Mencegah Eskalasi Kleptokrasi APBD
Kata Imam Al-Ghazali, ”Uang itu bagaikan ular yang menyebarkan bisa bagi siapa saja yang hidupnya terikat dengannya.” Apa yang disampaikan filosof dan ahli zuhud itu merupakan peringatan keras terhadap manusia yang hidupnya diserahkan, diabdikan, dan diperbudak oleh uang.
Uang dapat menjadi bumerang yang mengakibatkan manusia kehilangan kecerdasan moral dan spiritualnya, karena di dalam diri manusia hanya disibukkan untuk mengkalkulasi dan mengikuti arah rotasi uang, tanpa bisa berfikir bening untuk memperlakukan uang sebatas alat pertukaran.
Celakanya, uang kemudian dijadikan sebagai senjata utama atau instrumen untuk melemahkan kinerja, mengacaukan wacana, membeli opsi anomali, mengamputasi ideologi, mendegradasi kebenaran, menjungkirbalikkan kejujuran, dan khususnya menghancurkan kontruksi pemerintahan yang benar-benar berbasiskan kerakyatan.
Kredibilitas seseorang atau sekelompok orang yang sejatinya mewakili ‘daulat rakyat’ seperti anggota dewan, ternoda secara serius akibat mempermainkan anggaran (keuangan) negara. Dalam kasus permainan APBD di daerah-daerah seluruh Indonesia, siapa pun yang terlibat dalam praktik ini, layak distigmatisasi sebagai produsen terwujudnya kleptokrasi APBD.
Kleptokrasi APBD itu bisa jadi merupakan deskripsi adanya kesepakatan antar-berbagai elemen (oknum) eksekutif maupun legislatif yang tergila-gila dengan kekuasaan, yang melalui kekuasaannya ini dijadikannya sebagai kendaraan utama untuk memperkaya atau ‘menyejahterakan’ diri.
Itulah bisa (racun) yang ditabur oleh uang yang disalahgunakan pemakainya. Pemakai hanya mampu menempatkan uang sebagai kekuatan pembunuh yang ganas dan mematikan tanpa berfikir kalau yang dilakukannya akan menghancurkan peradaban masyarakat di masa mendatang, atau menghancurkan keadaban rezim lokal.
Jika elitis itu masih berhati nurani dan berprinsip pada sila Pancasila, ‘Kemanusiaan yang adil dan beradab’, tentulah tak sepantasnya mengail di air keruh, memanfaatkan kesempatan saat berkuasa, atau bereksperimen secara kriminal dengan cara membohongi publik, atau menyalah-alamatkan uang rakyat untuk memuaskan naluri kebinatangan atau ambisi kleptokrasinya.
Ambisi kleptokrasi itu merupakan keinginan meledak-ledak untuk mendapatkan kekayaan dengan cara yang tidak bermoral, mengkhianati amanat, menodai sumpah jabatan, dan melanggar norma agama dan hukum. Ketika ambisi ini diwujudkan dalam perbuatan, maka apa yang dilakukan ini tergolong sebagai potret perbuatan berkelas ‘Malin Kundang’.
Dulu Bung Hatta pernah mengatakan kalau korupsi di negeri ini sudah membudaya. Kritik ini kemudian dijadikan patokan untuk menganalisis gerak perkembangan koruptor di Indonesia, yang gejalanya ternyata membenarkan dan menguatkan sinyalemen Hatta tersebut.
Faktanya, koruptor benar-benar mampu membuktikan dirinya sebagai pemilik budaya struktural yang sangat patologis dan anomalistik, alias sakit berat yang membuat negeri ini terus bergeser jadi sekarat. Menjadi ‘wajar’, misalnya, jika suatu daerah diduga terserang kleptokrasi APBD, berarti terdapat penyakit mengerikan yang dipertahankan dan ditoleransi di daerah tersebut. Penyakit ini berelasi dengan anggaran yang terkorupsi atau terkleptokrasi secara sistemik.
Memang, belum ditemukan data yang menghubungkan antara kemungkinan terjadinya penyalagunaan pos anggaran untuk pencegahan atau penanggulangan bencana di suatu daerah dengan realitas terjadinya bencana alam. Namun demikian, dugaan korupsi, besar atau kecil jumlahnya, diniscayakan tidak berlebihan ketika dikaitkan dengan masih mengulturnya penyakit kekuasaan ini.
Membudayanya korupsi di Indonesia memang tidak main-main, karena di hampir setiap sektor strategis yang berbau aset publik atau tempat menyimpan kekayaan negara, para koruptor yang dewasa ini disebut sebagai tikus-tikus negara, mampu dan sangat canggih menggaruk, mengeruk, dan menggerogoti kekayaan negara.
Kekayaan negara atau daerah dijadikan ajang untuk memperkaya diri, kroni, dan keluarga. Mereka berlomba untuk mengeruk atau menjarah sebanyak-banyaknya di berbagai pos APBD atau sumber-sumber lainnya.
Namanya saja sebagai kejahatan yang sudah membudaya dan ‘merakyat’, maka untuk memberantasnya pun jelas tidak gampang. Apalagi, jika para pemegang kekuasaan tidak totalitas, atau jihad-nya hanya setengah hati dan sekedar mengisi wacana politik kriminalitas. (Martono, 2013).
Tatkala semua atau setidaknya terjadi pemerataan perbuatan anomali atau kleptokrasi, maka akhirnya yang berlaku adalah kekuatan mayoritas atau kolektivitas koruptor dengan cara saling mendukung dalam ‘mengoyak’ ketahanan APBD.
Semakin banyak yang terlibat, kecipratan atau sama-sama ikut menikmati hasil korupsi APBD, maka kekuatan kejahatannya makinlah terorganisasi dan menjadi produk ‘hukum kesepakatan’ yang jelas-jelas tidak gampang dibongkar secara tuntas, pasalnya masing-masing pemain telah memainkan perannya secara ‘profesional’ dan sindikatif.
‘Kesepakatan’ tersebut menjadi ciri khas dunia sindikat, tidak terkecuali di lingkungan birokrat dan poliitisi. Birokrasi sindikasi atau sindikatnya para birokrat sudah terbukti dan ‘teruji’ mampu mengalinasikan hak-hak publik.
Tatkala oknum elite kekuatan strategis bangsa ini sangat kuat mengelola kejahatan terorganisirnya, maka barangkali suatu kemustahilan produk kejahatannya akan terbongkar, terlebih pada saat menjabatnya.
Praktik semacam itu, dapat dicegah jika setiap elemen masyarakat terus menerus mengkritisnya. Masyarakat wajib menyuarakan secara keras dan gencar terhadap komunitas elitis yang masih berusaha membuka ‘ruang’ menghalalkan atau menoleransi ‘penjarahan’ APBD.
Selain itu, berbagai proyek pembangunan atau kegiatan di masyarakat, yang biasanya mendapatkan kucuran dana dari APBD, juga wajib ‘diadili’ masyarakat tentang realitas jumlah dana dengan kebenaran peruntukannya. Sudah demikian banyak APBD yang disalahalamatkan penggunaannya, sementara di antara kita mengambil sikap masa bodoh.
Masyarakat mempunyai tanggung jawab yang sangat besar dalam mencegah teralisasinya kleptokrasi APBD. Pasalnya, masyarakat itu selain menjadi lokasi perealisasian tidaknya APBD, juga mempunyai mata telanjang yang bisa mengukur tingkat kesesuaian antara uang yang dikeluarkan dan kualitas proyek pembangunan yang dilaksanakan.
Kalau masyarakat tidak gencar menyuarakan dan beraksi, ditakutkan akan banyak terproduksi tiranis parlemen lokal. Banyaknya tiranis mestilah berdampak serius dalam mendegradasikan atau mengeliminasi hak-hak rakyat. Rakyat miskin akan semakin sulit terbebaskan dari kemiskinannya di tangan rezim lokal yang bernafsu memiskinkannya. ***