Muhasabah Janji Politik
Perhelatan pesta demokrasi pemilukada serentak kian dekat, bahkan ada yang menyebutnya dengan tahun politik, karena di penghujung tahun ini merupakan tahun pertama genderang pemilukada serentak dimulai pasca-dikeluarkannya Perpu Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Kemudian diikuti dengan UU Nomor 1 Tahun 2015.
Pemerintah, KPU, Bawaslu didukung kepolisian, partai politik dan semua pemangku kepentingan beserta jajarannya sejak dini telah mempersiapkan tahapan demi tahapan sesuai dengan fungsi dan tugasnya masing-masing sebagaimana yang telah diamanahkan oleh Undang-Undang. Aroma pemilukada begitu menyengat nalar dan persepsi di kalangan masyarakat.
Pemilukada selalu diidentikkan dengan bertaburnya “janji manis” para politisi, tim sukses dan sebut juga tim relawan masing-masing, bahkan logika sehat kadang-kadang terabaikan oleh kepentingan sesaat pada masa jelang pemilukada.
Program strategis selalu menjadi ‘jualan” yang dilemparkan ke publik baik secara sadar maupun tidak. Rakyat selalu disodorkan dengan impian-impian indah, tanpa sempat mereka berfikir, mencerna bahkan memutuskan realistis atau tidaknya program yang ditawarkan. Rakyat seakan-akan tidak mempunyai ruang dan kesempatan untuk berpikir panjang, apakah janji tersebut realistis? Dan kapan janji-janji tersebut menjadi sebuah kenyataan?
Tidak bermaksud untuk menjustifikasi atau menghukumi para pihak yang sedang berkompetisi. Tetapi ini adalah bagian dari ikhtiar untuk menghindari para pemilih terjebak oleh kepentingan sesaat yang akan merugikan lima tahun yang tak bermanfaat. Masa lalu selalu menjadi pelajaran berharga bagi kita untuk tidak terkungkung oleh terulangnya pembodohan publik di masa mendatang karena Allah SWT amat membenci seseorang yang memiliki karakter “pembodohan” orang lain karena ia tidak saja merusak dirinya akan tetapi menghancurkan orang lain.
Salah satu tahapan pemilu yakni kampanye, sejatinya ia merupakan sarana yang memberikan kesempatan pemilih untuk membandingkan dan mempertentangkan kebijakan yang spesifik dan detail para kandidat, kemudian memilih yang terbaik di antara penyajian janji-janji tersebut. Kegiatan kampanye tidak semata menebar janji, tetapi lebih dari itu merupakan titik awal untuk melakukan sebuah kontrak politik secara terbuka kepada publik, memberi ruang yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk menilai, memilah dan menganalisa opsi yang ditawarkan secara bebas tanpa tendensius, intimidasi dan teror dalam bentuk apapun. Bilamana sejumlah janji politik dicermati dalam pemilu yang terpasang di luar (out door) seperti spanduk, baliho, stiker dan dalam bentuk lainnya, maka “kesan” publik beragam bahkan multirespons baik dalam bentuk simpatik maupun tidak.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia janji adalah perkataan yang menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat. Bahkan dalam terminologi lain janji diartikan sebagai pengakuan yang mengikat diri sendiri terhadap suatu ketentuan yang harus ditepati atau dipenuhi. Janji dalam bahasa arab dapat berarti ‘ahad atau wa’ada. Islam mengharuskan seseorang yang berjanji untuk berpegang teguh dengannya dan tidak mengingkarinya baik janji kepada Allah SWT maupun kepada manusia. Sayyid Ridha Dalam tafsir al-Manar mengklasifikasi janji itu ke dalam tiga bagian yaitu janji kepada Allah SWT, janji kepada diri sendiri dan janji terhadap sesama manusia. Al-Baghowi seorang ahli tafsir mengatakan bahwa memelihara janji-janji adalah memelihara apa-apa yang diamanahkan kepada mereka serta menunaikan janji-janji yang disampaikan kepada manusia. Pengingkaran atau pelanggaran janji (ikhlaf) berarti menyalahi apa yang telah diikrarkan. Ibnu Qoyyim mengutip perkataan imam Abul Wafa’ Ibnu ‘Aqil al-Hambali bahwa politik merupakan tindakan atau perbuatan yang dengan seseorang lebih dekat kepada kebaikan dan lebih jahu dari kerusakan, selama politik tersebut tidak bertentangan dengan syara.
Dalam perspektif lain, kualitas seseorang pemimpin sebagai pribadi juga ditentukan sejauh mana komitmen seseorang mampu menepati janji-janji yang telah dibuat. Pribadi yang dianggap berharga akan mampu membuat orang lain (pemilih) merasa aman dan nyaman saat berinteraksi dengannya, karena mereka tahu bahwa sang kandidat memiliki reputasi dan kualitas untuk menepati setiap janjinya. Paling tidak ada beberapa penyebab kenapa janji mampu menunjukkan bahwa seseorang itu memiliki kualitas atau tidak ?
Pertama, standar janji. Bila ditakar dengan ranah kemampuan, berarti janji seharusnya tidak lebih besar dari kemampuan untuk memenuhinya. Banyak pribadi orang yang ia ingin dipandang sebagai pribadi yang kuat, kemudian meninggikan kualitas janjinya pada orang lain. Padahal sebenarnya dia sadar, bahwa janji yang dia ucapkan itu tidak mungkin untuk dipenuhi sesuai dengan waktunya. Sehingga sebenarnya dia sedang menempatkan dirinya pada sebuah perangkap yang sebenarnya dia buat sendiri. Jika kemudian orang lain menganggap dia itu tidak mampu, omong besar, dan munafik, maka cobalah untuk melihat apakah selama ini kemampuan anda telah berkualitas sesuai dengan janji yang anda buat.
Kedua, janji adalah sebuah rencana besar. Dengan janji akan mampu mengarahkan apa yang bisa diraih di masa mendatang. Esensi janji jika ditepati dengan penuh kedisiplinan maka ia telah mampu membuat alur langkah pasti untuk menjalani proses menuju sebuah pencapaian.
Ketiga, Janji adalah roh untuk selalu sadar bahwa kita adalah untuk orang lain. Namun perlu diingat bahwa terlalu banyak janji besar yang tidak mampu ditepati, hanya untuk menyenangkan hati orang lain sesungguhnya akan membuat disharmonisasi dengan pihak lain.
Untuk itu sebagai refleksi bagi sang kandidat, luangkan waktu anda berupa kesadaran untuk menjadikan janji anda sebagai usaha untuk mendapatkan keberkahan tidak hanya untuk anda namun untuk orang lain. Penuhilah gagasan anda dengan menepati janji dengan penuh kualitas yang luar biasa.dan untuk rakyat, jadilah pemilih yang cerdas karena pilihan juga melambangkan sosok pribadi anda. Wallahu a’lam.***
Pemerhati sosial politik dan keagamaan.