Saudi Beli Persenjataan ke AS Senilai USD 1,29 Miliar
Washington DC (HR)-Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat (AS) menyetujui penjualan senjata dan bom kepada Arab Saudi. Penjualan tersebut bernilai USD 1,29 miliar atau sekitar Rp 17,7 triliun.
Senjata tersebut nantinya akan digunakan oleh Arab Saudi untuk melawan pemberontak di Yaman dan ISIS di Suriah. Hal itu dikatakan oleh Pentagon pada Senin (16/11) waktu setempat seperti dilansir Reuters, Selasa (17/11).
Badan Keamanan Kerjasama Pertahanan Pentagon (DSCA) akan memfasilitasi penjualan senjata tersebut meskipun tindakan penjualan tersebut sangat jarang sekali terjadi.
Pada Jumat (13/11) lalu, anggota parlemen telah menyetujui penjualan senjata tersebut. Meski telah disetujui, penjualan senjata tetap bisa dibatalkan oleh anggota parlemen 30 hari pasca persetujuan.
Penjualan senjata ke Arab Saudi ini membuktikan janji Presiden Barack Obama untuk meningkatkan dukungan militer AS untuk Arab Saudi. Penjualan ini juga akan membantu Royal Saudi Air Fore (RSAF) dalam mengisi persenjataan yang telah habis karena digunakan dalam beberapa operasi.
"Akuisisi ini akan membantu mempertahankan hubungan militer antara AS dan Arab Saudi. Selain itu, persenjataan ini nantinya akan menambah kemampuan Saudi untuk bekerja bersama AS dalam menjaga cadangan minyak terbesar di dunia dan mencegah ancaman di regional," kata Pentagon.
Penjualan ini meliputi 22.000 bom ledak, 1.000 bom laser tipe GBU 10 Paveaway, dan 5.000 mesiu yang dpat mengubah bom yang sudah usang menjadi senjata aktif dengan menggunakan sinyal GPS.
Persenjataan ini dibuat oleh Boeing Co dan Raytheon Co. Namun kontraktor utama dalam penjualan persenjataan ini masih akan dipilih dalam sebuah kompetisi.
Arab Saudi merupakan negara yang membeli persenjataan paling besar dari Amerika Serikat. Bulan lalu, Pemerintah AS juga menyetujui penjualan empat Kapal Littoral Combat ke Arab Saudi senilai USD 11,25 triliun.
Saat dimintai tanggapan terkait penjualan senjata dari Amerika Serikat ini, Kedutaan Arab Saudi di Washington belum bersedia menanggapi.(dtc/rio)