Di Balik Meme dan Demokrasi
Suatu pagi, seseorang baru saja bangun. Ia lalu membuka akun media sosialnya, melihat meme (baca: mim), tersenyum, lalu memutuskan untuk menyebarkannya. Begitulah, proses melihat dan menyebarkan meme terjadi dalam hitungan kurang dari satu menit. Terlihat sangat sederhana.
Ternyata, meme tidak selalu sesederhana seperti kelihatannya. Meme bisa lebih kompleks dari yang kita pikirkan. Akhir-akhir ini, meme "Papa Minta Saham" beredar luas di masyarakat. Meme tersebut sedang mengacu pada sindiran atas beredarnya transkrip rekaman aksi Setya Novanto, ketua DPR, yang diklaim telah melobi Freeport untuk mendapatkan bagian saham. Akibat ramainya meme ini, Presiden Jokowi sempat menyinggungnya dalam sebuah pidato.
Penyebaran meme itu sedikitnya telah mengakibatkan meningkatnya kesadaran masyarakat atas isu aksi permintaan saham Freeport. Sangat mungkin, beberapa orang tidak paham tentang kasus "Papa Minta Saham". Namun, karena meme ini selalu muncul di media sosial dan platform online lainnya, rasa penarasan membuat mereka mencari tahu sehingga semakin banyak masyarakat yang paham.
Hasilnya, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) mendapatkan tekanan publik yang lebih besar dalam mengambil keputusan. Kredibilitas mereka sedang dipertaruhkan di antara kepentingan politik dan tekanan publik yang semakin banyak memahami dan mengawasi kasus ini.
Sebenarnya, budaya penggunaan meme untuk isu politik bukan hanya terjadi di Indonesia. Meme sudah digunakan oleh banyak aktivis untuk mengkritik pemerintah di berbagai negara, termasuk negara otoriter, seperti Cina dan Vietnam. Di dunia akademis, budaya meme dan dampaknya juga sudah banyak diperbincangkan.
Apakah meme itu? Istilah meme diperkenalkan pada 1976 oleh seorang ahli biologi Richard Dawkins untuk menggambarkan penyebaran suatu unit budaya terkecil, misalnya ide atau nilai, dengan cara meniru atau mengimitasi. Istilah ini pun kemudian banyak digunakan dalam berbagai bidang.
Sedangkan, meme yang muncul di internet secara sederhana diartikan sebagai suatu konten digital, baik video, gambar, maupun tulisan yang disebar, ditiru, dan/atau diubah oleh banyak pengguna dengan menggunakan internet. Istilah ini banyak dipengaruhi oleh istilah yang dikemukakan oleh Limor Shifman, seorang pakar dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) pada 2014.
Budaya meme harus dilihat dengan perspektif yang berbeda. Ia tidak hanya melulu tentang hal remeh temeh. Artikel ini bermaksud menunjukkan bagaimana budaya meme memiliki arti yang lebih dalam, khususnya untuk publik dan pemerintah.
Untuk publik, budaya meme memiliki makna dalam memperluas keterlibatan masyarakat (civic engagement). Sebuah studi yang dilakukan oleh cendekia di Universitas RMIT Vietnam menunjukkan bahwa meme sudah menjadi suatu medium baru untuk memperkuat partisipasi publik dalam mengkritik pemerintah.
Pada 2013, melalui meme, para aktivis Vietnam telah berhasil memobilasi publik untuk melawan pemerintah dalam kasus skandal kesehatan dan pelarangan peredaran film buatan dalam negeri, China Town. Seketika, hal tersebut menjadi isu nasional. Hal ini merupakan sebuah pencapaian besar mengingat seluruh media mainstream, seperti stasiun TV dan koran, secara sentral dikuasai oleh partai penguasa di negara tersebut.
Bagaimana mungkin meme dapat menjadi begitu efektif, bahkan di sebuah negara otoriter? Salah satu jawabannya terletak pada Teori Kucing Lucu (Cute Cat Theory) dari Ethan Zuckerman. Mengingat meme pada umumnya terlihat sangat simpel dan lucu, ia menjadi terlihat tidak berbahaya (layaknya kucing).
Karenanya, pemerintah harus berpikir dua kali untuk menyensornya. Sebab, untuk menyensor kontennya yang mungkin membahayakan pemerintah, pemerintah juga harus menyensor kesimpelan dan kelucuan meme tersebut yang berpotensi menimbulkan kemarahan publik yang lebih besar.
Selain itu, kesimpelan dan kelucuan suatu meme mendorong lebih banyak lagi pengguna internet, bahkan mereka yang bukan aktivis, untuk aktif terlibat dengan cara menyebarkan meme tersebut ke lingkungan yang lebih luas. Dampaknya, isu di dalam meme itu menjadi teramplifikasi secara instan. Tam paknya, meme "Papa Minta Saham" adalah salah satu contoh kasus.
Selanjutnya, pemerintah juga dapat menuai manfaat dari budaya meme ini. Melalui meme, pemerintah dapat menggali aspirasi dan persepsi publik yang termutakhir. Hal ini dapat dijelaskan mengingat meme dapat merefleksikan pola pikir masyarakat; semakin banyak orang yang membuat dan menyebarkan meme atas suatu isu, maka semakin besar isu itu mewakili pola pikir publik. Logikanya terletak pada asumsi bahwa mayoritas pengguna akan membuat dan menyebarkan suatu meme hanya jika ia berpihak atas perspektif yang terdapat pada meme tersebut.
Jelas, aspirasi dan persepsi publik ini sangat penting dalam suatu negara demokratis. Sebagai perbandingan, perusahaan swasta rela mengeluarkan sumber dayanya hanya untuk menggali informasi yang mirip, yaitu persepsi, preferensi, atau respons (calon) pelanggan atas produk mereka.
Informasi ini adalah suatu harta karun untuk mereka karena akan berdampak langsung atas kelangsungan bisnis. Jadi, dengan logika yang sama, sudah seyogianya pemerintah, yang adalah perwakilan dari rakyat, lebih menghargai aspirasi dan persepsi publik.
Oleh karena itu, pemerintah yang dewasa dan peka sudah seharusnya berterima kasih atas meme yang mengkritik pemerintah atau politisi ini karena pada hakikatnya mereka sedang memberikan suatu cara lain bagi pemerintah untuk memahami aspirasi publik tanpa harus mengeluarkan biaya atau pengorbanan yang lebih besar, seperti melalui demonstrasi berdarah.
Memang, meskipun pemerintah sudah memahami aspirasi publiknya, tak serta-merta pemerintah lantas mendapatkan sokongan publik sepenuhnya. Namun, setidaknya berbekal aspirasi publik tersebut, pemerintah mendapatkan bahan dasar dalam menghasilkan suatu kebijakan yang baik; yang didasarkan atas kebutuhan publik, bukan kebutuhan para elite.
Singkatnya, kesederhanaan meme ini bukanlah sekadar keisengan seseorang yang "kurang kerjaan". Nyatanya, ia bermakna dan berimplikasi lebih luas secara politis dan kenegaraan.(rol)
Anggota Digital Media Research Centre (DMRC) di Queensland University of Technology (QUT) Australia, Kandidat Doktor Media dan Komunikasi QUT.