BPJS Kesehatan Defisit Rp6 Triliun
PEKANBARU (HR)-Tahun 2015, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan mengalami defisit atau kerugian sebesar Rp6 triliun. Hal ini disebabkan karena tingginya biaya klaim yang harus dibayarkan BPJS Kesehatan, sehingga melebihi dari yang telah dianggarkan oleh pemerintah.
Seiring hal tersebut, Kepala Divisi Regional II BPJS Kesehatan Benjamin Saut PS kepada Haluan Riau menuturkan bahwa pemerintah sedang mencanangkan langkah strategis dalam mencegah defisit neraca keuangan yang terjadi di BPJS Kesehatan.
"Dalam pertemuan dengan Presiden Joko Widodo dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan kemarin, didiskusikan langkah strategis untuk mencegah defisit neraca keuangan yakni dengan menaikkan premi peserta kelas I dan II," ujar Ben.
Pernyataan tersebut seiring dengan dilakukannya pertemuan bersama presiden kemarin, dimana Presiden Joko Widodo menanyakan jumlah dana yang dibutuhkan agar neraca keuangan BPJS tidak menanggung defisit lantaran pembayaran klaim yang lebih besar dibandingkan dengan pendapatan dari premi.
"Jadi pada tahun ini lembaga tersebut berisiko mengalami defisit hingga Rp6 triliun. Beliau bertanya tahun depan berapa dibutuhkan untuk suntikan. Kalau tidak dalam bentuk suntikan berapa dibutuhkan diskemakan dalam iuran APBN," ujarnya, Jumat (20/11).
Seperti disampaikan Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris, menuturkan bahwa 2016 pemerintah telah menetapkan kenaikan premi peserta kelas III dari Rp19.225 menjadi Rp23.000/orang/bulan. Premi tersebut lebih rendah dari perhitungan BPJS Kesehatan dan DJSN yang mengusulkan premi sebesar Rp36.000/orang/bulan.
Kondisi tersebut, lanjutnya, masih berisiko menimbulkan defisit neraca keuangan BPJS Kesehatan pada tahun depan. Apalagi total klaim pada 2016 diproyeksi menembus Rp68 triliun lantaran jumlah peserta dan utilisasi meningkat.
Selain itu, Direksi BPJS Kesehatan juga mengungkapkan opsi kenaikan iuran peserta nonsubsidi untuk kelas I dan II guna menutup defisit neraca keuangan.
Menurutnya, opsi tersebut merupakan bagian dari gotong royong pembayaran iuran dengan peserta yang kurang mampu atau penerima bantuan iuran,"papar Ben.
Sementara berdasarkan estimasi awal BPJS Kesehatan yang merujuk pada hitungan aktuaria, iuran peserta kelas I berpotensi naik dari Rp59.500 menjadi Rp80.000/orang/bulan dan peserta kelas II dari Rp42.500 menjadi Rp50.000/orang/bulan.
"Ini hitungan awal kita, tapi belum ada angka pasti, mesti kita bicarakan dulu, dihitung kemampuan masyarakat berapa. Kemudian kita harus siapkan semua data dengan baik. Tapi kita tidak akan menganggu kelas III," katanya. (nie)