KPR BNI Tumbuh 4,5 Persen
JAKARTA (HR)-Data Bank Indonesia menyebutkan, pertumbuhan penyaluran kredit pada sektor properti mengalami perlambatan. Penyaluran kredit properti pada September 2015 tercatat sebesar Rp607,1 triliun. Angka ini tumbuh 13 persen (yoy) atau lebih rendah dibandingkan Agustus 2015 yang sebesar 13,5 persen (yoy).
Perlambatan tersebut terjadi pada kredit konstruksi, real estate, serta KPR dan KPA, masing-masing tumbuh 20,1 persen (yoy), 20,3 persen (yoy) dan 7,8 persen (yoy). Angka ini turun dibandingkan Agustus 2015 yang masing-masing sebesar 21,4 persen (yoy), 20,9 persen (yoy) dan 8 persen (yoy).
Direktur Consumer Retail Banking Bank Negara Indonesia (BNI) Anggoro Eko Cahyo mengungkapkan, memasuki kuartal IV-2015, proyeksi permintaan kredit pemilikan properti masih belum banyak berubah. Bank dengan kode emiten BBNI ini menargetkan pertumbuhan KPR selama sisa tiga bulan terakhir tahun 2015 ini berkisar 7 persen-8 persen.
Dengan demikian, sampai dengan akhir tahun, perseroan memperkirakan pertumbuhan kredit BNI Griya dapat mencapai target pertumbuhan sebesar 7 persen. Anggoro bilang, pertumbuhan kredit BNI Griya sampai dengan sembilan bulan pertama tahun 2015 ini masih di level 2 persen.
"Namun per Oktober ini sudah mengalami pertumbuhan menjadi 4,5 persen,” kata Anggoro, Jumat (6/11).
Demi merangsang pertumbuhan KPR, bank berlogo 46 ini memberikan promo bunga rendah untuk KPR. Sejak 17 Agustus 2015 kemarin, BNI meluncurkan program Griya Merdeka dengan tingkat bunga 8,45 persen untuk KPR yang masa berlakunya diperpanjang hingga akhir tahun 2015.
Anggoro menambahkan, relaksasi LTV yang dikeluarkan Bank Indonesia pada pertengahan 2015 lalu, dinilai dapat memberikan dampak yang baik terhadap pertumbuhan KPR. Dalam relaksasi ini, bank sentral Indonesia melonggarkan porsi pembiayaan bagi KPR dan KKB.
Beleid LTV ini tertuang dalam PBI No.17/10/PBI/2015 tentang Rasio Loan to Value atau Rasio Financing to Value untuk kredit atau pembiayaan properti dan uang muka untuk kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor.
Sebagai contoh, LTV KPR pembelian pertama naik dari 70 persen menjadi 80 persen. Dengan kata lain, uang muka kredit yang dikenakan adalah minimum 20 persen. Sedangkan uang muka KKB untuk roda tiga atau lebih turun dari 30 persen menjadi 25 persen.
"Namun jika dilakukan realisasi lebih lanjut, tentunya akan lebih mendorong pertumbuhan yang lebih mengakomodir kebutuhan pasar,” ucap Anggoro.
Catatan saja, Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas) meminta Bank Indonesia untuk melonggarkan dua hal penting terkait KPR. Pertama, Perbanas meminta bank sentral Indonesia melonggarkan aturan KPR rumah kedua dan ketiga untuk diperbolehkan berstatus inden. Tujuan relaksasi ini adalah untuk mempercepat roda perekonomian.
Kedua, Perbanas juga meminta kepada BI untuk menghentikan pemakaian jasa appraisal dari Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) baik untuk price list rumah dan juga progress pembangunan properti. Penggunaan jasa appraisal tersebut menurut bankir mortgage, mengerek biaya pembangunan KPR menjadi lebih tinggi dan biaya tersebut dibebankan kepada masyarakat.(kon/mel)