OJK: Industri Pembiayaan Hanya Tumbuh 2 Persen
JAKARTA (HR)-Industri multifinance mengalami keterpurukan tahun ini yang ditandai dengan pertumbuhan di bawah 2 persen per September 2015.
Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Nonbank Direktorat Pengawasan Lembaga Pembiayaan Otoritas Jasa Keuangan Muhammad Ansyori mengatakan, keadaan itu tidak luput dari pengaruh rendahnya daya beli masyarakat.
"Industri pembiayaan meski kondisi terakhirnya tetap tumbuh, tapi melambat. Dalam tiga tahun terakhir bisa mencetak pertumbuhan 3 persen, tapi sejak 2014 mengalami penurunan dan puncaknya pada September 2015 yang hanya 2 persen," kata Ansyori di Palembang, Kamis (5/11).
Namun, di tengah mundurnya kinerja tersebut, patut diapresiasi bahwa industri ini tetap menjaga kualitas dengan angka non-performing financing (NPF) di kisaran 1,45 persen meskipun sempat mencapai 1,3 persen pada Mei 2015.
Kondisi ini menunjukkan bila perusahaan pembiayaan konsentrasi pada kualitas sehingga tidak jor-joran dalam menyalurkan pembiayaan.
"Ini menunjukkan bahwa kalangan industri pembiayaan sangat hati-hati dalam menyalurkan kredit. Karena jika mereka jor-joran, maka sudah dipastikan saat ini mencetak pertumbuhan yang minus," katanya.
Menurut dia, hal ini dapat diamati dengan belum sepenuhnya kalangan pembiayaan menerapkan aturan penuruan suku bunga pembiayaan kendaraan bermotor dan perumahan meski pemerintah sudah menurunkan hingga lima persen untuk uang muka.
"Saya memperhatikan belum banyak yang menerapkan, meski pemerintah mengeluarkan aturan baru itu untuk mendongkrak realisasi kredit sektor jasa keuangan," ujar dia.
Industri pembiayaan sempat mencetak pertumbuhan fantastis pada 2012 yakni sebesar 70 persen (yoy) seiring dengan meroketnya harga komoditas ekspor karet dan mineral batu bara.
Namun, memasuki tahun 2014, industri memudar seiring dengan penurunan permintaan bahan baku dari negara pengimpor yakni Tiongkok dan India.
Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia Sumatera Selatan Iwan mengatakan industri pembiayaan sulit bangkit karena saat ini terjadi penurunan daya beli masyarakat.
"Bagaimana orang mau beli mobil jika tidak punya uang, begitu saja logikanya," kata Iwan. (kon/mel)