Teror, WNI di Paris Masih Syok
PARIS (HR)-Warga Negara Indonesia (WNI) yang bermukim di Paris masih syok pasca serangan teror yang terjadi pada Jumat (13/11) lalu. Serangan teror ini sedikitnya menewaskan 153 orang.
Namun Wakil Kepala Perwakilan KBRI Paris, Asharyadi, menyebut aktivitas warga sudah berangsur normal meski belum seramai seperti sebelum serangan teror terjadi.
“Masih syok dengan keadaan ini. Tapi mereka tidak takut, hanya prihatin,” ungkap Asharyadi melalui sambungan telepon pada Republika.co.id, Minggu (15/11).
Sehari pasca serangan senjata, sambung dia, suasana Paris tak lagi mencekam. Sebab, semua warga tahu pelaku teror telah tewas seluruhnya. Tak ada pelaku yang diburu seperti peristiwa penembakan Charlie Hebdo yang juga terjadi di Paris beberapa waktu lalu.
Kendati suasana telah kembali normal, pemerintah setempat telah meningkatkan pengamanan di segala penjuru kota. Menurut Asharyadi, Menara Eiffel yang menjadi ikon wisata Paris masih ditutup untuk turis. Jalan-jalan kota yang biasanya terdapat keramaian juga terlihat lebih lengang.
Adapun KBRI Paris telah mengeluarkan imbauan pada WNI untuk tetap waspada saat berada di tempat keramaian. Namun, imbauan itu tidak sampai pada larangan untuk bepergian untuk sementara waktu.
Menurut Asharyadi, dari penyusuran yang dilakukan ke tiga rumah sakit yang menangani korban teror Paris, tidak ditemukan adanya warga negara Indonesia. “Sejauh ini KBRI juga tidak menerima laporan mengenai adanya korban WNI. Mudah-mudahan memang tidak ada korban dari kita,” ucapnya.
Hingga kemarin, jumlah korban serangan teror sedikitnya tercatat 153 orang tewas. Salah satu korban terbesar berada di gedung pergelaran konser di Bataclan. Di sana sekitar 112 orang tewas saat seorang bersenjata senapan otomatis memberondong penonton yang sedang menyaksikan aksi panggung band Amerika. Pelaku juga menyandera sekitar 100 orang.
Polisi kemudian melakukan operasi penyelamatan di gedung konser dan menewaskan tiga ekstremis. Sisa sandera berhasil diselamatkan tanpa diketahui jumlah pastinya.
Sekitar lima mil dari lokasi tersebut, dua pelaku meledakkan diri di luar stadion Stade de France saat berlangsungnya pertandingan Jerman dan Prancis.
Presiden Prancis, Francois Hollande mendeklarasikan kondisi darurat menyusul serangkaian teror yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Hollande memerintahkan untuk menutup perbatasan untuk meminimalisir imbas.
Total enam insiden terorisme terjadi di sepanjang Paris. Selain serangan di stadium dan tempat konser, penembakan juga terjadi di dalam restoran di Rue Bichat dan menewaskan 11 orang. Galeri Louvre juga menjadi sasaran tembak dan bom, bersama dengan Pompidou Centre dan pusat perbelanjaan Les Halles.
Pelaku Diidentifikasi
Sementara itu, polisi Prancis hingga saat ini terus menyelidiki dan mencari banyak bukti terkait insiden tragedi Paris yang mengguncang ibu kota Prancis tersebut pada Jumat malam lalu.
Investigator di Prancis terus melakukan identifikasi terhadap siapa-siapa saja yang terkait pengeboman dan penembakan di Paris. Sederet petunjuk dan tersangka sudah dikumpulkan oleh para penyelidik.
Dilansir CNN, Minggu (15/11) petugas di Prancis menemukan 3 pucuk senapan otomatis jenis Kalashnikov dalam sebuah mobil yang ditemukan di Montreiul, Paris. Senjata itu dipercaya digunakan oleh para teroris dalam penyerangan penembakan pengunjung dua restoran di Paris. Mobil Seat itu digunakan untuk menyerang dua dari enam lokasi di Paris. Dua lokasi itu adalah bar di kawasan rue de la Fontaine-au-Roi yang menewaskan 5 orang dan sebuah restoran di rue de Charonne yang menewaskan 19 orang.
Hingga saat ini, polisi baru mengidentifikasi Omar Ismail Mostefai sebagai pelaku penembakan di gedung konser Bataclan yang menewaskan 89 orang. Identitas pria 29 tahun tersebut diketahui dari sidik jari dari potongan jari yang ditemukan. Mostefai meledakkan diri setelah mengumbar tembakan kepada penonton konser grup metal Eagles of Death Metal. Saksi mata satu serangan di 6 lokasi menyebut penyerang menembakkan senjata Kalashnikov. Mostefai masuk ke gedung konser itu bersama 2-3 penyerang.
Sementara itu, sebanyak 6 orang yang dekat dengan Omar Ismail Mostefai, tersangka penembakan di gedung konser Bataclan, telah ditahan polisi. Di antara 6 orang itu adalah ayah, saudara lelaki dan ipar perempuan. Demikian informasi dari sumber-sumber penegak hukum. Mereka akan ditanyai untuk memverifikasi informasi tentang Mostefai.
Di Prancis, penahanan seperti itu biasa dilakukan untuk kepentingan penyelidikan kasus kriminal. 6 Orang itu sendiri sebelumnya tidak pernah dikenai tuntutan atau ditahan.
Seperti dilaporkan media Prancis, polisi juga menemukan paspor Suriah di pelaku bom bunuh diri. Pelaku ini melakukan aksi bom bunuh diri di luar Stadion Stade de France. Tak hanya itu, polisi juga menemukan paspor Mesir dari pelaku lainnya yang juga menyerang stadion tersebut.
Kekejaman
Selain Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Ketua MPR Zulkifli Hasan, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir secara tegas mengutuk keras peristiwa terorisme dan pemboman di kota Paris, Perancis.
Haedar menegaskan Muhammadiyah menilai pemboman di Paris tersebut merupakan sebagai kekejaman bukan hanya atas nama kemanusiaan tapi peradaban manusia.
"Tindakan teror di Paris ini kekejaman peradaban yang tidak bisa dibenarkan atas dalil agama apapun," katanya.
Berkali-kali Muhammadiyah menegaskan, aksi kekerasan dan teror tidak sesuai dengan ajaran Islam baik menurut Alquran dan Hadis, karena jauh dari pemahaman Islam yang damai dan rahmatan lil alamin.
Dari segi kemanusiaan, tindakan apapun yang menggunakan kekerasan atas nama apapun akan merusak kehidupan manusia. Alquran bahkan menegaskan menghilangkan satu jiwa sama dengan menghilangkan seluruh jiwa manusia. sebaliknya kalau kita menyelamatkan satu jiwa sama seperti menyelamatkan seluruh jiwa manusia.
Siapapun pelakunya baik mengatasnamakan agama manapun, tidak akan pernah dibenarkan oleh peradaban. Islam atau bukan, kekejaman tidak bisa mewakili agama manapun. Ia pun meminta kepada seluruh kelompok kekuatan yang menggelorakan perjuangan dengan kekerasan dan mengatasnamakan jihad, baik di Indonesia atau dunia untuk menghentikan cara-cara ini.
"Sebab kekerasan tidak akan pernah menyelesaikan semua persoalan. kekerasan hanya akan menimbulkan kekerasan baru," tambahnya.
Muhammadiyah menyatakan duka mendalam atas peristiwa ini apapun latar belakang korban, adalah hak semua manusia mendapatkan empati dan simpati atas peristiwa kemanusiaan ini.
Muhammadiyah menghimbau agar negara-negara barat bisa bersikap proporsional, tidak mudah mengeneralisasikan aksi teror dengan Islam. Dan menghentikan munculnya Islamophobia baru atau diskriminasi atas simbol-simbol dan identitas islam. Ini hanya karena segelintir kelompok yang mencatut nama Islam.
"Kita berharap semua semakin dewasa dan mampu mengambil pelajaran dari peristiwa ini," terangnya. “Serangan teror Jumat malam waktu setempat itu adalah serangan paling maut ke Prancis sejak Perang Dunia Kedua dan yang terburuk di Eropa sejak bom Madrid pada 2004 yang menewaskan 191 orang. Prancis adalah negara Eropa pertama yang bergabung dengan serangan udara AS ke sasaran-sasaran ISIS di Irak pada September 2014, dan setahun kemudian diperluas ke Suriah. Prancis bahkan akan mengirimkan kapal induk bulan ini. (rol/ant/ara/met)