Islami Wasathi Versus Islamofobia
International Conference of Islamic Scholars (ICIS) 2015 di Universitas Islam Malang pada 23-25 November adalah acara yang tepat digelar di saat dunia ketakutan dengan gerakan teroris yang mengatasnamakan diri dari ideologi agama.
Pascatragedi Paris yang menewaskan 129 orang, kini dunia dipenuhi ketakutan. Negara-negara Eropa memperketat keamanan, bahkan acara yang melibatkan banyak orang digagalkan demi keamanan negara.
Apa yang ditakuti sejak dulu oleh Eropa telah benar-benar terjadi, yaitu benturan kebudayaan antara dunia Timur dan Barat. Beberapa negara di Eropa secara tegas menunjukkan anti-Islam dan Islamofobia dengan dalih menjaga stabilitas negara dan budayanya.
Ada lembaga swadaya manusia (LSM) di belahan Eropa yang berfokus menyoroti imigran, padahal sejatinya menyoroti umat Islam masuk ke Eropa.
Gerakan antiimigran dan anti-Islam di Eropa memiliki kesamaan konsepsi. Partai sayap kanan moderat yang tidak bisa menyuarakan sikap anti-Islamnya bersembunyi di balik topeng gerakan antiimigran.
Mereka menciptakan berbagai pembatasan terhadap para imigran dengan target melancarkan Islamofobia.
Di sisi lain, Eropa kekurangan pertambahan penduduk. Menurut beberapa hasil kajian, Eropa membutuhkan kelahiran 2,1 persen dari jumlah penduduknya setiap tahun.
Padahal, angka kelahiran saat ini hanya 1,5 persen.
Eropa membutuhkan 1,6 juta imigran per tahun untuk menjaga perimbangan antara penduduk usia produktif dan penduduk pensiunan.
Sebagian besar imigran yang datang ke Eropa berasal dari Afrika Utara, Timur Tengah, serta Asia Selatan dan Tengah.
Para imigran Muslim di Eropa tak dapat berintegrasi dengan baik dengan masyarakat Eropa. Bahkan, terkesan budaya Muslim ditolak masyarakat Eropa.
Seperti di Jerman, sekolah-sekolah Mus lim dibatasi untuk menggunakan bahasa Arab dan mewajibkan mereka menggunakan bahasa Jerman saat di rumah. Di Prancis, sebagai negara Eropa yang menerima imigran terbanyak menunjukkan sikap anti-Islam.
Propaganda masif Islamofobia di Eropa menyulut lahirnya media satir anti-Islam seperti Charlie Hebdo yang membuat kartun menistakan Rasulullah SAW.
Ironisnya, terbitnya kartun yang menghina Nabi SAW itu berlindung di balik kebebasan berekspresi. Pada saat yang sama, mereka menerapkan standar ganda dengan membatasi aktivitas beragama masyarakat Muslim di Eropa.
Fakta menunjukkan, pada 2005 sebuah studi oleh Pusat Pemantau Eropa terhadap Rasialisme dan Xenofobia, sebuah lembaga yang dibentuk Uni Eropa, menemukan, kalangan Muslim sering menjadi korban stereotip negatif, termasuk dalam pemberitaan di media massa. Sebuah survei yang disponsori Komisi Eropa pada Oktober 2010 memperlihatkan sebagian besar umat Islam yang tinggal di negara-negara Uni Eropa mengalami diskriminasi.
Fenomena anti-Islam atau Islamofobia di Eropa dan Barat memperkuat tesis Samuel Huntington tentang "konflik peradaban" dalam bukunya the Clash of Civilization and the Remaking of World Order (1996).
Menurut Huntington, dengan berakhirnya Perang Dingin yang ditandai runtuhnya ideologi komunisme, wilayah konflik meluas melewati fase Barat, dan yang mewarnainya adalah hubungan antara peradaban Barat dan non-Barat serta antarperadaban non-Barat itu sendiri.
Ada dua faktor mengapa benturan budaya sampai menyentuh pada konflik bersenjata terjadi di beberapa belahan dunia, yakni pemahaman agama yang tekstualis ekstremis dan gerakan sikap anti-Islam atau Islamofobia di Eropa dan Barat. Keduanya tak diketahui mana yang lahir lebih dulu, apakah Islamofobia yang melahirkan radikalisme ekstremisme atau paham keagamaan radikalisme ekstremisme yang melahirkan Islamofobia.
Untuk mencari solusi perdamaian dunia, masing-masing harus mampu mengevaluasi diri guna mengurangi kecurigaan dan ketakutan.
Umat Islam perlu introspeksi dalam pemahaman keagamaan dan cara belajar agama. Acap kali sebagian umat Islam memahami agama hanya parsial sehingga mengambil sebagian ayat tanpa mengaitkan dengan ayat lain dalam tema yang sama. Kesimpulan yang diambil dari Alquran dan Hadits hanya pemahaman yang sesuai suasana diri dan latar belakang pribadinya.
Ada sebagian umat Islam yang memahami agama secara substansi sehingga lepas dari makna teksnya. Ada pula pemahaman agama yang hanya mengambil dari makna tekstualnya sehingga buta untuk membaca konteknya.
Pemahaman agama Islam itu harus holistik dan komprehensif. Wajib mengaitkan suatu teks dengan konteks turunnya teks, bahkan juga harus dikorelasikan dengan konteks sosial yang sedang dialami. Pemahaman Islam yang utuh dan paripurna akan melahirkan keberagamaan yang rahmat bagi semesta alam.
Islam yang dipandu oleh teks kitab Alquran dan Hadits harus dipahami dari tiga perspektif sekaligus untuk diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat. Pertama, pemahaman secara tektual.
Pemahaman ini digunakan untuk dapat mengerti pesan dasar yang dikehendaki Allah SWT dalam mengatur pola hidup beragama.
Teks adalah wahyu untuk mengarahkan manusia dalam proses nalar rasionya. Teks agama bagai sinar yang memberi cahaya kepada rasio untuk melihat kebenaran sehingga akal manusia tak tersesat dalam logika yang memutar dan berantai dalam kesesatan.
Kedua, memahami tujuan syariah. Pemahaman ini untuk mengarahkan agar tidak terjebak pada pemikiran sempit dalam teks. Sebab, dari rangkaian teks untuk menyampaikan pesan agama pastinya ada tujuan besar yang hendak dicapai oleh agama, yaitu kemaslahatan.
Sering kali pemahaman teks agama yang tidak dipandu tujuan syariah menimbulkan sikap beragama yang keterlaluan. Kadangkala terlalu sempit memahami agama juga terlalu longgar pemahaman agama sehingga berpengaruh pada sikap beragama.
Ketiga, memahami hikmah syariah. Pemahaman terhadap hikmah disyariatkan suatu perintah agama akan membuat sikap keberagamaan lebih realistis. Karena tak semua perintah dapat dikerjakan bahkan memang tak mampu dilakukan oleh sebagian orang. Penerapan syariah bagi individu atau masyarakat lebih realistis dan kondisional.
Pemahaman komprehensif tentang agama akan melahirkan pemahaman Islam yang wasathi, yaitu berislam yang moderat, seimbang, dinamis, reformis, dan toleran. Agama menjadi panduan hidup menuju manusia yang damai dan selamat di dunia dan akhirat.
Islami wasathi.
Islam mengajarkan keseimbangan beragama agar manusia menemukan kemaslahatan dalam hidupnya guna dapat memakmurkan bumi. Islam tak mengajarkan untuk menyerang orang lain kecuali hanya untuk membela dan mempertahankan diri pada saat diserang.
Karenanya, bernegara dalam Islam bukan tujuan, tetapi hanya sarana untuk mencapai kemaslahatan manusia. Tak dapat dibenarkan mendirikan negara Islam dengan pertumpahan darah apalagi menyerang mereka yang tak bermasalah hanya untuk ambisi dunia dan kekuasaan semata.
Pesan Rasulullah SAW saat khutbah perpisahan, "Kembalikan barang-barang yang diamanahkan kepadamu kepada pemilik yang sebenarnya. Jangan kau lukai orang lain sebagaimana orang lain tidak melukaimu." Ini menunjukkan agar kita tak merampas hak orang lain dan tidak menyakiti siapa pun. Islam bersifat universal dan dapat beradaptasi dengan perkembangan zaman sehingga.
Indonesia yang mayoritas beragama Islam berpaham wasathiyatul Islam tak memaksakan untuk menamakan dan berasasikan negara pada Islam. Pilihan dasar negara kepada Pancasila karena dipandang lebih maslahat kepada masyarakat Indonesia demi persatuan.
Pancasila sebagai dasar negara bukan agama, juga bukan antiagama. Namun, Pancasila telah mampu mengakomodasi kepercayaan dan kepentingan umat beragama. Pancasila telah menempatkan pemahaman agama pada garis orbitnya dan menolak paham antiagama dan anti-Islam.
Sebagai Muslim yang termasuk bagian dari masyarakat dunia menginginkan paham agama Islam yang wasathi yang menyebar dan menolak stereotip Islam dan Islamofobia agar dapat bersikap adil menuju perdamaian dunia.(rol)
Sekretaris Program Studi Kajian Timur Tengah dan Islam (PS KTTI) Pascasarjana UI, Head of Islam and Society of ICIS