Guru dan Catatan Semu
Hari Guru Nasional kembali diperingati. Tak tanggung, 25 November tahun ini mencecah 70 tahun sudah. Menapak umur uzur begitu, catatan pahlawan tanpa tanda jasa itu masih semu. Hasrat hati akan gaji tak dikebiri sampai pemerataan penempatan, tak kalah menyesakkan.
Tahun ini mestinya tahun istimewa bagi para guru tanah air, karena mereka mendapat menteri pendidikan baru konon lebih peduli pada dunia guru. Hal ini juga nampak bagaimana pemerintahan Presiden Jokowo dan Wapres Jusuf Kalla memecah kementerian pendidikan menjadi dua, yakni pendidikan dasar menengah, riset teknologi dan pendidikan tinggi.
Hanya saja, keistimewaan ini barangkali masih bermain diimpian. Pemerintah belum memberi solusi menyeluruh permasalahan para guru. Nasib tenaga didik itu memprihatinkan. Terlebih guru yang mengabdi di daerah terpencil dan perbatasan.
Permasalahan itu mulai dari distribusi Sumber Daya Manusia (SDM), pemerataan guru, kualitas perlu ditingkatkan, perubahan kurikulum dan pengangkatan guru honorer. Sebagian merupakan kisah klasik, bagian lain demikian sistematis. Badan Kepegawaian Nasional (BKN) mengatakan, jumlah guru di Indonesia mencapai 2,92 juta orang.
Itu mencakup guru negeri dan swasta, ditambah juga 900 ribu tenaga guru honorer. Secara rasio, jumlah tersebut sangat baik untuk Indonesia karena rasio guru-murid 1:14. Di atas kertas, rasio guru murid Indonesia ini lebih bagus ketimbang Malaysia (1:20), Jepang (1:32), Korea Selatan (1:30), bahkan standar internasional (1:32).
Masalahnya malah lebih pelik, karena 76 persen dari jumlah guru itu terpusat di kota. Tenaga pengajar di desa atau daerah kecil jarang, apalagi pengajar di daerah perbatasan dan pulau terluar. Guru enggan kesana, karena khawatir asib mereka menjadi tak jelas di tempat mengajar. Tak jarang mendengung, justru TNI yang diperbantukan menjadi guru. Cerita guru honorer tak kalah membuat dada sebak.
Ada 900 ribu guru honorer di Indonesia. Mereka meminta status dinaikkan menjadi guru tetap. Honor mereka memprihatinkan. Meski ada batas honor, yang terjadi di daerah pembayaran di bawah honor wajar dan bahkan dirapel tiga bulan. Kurang apalagi sebuah pengabdian?
Fakta di lapangan pun berkata, ada guru honorer dibayar sayur mayur Rp4.500 per jam, sementara honor standar di atas Rp10 ribu per jam.
Apa iya, atas dedikasi dan cinta anak didik, kenyataan mencekik itu dihalau angin lalu? Untung saja, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) mengusulkan paling tidak dua hal mendasar, membenahi masalah guru. Pertama menyebarkan guru secara merata.
Guru yang bertugas di daerah terpencil mendapat insentif dan jaminan rumah sehingga banyak yang mau kesana. Kedua, guru honorer, madrasah, dan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) mendapat sejenis kartu jaminan sosial seperti Kartu Keluarga Sejahtera, Kartu Indonesia Pintar, dan Kartu Indonesia Sehat.
Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar Menengah Anies Baswedan, serta Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi M Nasir, harus bisa memperjuangkan nasib guru yang masih dalam lingkaran perih menyuntih. Sebelum diangkat sebagai pejabat, keduanya guru juga.
Mereka tahu bagaimana menjadi pengajar. Anies membentuk gerakan Ayo Mengajar dengan menyebar anak-anak muda potensial ke daerah terpencil menjadi guru sementara. Semoga Menteri Anies mengeluarkan kebijakan tepat yang bisa membahagiakan para guru.
Adapun soal mutu, guru Indonesia masih mengkhawatirkan. Dari uji kompetensi guru terhadap sekitar 1,6 juta guru, hasilnya tidak menggembirakan karena sebagian besar nilainya di bawah 50 dari nilai tertinggi 100. Bahkan, ada hampir 130.000 guru yang nilainya antara 0 dan 30. Adapun guru yang hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) di atas 60 hanya berkisar 200.000 guru.
Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Dirjen GTK) Sumarna Surapranata, mengatakan, hasil itu menjadi potret nyata soal kualitas guru. Kalau sudah begitu, usia adakalanya tak menjanjikan apa-apa. ***