Memaknai Sumpah Pemuda
Bulan Oktober menjadi tonggak sejarah bangsa dalam menancapkan panji-panji nasionalisme. Panji-panji itu dihentakkan dengan ucapan sumpah anak muda bangsa dengan latarbelakang dan organisasi yang berbeda. Bersumpah untuk bertanah air satu, berbangsa satu dan berbahasa satu, yaitu Indonesia. Pemuda bangsa kala itu mematrikan sumpahnya pada tanggal 28 Oktober 1928 dengan nama Sumpah Pemuda.
Walau Tanah Air sedang terjajah, tapi semangat pemuda tidak pernah surut berjuang untuk merekat persatuan bangsa sebagai pilar utama dalam mencapai kemerdekaan. Ikrar Sumpah Pemuda berjaya membangunkan ruh kemerdekaan yang mati suri, kembali berdetak, bergerak, dan hidup. Pemuda Indonesia menegasikan kepada seluruh anak bangsa, bahwa pemuda saat itu adalah jantung perjuangan dan perubahan bangsa.
Kini, lakaran sejarah itu sudah berusia 87 tahun dan lafal sumpah sudah banyak yang dilupakan generasi sekarang, bahkan ada yang tidak mengenal apa itu Sumpah Pemuda. Benarkah ini indikasi bahwa Sumpah Pemuda tidak memiliki daya magis dalam merekat bangsa, atau dalam bahasa anak muda sekarang tidak kontekstual lagi dengan zaman sekarang?. Sebab, topik tanah air, bangsa dan bahasa sudah melembaga dalam negara Indonesia dan tidak perlu diutak-atik lagi.
Sepintas Sumpah Pemuda memang ikrar biasa yang kurang menggugah generasi sekarang, tapi sejatinya Sumpah Pemuda memiliki energi batin yang sangat mumpuni dalam memompa setiap aliran darah anak bangsa terutama pemuda. Apalagi pemuda masa kini telah banyak terjebak dalam perangkap zaman globalisasi.Untuk itu memaknai Sumpah Pemuda memiliki urgensi dalam menjaga dan memelihara hala tuju pembangunan bangsa.
Bersumpah bertanah air, berbangsa dan berbahasa satu bukanlah ikrar sejarah yang berhenti ketika tekad itu sudah tercapai, tapi harus senantiasa hidup dalam setiap tarikan nafas kebangsaan. Sebab, bila makna ini berhenti atau tidak lagi menyebati dalam hidup laku anak bangsa, tekad yang sudah tercapai bisa saja berkecai dan bercerai berai. Indonesia memang berdiri, bahasa Indonesia memanglah wujud, namun keberadaan dan kewujudannya tidak lagi menyuarakan “nafas” Indonesia. Itu artinya, lonceng kematian sebagai bangsa berdaulat semakin dekat.
Apalagi kemaruk zaman telah merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebut saja sektor ekonomi yang banyak dikuasai oleh asing sedangkan rakyat terus menjadi konsumen dan penonton sejati di negeri sendiri. Rakyat terus disesaki oleh dominasi kapitalisme dalam semua lorong kehidupannya. Di dukung pula oleh pendidikan yang berorientasi pasar sehingga menciptakan “budak-budak” baru dalam era globalisasi (Pamoe Rahardjo, 2002). Padahal Soekarno pernah mengungkapkan jangan menjadi budak-budak asing di negeri sendiri. Alhasil, nilai-nilai nasionalisme yang dirajut generasi pemuda dulu, kini sudah mulai longgar.
Ironisnya lagi pemuda Indonesia banyak yang terperangkap dalam jebakan zaman. Seperti mengosumsi narkoba, pergaulan bebas, tawuran, kriminal. Bahkan menurut data dari Badan Narkotika Nasional (BNN) ada 3 juta pemuda Indonesia yang terjerat narkoba. Belum lagi yang melakukan seks pra nikah, aborsi, tawuran serta sikap konsumeristik, hedonistik, materialistik dan individualistik seakan menyebati dalam laku pemuda saat ini. Akibatnya, pemuda Indonesia telah kehilangan pancang kendalinya. Padahal pemuda sebagaimana lakaran sejarah adalah aset dan masa depan bangsa. Apalagi Indonesia akan mengalami limpahan bonus demografi antara tahun 2010 sampai 2030.
Pemuda dan Perubahan
Dalam lipatan sejarah dunia, akar perubahan itu selalu dicanangkan dan dilakukan pemuda. Al-Qur’an mencatat bagaimana Ibrahim, Musa, Isa dalam usia muda melakukan perubahan dan memperbaiki tatanan masyarakat yang telah rusak. Demikian juga yang dilakukan oleh pemuda Ashabul Kahfi dalam menentang penindasan penguasa yang zalim dan sewenang-wenang, (QS, 18:13-14). Pada masa Nabi Muhammad pun, tokoh-tokoh pemuda seperti Ali Bin Abu Thalib, Zubbair Bin Awwam,Sa’ad bin Abi Waqash, Zaid bin Tsabit dan banyak lagi sahabat nabi yang lain menjadi penggerak perubahan.
Selanjutnya dalam era peradaban Yunani, semangat intelektualitas pemudanya seperti Socrates, Plato, Aristoteles, dan sebagainya berjaya mewarnai kecemerlangan pemikiran saat itu. Demikian juga revolusi besar di berbagai belahan negara dunia digerakkan oleh pemuda, seperti di Amerika (1950), Spanyol (1968), Hungaria (1956), Amerika Latin (1928), Aljazair (1954), Sudan (1964), Jepang (1960), Korea Selatan (1960). Sehingga benarlah ungkapan Bung Karno dalam bukunya Di Bawah Bendera Revolusi, “Berikanlah aku 10 pemuda, maka akan ku rubah bangsa ini”.
Kini, saatnya pemuda Indonesia memaknai kembali Sumpah Pemuda untuk mengimplementasikannya dalam kehidupan berbangsa. Menghilangkan segala sekat-sekat yang menghambat persatuan bangsa, kemudian menjadikannya sebagai lecutan keras agar generasi muda kembali kepada khittahnya sebagai agen perubahan bangsa. Bukan sebaliknya, menjadi beban berat yang terus menghimpit bahu Indonesia, sehingga sulit berdiri tegak dan berlari dalam meraih kesuksesan sebagai bangsa. Apalagi Indonesia mendapat limpahan bonus demografi yang berlangsung antara tahun 2010-2030.
Semoga pemuda Indonesia tersadar dari lamunan jebakan zaman dan memaknai kembali Sumpah Pemuda yang dilafalkan 87 silam dalam setiap derap langkah kakinya yang tegap. Sebab, usia muda adalah usia yang menyimpan energi kebangkitan dan semangat pantang menyerah. Mengutip ungkapan Yusuf Qardawi, “jika diibaratkan matahari, maka usia muda sama halnya dengan pukul 12 ketika matahari bersinar paling terang dan paling panas,”. Sinar terang dan panasnya sangat dibutuhkan dalam menerangi langkah kaki Indonesia menuju kemajuan serta menyulut api nasionalisme agar tetap menyala.***