Saksi Ahli Sebut Menhut Salahgunakan Kewenangan
PEKANBARU (HR)-Zudan Arif Fakrulloh dari Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, menyebut kalau Kementerian Kehutanan diduga menyalahgunaan kewenangan dalam penerbitan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman.
Hal tersebut disampaikannya saat menjadi saksi ahli yang dihadirkan terpidana HM Rusli Zainal, pada sidang lanjutan pemeriksaan Peninjauan Kembali (PK) yang digelar di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru, Kamis (3/12).
Di hadapan majelis hakim yang diketuai Achmad Setyo Pudjoharsoyo, saksi Zudan membahas mengenai kewenangan Kepala Daerah di Bidang Kehutanan setelah Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah berlaku.
Hal ini terkait dengan putusan Kasasi Mahkamah Agung dalam perkara tindak pidana korupsi Izin Kehutanan yang menjerat mantan Gubernur Riau dua periode tersebut.
Dalam pemahamannya, kewenangan Pemda menjadi penting setelah adanya UU Otonomi Daerah, dimana kewenangan pemerintah pusat tidak lagi dominan. Ini juga berlaku untuk instansi yang ada di Provinsi, dan Kabupaten/Kota, termasuk di Riau.
Kewenangan di setiap Provinsi berada pada Kepala Daerah di Provinsi dan Kabupaten/Kota. Ini dijelaskannya terkait penerbitan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHKHT) kepada sembilan perusahaan kala itu.
"Menhut (Menteri Kehutanan,red) dalam aturannya terjadi lompatan logika. Karena Menhut mendelegasikan pekerjaan kepada anak buah Kepala Daerah," ungkap Zudan.
Saat itu, sebut Zudan, Menhut menerbitkan keputusan Nomor : 151/Kpts-II/2013 tentang rencana kerja, rencana kerja lima tahun, rencana kerja tahunan, dan Bagan Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman.
Inilah yang menurutnya bertentangan dengan prinsip-prinsip otonomi daerah berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999, dan Peraturan Pemerintah Nomor (PP) : 25 tahun 2000, dan PP 34 Tahun 2002.
"Meletakkan posisi Dinas Kehutanan sebagai dinas teknis, dan menjadi bawahan dari Menteri Kehutanan. Seolah-olah sebagai Kanwil Kehutanan. Padahal setelah berlaku Otonomi Daerah, semua dinas kehutanan adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur, Bupati/Walikota," terang Zudan.
Lebih lanjut Zudan mengatakan kalau pemberian wewenang atau pun penugasan dari Menhut secara langsung kepada Dinas Kehutanan melanggar prinsip delegasi. Menurutnya, harus turun satu tingkat, seperti dari menteri kepada kepala daerah. Kepala Daerah kemudian mendelegasikan kepala dinas sesuai asas desentralisasi.
"Ini menjadi pangkal persoalan. Putusan Menteri bertentangan dengan prinsip-prinsip desentralisasi," sebut Zudan lebih lanjut.
Menanggapi keterangan tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jaksa Nurul mempertanyakan kerugian negara yang ditimbulkan oleh keputusan atau kebijakan tersebut.
"Sebelum keluarnya UU 30 tahun 2014 tidak mengatur secara eksplisit tanggungjawab atas kerugian negara," jawab Zudan menjawab pertanyaan JPU.
Sementara, terkait aturan yang tumpang tindih tersebut, menjadi persoalan terhadap keputusan yang akan dilakukan oleh kepala daerah. Keterangan kemudian menjadi perhatian JPU KPK selanjutnya. Zudan kemudian menjelaskan jika kepala daerah dapat melakukan diskresi atas tindakan yang harus dilakukan.
"Diskresi itu adalah tindakan yang diambil pejabat memutuskan bagaimana peristiwa harus dikerjakan. Dengan tolok ukur, UU tdak mengatur. Memberi pilihan," tukasnya.
Tolok ukur atas diskresi tersebut juga dilakukan jika UU multitafsir dan ketika UU tidak lengkap, serta memerlukan Peraturan Pemerintah.
Saksi lainnya, Chairul Huda selaku saksi ahli pidana menerangkan terkait kasus suap pada pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) Riau XVIII di Riau, menjelaskan kalau pemberian hadiah yang tidak berkaitan dengan tugas dan kewenangan si penerima tidak bisa dikenakan Pasal 12 huruf A UU Tipikor.
"Menerima hadiah hanya salah satu unsur dari tindak pidana Pasal 12. Ada unsur lainnya, yakni pemberian itu dilakukan agar yang bersangkutan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan Pasal 12 huruf A. Bukan sekedar karena orang punya posisi atau punya kedudukan. Tetapi untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang berkaitan dengan jabatan dan kewenangannya," terang saksi ahli yang kerap dipakai dalam perkara korupsi.
Menurutnya, hal tersebut harus dibuktikan terlebih dulu apakah yang bersangkutan berbuat atau tidak berbuat sesuatu, bukan atas kedudukan atau posisinya. Pantauan Haluan Riau, selama proses persidangan, Ruang Sidang Cakra PN Pekanbaru dipadati oleh pengunjung. Beberapa di antaranya bahkan tidak kebagian kursi pengujung, walhasil mereka berdiri menyaksikan persidangan. Di antara deretan pengunjung juga terdapat keluarga RZ, biasa terpidana disapa.***