Bencana Asap dan Kehadiran Negara
Bencana asap dari kebakaran hutan dan lahan di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan masih berlangsung. Publik menggugat kehadiran negara atas bencana asap yang diduga kuat sebagian dibakar secara sengaja tersebut, baik oleh perorangan maupun korporasi.
Puluhan juta warga masyarakat, tidak hanya di Indonesia, juga di Singapura, Malaysia, dan Thailand terpapar asap. Lima anak dikabarkan telah tewas karena diduga menghirup udara yang tercemar, kegiatan sekolah dan kantor diliburkan, dan penerbangan di beberapa bandara dibatalkan.
Ini merupakan tahun ke-18 di mana masyarakat telah secara rutin menghirup udara yang tercemar oleh asap. Apa dan bagaimana langkah-langkah negara mengatasi bencana asap tersebut untuk melindungi hak untuk hidup dan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat?
Menurut catatan Kementerian Kesehatan, per September 2015, sebanyak 227 ribu orang menderita gangguan infeksi saluran pernapasan atau meningkat 10 persen dari jumlah penderita pada bulan sebelumnya. Stasiun pemantau kualitas udara di beberapa kota di Pulau Sumatra dan Kalimantan, bahkan di Malaysia, mencatat kualitas udara yang tidak sehat, sangat tidak sehat, dan berbahaya. Di Pekanbaru, bayi dan anak-anak dievakuasi ke tempat yang lebih aman karena kualitas udara yang sudah sangat membahayakan bagi hidup mereka.
Presiden Joko Widodo beserta Panglima TNI dan Kapolri sudah turun langsung ke lokasi kebakaran hutan dan lahan di Sumatra Selatan dan Kalimantan Selatan. Kapolri menyampaikan ada ratusan tersangka pembakaran hutan dan lahan yang sedang disidik, beberapa di antaranya dari kalangan korporasi. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pernah menyampaikan target bahwa dalam tempo sebulan, bencana asap akan bisa tertangani, tetapi fakta berkata lain.
Bencana asap menunjukkan bahwa negara gagal dalam melaksanakan kewajibannya agar tidak ada keberulangan dalam peristiwa pelanggaran hak asasi manusia (non-recurrence principle). Asap selalu membubung tinggi dan menyebar sampai ratusan kilometer setiap tahunnya dari daerah-daerah yang sama, tapi tidak ada langkah yang nyata dari negara untuk menghentikan atau paling tidak meminimalkannya.
Dalam kasus bencana asap, kehadiran negara justru diduga kuat menjadi pemicu. Hal ini karena negara mengeluarkan izin-izin untuk usaha perkebunan dan kehutanan yang beberapa di antaranya berada di lahan gambut yang seharusnya dilindungi dan sebagian dari pemegang izin terlibat di dalam pembakaran hutan dan lahan.
Kehadiran negara dalam bentuk pemberian izin tersebut sebagian besar tidak diperkuat dengan instrumen dan aparat yang berintegritas untuk mengawasi kepatuhan hukum dari para pemegang izin. Izin-izin tersebut juga banyak diterbitkan di wilayah masyarakat sehingga telah mencabut hak-hak atas tanah masyarakat lokal dan masyarakat adat yang telah mendiami dan hidup di wilayah itu. Misalnya, orang rimba di Provinsi Jambi. Kehadiran negara telah mengabaikan keberadaan dari masyarakat lokal dan masyarakat adat yang telah mempraktikkan kearifan lokal dalam pengelolaan lahan dan hutan.
Negara juga telah diduga kuat melakukan tindak pembiaran (by ommision) terjadinya pelanggaran hak-hak asasi manusia karena bencana asap terus berulang sehingga mencerabut hak atas kesehatan dan kualitas hidup manusia secara umum.
Kasus bencana asap adalah puncak gunung es dari permasalahan laten dan manifes atas karut-marutnya pengelolaan sumber daya alam di tingkat lokal dan secara nasional. Sejak otonomi daerah, pemerintah kabupaten/kota diberikan kemudahan dan kewenangan menerbitkan izin usaha perkebunan.
Pemerintah pusat juga dengan mudah menerbitkan izin usaha di bidang kehutanan dan izin pinjam pakai untuk kegiatan di luar kehutanan, misalnya, pertambangan. Bahkan, baru saja diputuskan bahwa izin pelepasan kawasan hutan dipangkas dari sebelumnya selama empat tahun menjadi hanya 15 hari!
Walhasil, menjadi sebuah pertanyaan yang sangat mendasar ketika di dalam Program Nawa Cita Presiden Joko Widodo ditegaskan bahwa "negara harus hadir" di setiap aspek pembangunan dan lini kehidupan masyarakat.
Kehadiran negara seperti apa yang diinginkan oleh Presiden Jokowi supaya jargon "negara harus hadir" termanifestasikan secara benar, tepat, dan kontekstual?
Dalam kasus bencana asap dan ribuan kasus konflik sumber daya alam di berbagai penjuru nusantara, kehadiran negara berada pada dua sisi koin yang sama. Di satu sisi kehadirannya digugat, tapi di sisi lain juga dibutuhkan eksistensinya. Gugatan atas kehadiran negara karena di antaranya penerbitan izin-izin investasi menjadi awal dari rangkaian pelanggaran hak-hak asasi manusia. Namun, pada saat yang sama, masyarakat juga meminta agar negara hadir untuk bertanggung jawab memulihkan hak-hak asasi manusia yang telah dilanggarnya atau sebagai dampak dari kebijakannya.
Kehadiran negara sudah direpresentasikan dari datangnya langsung Presiden Jokowi sebagai kepala negara/pemerintahan untuk memimpin dan menginstruksikan langsung operasi pemadaman dan penanggulangan asap. Sebagai simbol negara, mestinya kehadiran Presiden Jokowi mampu untuk menggerakkan seluruh sumber daya dan kekuatan negara, termasuk dari negara sahabat, untuk memadamkan asap dan mencegak keberulangannya ke depan.
Jika tidak, maka jargon "negara harus hadir" hanya menjadi kiasan belaka, di tengah ketidakberdayaan masyarakat dan pemerintah di tengah kepungan asap yang telah berlangsung setiap tahun selama 18 tahun terakhir.(rol)
Pemantau Hak Asasi Manusia di Komnas HAM
Oleh: Mimin Dwi Hartono