Bukan Pahlawan Kesiangan
SEJARAH menorehkan, kemerdekaan negeri tak datang dengan sendiri, melainkan perjuangan gigih, pemikiran, bahkan darah para pahlawan. Untuk itulah, tanah air setiap tahun merayakan Hari Pahlawan setiap kalender 10 November. Namun belakangan, muncul para individu yang tak ubahnya pahlawan kesiangan. Belum berarti dan memberi apa-apa kepada negeri, minta diakui sebagai pahlawan. Boleh saja, namun mereka bisa jadi pahlawan kesiangan.
Hari ini, peristiwa Hotel Yamato barangkali menyisir lagi. Mengenang jasa para pahlawan yang telah bersedia mengorbankan harta dan nyawanya memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan. 10 November pada 65 tahun silam para pejuang bertempur mati-matian melawan tentara Inggris di Surabaya. Saat itu, pejuang hanya mempunyai beberapa pucuk senjata api dan bambu runcing. Namun para pejuang tak pernah gentar. Bahkan slogan, merdeka atau mati menggetarkan setiap sudut kota.
Setiap tahun kita mengenang jasa para pahlawan. Namun terasa, mutu peringatan itu menurun dari tahun ke tahun. Rasa itu memudar seiring masa. Peringatan yang dilakukan sekarang cenderung bersifat seremonial belaka. Upacara dan pamungkasnya kumandang Indonesia Raya membelah angkasa. Sementara tugas memberi makna baru kepahlawanan dan mengisi kemerdekaan sesuai perkembangan zaman tak sebatas upacara menghadap Sang Saka Merah Putih semata.
Saat memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan, pahlawan mengorbankan nyawanya. Ada baiknya menundukkan kepala mengenang jasa mereka. Akan tetapi itu saja tak cukup, kepahlawanan tak hanya berhenti disana. Dalam mengisi kemerdekaan individu dituntut menjadi pahlawan. Sebab pahlawan itu adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. Pahlawan adalah pejuang gagah berani. Pahlawan adalah perihal sifat seperti keberanian, keperkasaan, kerelaan berkorban, dan kekesatriaan. Sementara dalam lingkup seperti politik, tak jarang pecundang malah mengaku pahlawan.
Hari pahlawan boleh jadi momen tepat memperkuat kembali jiwa kerelaan berjuang dan berkorban demi kepentingan bangsa. Semangat berkorban ini bagi generasi yang lahir pasca kemerdekaan dan tak merasakan perjuangan fisik sepertinya mulai sirna. Jiwa berkorban yang dulu begitu besar dimiliki para pejuang sekarang hilang diganti oleh jiwa rakus, aji mumpung, dan mental korup.
Padahal, semangat dan tindakan kepahlawanan sangat diperlukan tatkala kita kini masih menghadapi banyak masalah, terlebih dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tidak usah terlalu jauh, ketika kini banyak musibah bencana melanda tanah air, mulai dari banjir, kemarau, letusan gunung api atau kabut asap belum lama ini. Pada saat itulah semangat dan tindakan kepahlawanan seyogyanya ditunjukkan.
Mereka para relawan yang tanpa pamrih berjibaku di daerah bencana, mungkin boleh disematkan jiwa pahlawan. Begitu pun dengan masyarakat yang terkena bencana, layak disebut pahlawan ketika tetap tabah, sabar dan tegar menghadapi musibah bencana yang demikian dahsyat.
Lembaran hari-hari kini, dihadapkan kehidupan antara realitas, emosionalitas, rasionalitas, dan spiritualitas satu sama lain terkait. Tanpa perlu banyak berpikir atau merenung, apa yang tengah kita hadapi saat ini sesungguhnya telah menggugah hati nurani menunjukkan semangat dan tindakan kepahlawanan. Bukankah demikian? ***