Ada Oknum Manipulasi Rupiah
Tak sampai di situ, pada Senin (12/10) pagi kemarin, mata uang rupiah kembali menguat dan menjadi Rp13.346 per dolar AS. Pergerakan nilai mata uang rupiah yang cukup tajam ini menimbulkan kecurigaan bagi ekonom sekaligus Chairman Sustainable Development-Indonesia (SDI), Dradjad H Wibowo.
"Jungkir balik rupiah dalam skala sebesar dan waktu sesingkat itu hanya bisa dijelaskan dengan satu kata: manipulasi. Ada oknum yang memanipulasi kurs rupiah," ujarnya, Senin kemarin.
Kecurigaan Dradjad kian kuat saat pekan lalu secara mengejutkan rupiah menguat 8,3 persen terhadap dolar Amerika Serikat. Padahal selama 9 bulan terakhir rupiah anjlok sekitar 17 persen.
"Kalau rupiah menguat 1-2 persen, mungkin masih wajar.
Ada Oknum
Tapi lonjakan 8,3 persen sangat tidak masuk akal. Kalau hanya faktor fundamental dan kebijakan ekonomi, tidak akan sedrastis itu," paparnya.
Lebih lanjut, Drajad menerangkan, aksi memanipulasi rupiah lebih berbahaya dari spekulasi. Kalau spekulan, terangnya, bisa diibaratkan sebagai pejudi yang tidak bisa mengatur hasil. "Sehingga mereka (spekulan) bisa untung, tapi bisa juga buntung," terangnya.
Sementara manipulator itu bandar dan pejudi yang bisa mengatur hasil, sehingga selalu untung. "Kalau dalam sepakbola, manipulator itu mafia yang mengatur skor pertandingan," terang Dradjad.
Para manipulator itu selama ini menumpuk dolar sehingga nilai rupiah anjlok pada skala yang di luar kewajaran. Mereka bisa melakukan itu karena punya akses terhadap kekuasaan moneter.
"Akses tersebut membuat mereka tahu bahwa rupiah akan terus anjlok cukup dalam. Nah, setelah ada indikasi terjadi pembalikan kurs Dolar Amerika Serikat di dunia, mereka buru-buru membuang dolar. Tujuannya, profit taking atau aksi ambil untung," jelas Dradjad lagi.
Turun Tangan
Terkait kondisi ini, Dradjad meminta Presiden Joko Widodo segera memerintahkan penyelidikan terhadap oknum-oknum yang diduga terkait jungkir baliknya rupiah.
Menurut Dradjad, pemerintah Amerika Serikat pernah menghukum bank-bank besar dunia karena melakukan manipulasi kurs mata uang Dolar Amerika Serikat terhadap Euro. Kepada bank-bank tersebut dijatuhkan denda sebesar US$ 5,5 miliar.
Dradjad mengimbau, dengan adanya indikasi kuat di atas, berkaca dari kasus manipulasi kurs US$-Euro, sebaiknya Presiden segera memerintahkan penyelidikan terhadap oknum-oknum dari sejumlah lembaga keuangan yang terlibat.
Masih terkait menguatnya nilai tukar rupiah, sejumlah ekonom menyebutkan pemicu kondisi itu salah satunya adalah kebijakan Bank Sentral di negeri Paman Sam (The Fed) yang tidak menaikkan suku bunga acuannya. Faktor lainnya adalah 3 paket kebijakan ekonomi Presiden Jokowi dan cairnya pinjaman dari Bank Pembangunan Cina ke sejumlah BUMN Indonesia sebesar Rp39 triliun.
Namun teori dibantah Dradjad. Menurutnya, ketiga faktor itu tak akan mampu mendongkrak nilai tukar rupiah hingga 8,3 persen dalam waktu sepekan.
"Kalau rupiah menguat 1-2 persen, mungkin masih wajar. Tapi lonjakan 8,3% sangat tidak masuk akal. Kalau hanya faktor fundamental dan kebijakan ekonomi, tidak akan sedrastis itu," bantahnya.
Dradjad juga membantah cairnya pinjaman CBD ke tiga BUMN Indonesia senilai Rp39 triliun mampu mengangkat rupiah hingga 8,3 persen. Menurut mantan Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional itu, utang dri CBD ke tiga BUMN tersebut sudah ramai sejak Mei dan teken kontrak pada Juni 2015 lalu.
Namun faktanya pada bulan itu, nilai tukar rupiah terhadap Dolar AS terus merosot hingga pekan pertama Oktober. Saat ini memang dana pinjaman dari CBD itu sudah cair, namun kata Dradjad nilainya masih kecil.
"Jika dibandingkan dengan kemerosotan cadangan devisa, dana yang masuk tersebut sangat kecil. Tidak mungkin bisa menggerakkan rupiah naik 8,3 persen dalam hitungan hari," tandasnya. (bbs, dtc, ral, sis)