Kepemimpinan Muhammadiyah
“Proses pembusukan ikan mati berasal dari kepala, lalu menjalar ke sekujur tubuh.” Itulah pepatah Yunani Kuno yang diungkap Prof DR Syafii Maarif ketika berbicara dalam Sarasehan Ahklak dan Format Kepemimpinan Muhammadiyah yang diselenggarakan PP Muhammadiyah Badan Pendidikan Kader pada 13-14 Januari 1990 di Kampus Universitas Muhammdiyah Yogyakarta.
Barangkali pepatah tersebut tidak salah jika kita angkat lagi menyambut Musyawarah Wilayah ke-25 Muhammadiyah tanggal 27-29 November 2015 di Pekanbaru.
Tulisan ini tiada niat untuk mengkiritisi atau menyoroti kepemimpinan Muhammadiyah Riau, tak lain hanya sekadar mengingat-ingatkan warga Muhammadiyah terutama peserta Muswil untuk tidak lupa atau lengah terhadap risalah kepemimpinan di Muhammadiyah.
Menurut KH Amir Ma’sum, bahwa pemimpin adalah jiwa dari kelompok yang dipimpin. Jika jiwa itu hidup, sehat dan baik maka akan seperti itulah tubuhnya. Sebaliknya bila sang jiwa itu mati, sakit dan rusak, tentu sang tubuh akan menderita hal yang sama.
Begitu pula Buya AR Fakhrudin (Mantan Ketua PP Muhammadiyah) ketika beliau memberi sambutan dan arahan dalam suatu acara di Pekanbaru 1983, mengatakan bahwa untuk pengurus-pengurus Muhammadiyah di semua tingkat komposisinya 60% ulama/mubaligh dan 40% intelektual muslim, usahakanlah kata beliau. Selanjutnya Buya (panggilan akrab beliau) menambahkan bagi pemimpin, sisakan waktu untuk Muhammadiyah, jangan menunggu waktu tersisa karena sulit untuk ada waktu tersisa kata beliau. Kita tahu bahwa konsep kepeminpinan Islam yang diamalkan Muhammadiyah yaitu konsep kepemimpinan “bagi semua orang” (“kullukum raa’in”) meminta “pertanggungjawaban” (“wa kullukum mas’ulun ‘an raa’iyyatihi”) atas kepemimpinan siapa pun tanpa padang bulu, tinggi rendahnya jabatan, pertanggungjawabnya bersifat dunia dan akhirat.
Kedua Buya di atas (Buya AR dan Buya Safii) sama-sama sepakat bahwa pengurus Muhammadiyah itu haruslah yang mengerti Agama dengan baik, menghayati serta mengamalkannya dalam kehidupan konkret mereka dan setelah itu memahami pula cita-cita dan keinginan Muhammadiyah sekaligus paham tentang Muhammadiyah.
Ditambahkan pula oleh beliau Hadis Nabi: “Jangan mencari jabatan tapi bila diserahi tidak boleh menolak”. Muhammadiyah harus terus menghidupkan warganya perihal kekayaan batin, kekayaan spritual dan kehalusan sikap serta perilaku yang dijiwai akhlak mulia di tengah-tengah kehidupan dunia modern yang kompleks dan terasa keras dewasa ini termasuk dalam kehidupan kepemimpinan.
Jangan pecah kongsi antara bicara dan perbuatan. Kita butuh pemimpin yang arif, dapat diteladani dalam pemikiran maupun perilaku tanpa terkesan bodoh dan tidak cerdas. Pemimpin yang mempunyai kesadaran internal tinggi, bermakna dan mendatangkan manfaat bagi semua pihak.
Kesadaran moral sekaligus kesadaran yang senantiasa akan menumbuhkan rasa takut kepada Allah ketika dia tidak amanah yang tidak menjadi teladan bagi warganya bukan keadaan yang selalu membangkitkan nafsu berlebih untuk meraih kedudukan, jabatan seumur hidup, kepopuleran, primordialisme yang dipacu oleh semangat At-Takatsur padahal produktivitas minus.
Kita sibuk membangun sekolah, rumah sakit, panti asuhan tapi roh Muhammadiyah gersang. Jika roh Muhammadiyah hilang, apa bedanya kita dengan organisasi-organisasi sosial lain. Mudah-mudahan pepatah Yunani Kuno di atas jauh dari kita tentu dengan merenungkan dan mengamalkan pesan-pesan luhur, senior-senior dan pendahulu-pendahulu Muhammadiyah.
Semoga Muswil ke-25 sukses, menghasilkan program-program yang bernas dan terpilihnya pemimpin-pemimpin yang sesuai harapan kita semua. Saya yakin peserta Muswil cerdas memilih, insya Allah. Selamat bermusyawarah.***