan, puluhan warga tampak memadati ruas jalan menuju lahan yang dipersengketakan antara 17 Kepala Keluarga (KK) dan Chenny Taher. Warga menutup jalan dengan tumpukan kayu dan ban. Benda-benda tersebut kemudian dibakar guna menghadang petugas eksekusi menjalankan tugasnya.
Begitu melihat api membesar, petugas Kepolisian yang dilengkapi dengan tameng dan pemukul, langsung merapatkan barisan. Api yang berkobar dan menghasilkan asap tebal, langsung dipadamkan dengan menyemprotkan air yang telah disiapkan.
Tidak sampai di situ, warga kemudian menghujani petugas dengan batu dan benda-benda lainnya. Bahkan, sejumlah wanita tampak menangis histeris menghadapi proses eksekusi tersebut.
"Seperti ini nasib rakyat kecil. Kalian (polisi,red) bukannya membantu kami malah tegak bersama mereka (eksekutor,red)," teriak seorang ibu sambil menghadang pergerakan polisi yang mencoba mensterilkan jalan.
Sang ibu juga sempat mengancam untuk mengorbankan nyawanya, jika petugas meneruskan proses eksekusi lahan yang mulai dipersengketakan semenjak tahun 1900-an tersebut.
"Kalian maju, aku siap mati. Aku tak peduli," lanjutnya meradang. Namun, hal tersebut urung terjadi karena ibu tersebut langsung diamankan warga lainnya.
Petugas terus bergerak menyisir jalanan, sehingga warga yang sebelumnya memadati jalanan bergeser ke tepi. Sementara, alat berat berupa eskavator mengikuti di belakang brikade pasukan polisi yang mensterilkan jalan.
Rata dengan Tanah
Karena tidak bisa berbuat apa-apa lagi, ratusan warga hanya bisa memandangi petugas melaksanakan eksekusi. Sejumlah batang sawit dan tanaman lain yang berada di atas lahan, ditumbangkan. Begitu juga rumah-rumah yang sebelumnya telah dikosongkan penghuninya dalam sekejap rata dengan tanah.
Menurut kuasa hukum warga, Rohyal Hasibuan, pihaknya menyayangkan eksekusi itu karena terkesan dipaksakan. Pihaknya juga menilai, objek sengketa antara kedua belah pihak kabur.
"Menurut saya, eksekusi ini tidak benar. Seharusnya, dalam Berita Acara Eksekusi harus jelas dulu batasnya. Pelaksanaan eksekusi harus berdasarkan surat ukur. Sekarang kan tidak, ini main tunjuk aja. Tidak pernah dilakukan rekonstruksi surat ukur," ujarnya, di sela-sela proses eksekusi.
Begitu objek sengketa yang dinilainya kabur. Menurutnya, Jalan Pesantren ada dua. Dia menduga, objek sengketa yang dipermasalahkan pihak pemohon eksekusi bukanlah objek yang dieksekusi pada Kamis kemarin.
"Sertifikat awalnya itu ada Bukit Barisan, Tangkerang Timur. Sebagian lahan itu ada di Tangkerang Timur. Sementara, surat orang itu (pemohon,red) kawasannya di Kulim semuanya. Pelaksanaan eksekusi yang dibacakan tadi, berada di Kulim semua," lanjutnya.
Rohyal juga mengatakan eksekusi tersebut tidak tepat. Karena kliennya masih ada upaya perlawanan yang diajukan di Pengadilan Negeri Pekanbaru. Saat ini, proses tersebut masih bergulir di pengadilan.
"Upaya perlawanan masih dilakukan, namun mereka langsung saja mengeksekusi. Ini tidak benar. Juga, tidak terlihat ada pihak BPN (Badan Pertanahan Nasional, red) di sini," pungkasnya.
Di tempat sama, kuasa hukum pihak pemohon, Andika Surya Saputra, mengatakan pelaksanaan eksekusi ini diawali keputusan Mahkamah Agung (MA) yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.
"Perkara ini sudah inkrah. Makanya, dilakukan eksekusi," sebut Andika.
Dikatakannya, objek yang dieksekusi ini telah dipersengketakan kedua belah pihak sejak 2010 silam. "Sebelumnya, pada 1996 sudah juga dimulai. Di situ perkara induknya," lanjut Andika.
Saat ditanya mengenai tudingan pihak warga kalau objek sengketa tidak jelas, Andika menjawab diplomatis. "Silakan saja. Yang jelas, dalam putusan tersebut sudah sah dan menyatakan klien kami menang. Perintah pengadilan, lahan ini harus dikosongkan," tegasnya.
Dijelaskannya, kliennya telah lama memiliki lahan tersebut. Karena, Chenny Taher selaku pemohon tidak berdomisili di wilayah tersebut, lahan tersebut akhirnya ditempati warga.
"Mereka numpang nanam. Hingga mereka membuat rumah permanen. Bahkan, sudah ada RT dan RW. Mereka lah yang buat surat tanah itu," terangnya.
Namun, menurut Andika, surat warga yang memiliki alas hak berupa Surat Keterangan Ganti Rugi (SKGR) telah dibatalkan pihak pengadilan. "Mereka punya surat SKGR. Sementara, kita sertifikat," pungkasnya. (dod)