Polri dalam Pusaran Politik
Publik kembali dikejutkan dengan ditetapkannya calon tunggal Kapolri Komjen Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Senin (12/1) lalu. Penetapan ini dinilai oleh sebagian pihak sarat dengan nuansa politis. Sebab penetapan status tersangka bersamaan dengan telah ditetapkannnya BG sebagai calon Kapolri tunggal oleh Presiden Joko Widodo. Persoalan kemudian menjadi bola panas ketika DPR secara aklamasi menyetujui BG sebagai Ka-polri menggantikan Jenderal Sutarman. Bola panas itu semakin panas dengan ditangkap dan ditetapkannya Wakil Ketua KPK Bambang Widjajanto sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri.
Kondisi ini sesungguhnya menjadi polemik publik dan ditenggarai sarat pertarungan politik berbagai pihak. Aromanya bisa tercium dari beberapa hal. Pertama, pengajuan BG tidak didahului dengan melibatkan KPK dan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) oleh Jokowi. Padahal dalam memilih anggota kabinet Presiden Jokowi melakukan langkah positif dengan melibatkan dua lembaga kredibel ini. Apalagi Jokowi dalam berbagai kesempatan mengatakan bahwa rekam jejak yang bersih sangat penting bagi pejabat yang menduduki jabatan publik. Tapi, entah kenapa kritik publik tentang BG seakan menerobos ruang hampa yang gemanya tidak memiliki efek apa-apa. Jokowi dengan hak prerogatifnya percaya diri mengajukan Jenderal BG yang sebelumnya diisukan dengan kepemilikan rekening “gendut” di tubuh Polri. Keputusan ini dilihat sebagai “pemaksaan” BG untuk menjadi Tribrata 1.
Kedua, terbitnya Keppres penundaan pengangkatan BG sebagai Kapolri dan Keppres pemberhentian Jenderal Sutarman. Keputusan ini semakin memantik kecurigaan publik dengan ditunjuknya Komisaris Jenderal Badrodin Haiti sebagai pelaksana tugas (Plt) Kapolri. Padahal Usia pensiun Jenderal Sutarman masih tergolong lama yakni oktober 2015. Bahkan menurut Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra, tindakan Jokowi sebagai keputusan yang keliru. Akan tetapi Jokowi seakan didorong oleh kekuatan besar tetap mengganti Sutarman. Langkah tersebut dilanjutkan dengan memutasi Kabareskrim Irjen Suhardi Alius menjadi Sekretaris Utama di Lemhanas. Keputusan ini pun sesungguhnya dinilai publik sarat kepentingan, walau Polri melalui Kadivhumas menganggapnya sebagai mutasi biasa.
Ketiga, DPR secara aklamasi menyetujui Komjen BG sebagai Kapolri. Keputusan ini diluar dugaan publik, sebab selama ini KMP selalu bersitegang dengan KIH. Tapi bagi sebagian pengamat hal ini mudah dibaca. Bahwa KMP sedang menjalankan jurus politik “ memukul dengan tangan sendiri”. Dan KMP ingin dilihat tidak selalu berseberangan dengan pemerintah. Dengan disetujuinya BG sebagai Kapolri akan membuat posisi Jokowi dilematis. Satu sisi bila mengangkat BG sebagai Kapolri, Jokowi akan dilihat sebagi presiden yang tidak konsisten menjalankan kebijakan anti korupsi. Dan bila tidak melantik, Jokowi menjerat diri sendiri. Hal ini diperkuat oleh pernyataan politikus Gerindra Desmon J Mahesa bahwa bola panas itu sekarang ada pada Jokowi.
Keempat, politisasi jabatan Kapolri, kondisi ini terlihat bagaimana Jokowi bersikap dalam menghadapi tekanan politik terkait Kapolri. Sesungguhnya publik menganggap Jokowi minim pengalaman politik, tapi sesungguhnya Jokowi sudah mulai belajar dalam politik. Kini, bola panas yang dilempar DPR dilemparkan kepada KPK. Dan tekanan pihak-pihak yang menginginkan Kapolri baru dijawabnya dengan keputusan yang bijak, yakni menolak dengan cara-cara halus dan menggunakan tangan orang lain. Sehingga kesannya yang menolak bukan Jokowi tapi publik yang menolaknya. Mahhumnya Jokowi sedang menjalankan catur politiknya dalam menghadapi pressure politik internal dan eksternal.
Menilik hal di atas sesungguhnya jabatan Kapolri berada di pusaran politik. Tarik menarik kepentingan seakan sulit dinafikan. Keadaan ini sesungguhnya memprihatinkan publik, bahwa jabatan Kapolri seakan telah menjadi kepentingan politik. Tindakan ini sangat berbahaya dan mengancam soliditas Kepolisian Republik Indonesia. Sebuah risiko dan kerugian besar bagi bangsa, bila institusi Polri ditarik dalam pusaran politik. Sebab bila institusi ini dijadikan alat politik, kita khawatir Polri akan mengabdi pada kepentingan pihak-pihak tertentu. Padahal fungsi Polri menurut undang-undang No 2 Tahun 2002 adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat.
Menjadi penting bagi Jokowi atau pihak-pihak yang berkepentingan untuk tidak menjadikan Polri sebagai alat politik. Apalagi sampai mengorbankan institusi dan polisi-polisi yang berprestasi. Dan akibatnya impian rakyat untuk memiliki polisi yang profesional dan terhindar dari bias-bias politik menjadi utopia belaka. Masyarakat sangat cinta dengan Polri yang profesional dan tidak ingin Polri ditarik dalam pusaran politik, yang bisa saja menenggelamkan Polri dan rakyat Indonesia. Semoga pemerintah tetap menjadikan Polri sebagai polisi rakyat Indonesia bukan polisi kepentingan politik pihak-pihak tertentu. Wallahu’alam.
Penulis adalah pemerhati sosial politik.