Negara ataupun Jokowi

Tidak akan Minta Maaf pada Pengkhianat

Tidak akan Minta Maaf pada Pengkhianat

Lima puluh tahun pascaperistiwa gerakan 30 September atau yang dikenal dengan G30S, paham komunis telah dilarang di Indonesia, namun komunisme seakan tak pernah mati. Kelompok eks-PKI yang merasa menjadi korban pemerintah pada era Orde Baru terus berusaha menghapuskan dosa pengkhianatan pada tahun 1965. 30 September lalu beredar isu bahwa presiden Jokowi akan reuni dengan anggota keluarga PKI dan Gerwani Indonesia di Gelora Bung Karno (GBK). Isu ini menggemparkan seluruh rakyat Indonesia. Bagaimana mungkin PKI yang jelas melakukan kudeta, penculikan dan pembunuhan secara sadis tetapi negara yang harus meminta maaf.

Tidak tepat jika negara harus meminta maaf pada PKI. Pada saat kudeta, PKI-lah yang terlebih dahulu melakukan tindakan yang melanggar HAM. Mereka melakukan penculikan, penyiksaan dan pembunuhan secara keji, hingga mayat 7 jenderal petinggi TNI AD berakhir di lubang buaya. Pembunuhan juga dilakukan kepada masyarakat yang ikut menolak paham komunisme. Peristiwa ini telah membangkitkan amarah rakyat Indonesia. Amarah tersebut dilampiaskan kepada anggota-anggota PKI. Amarah yang tak terbendung inilah yang menyebabkan tewasnya anggota PKI tanpa adanya proses peradilan.  Berdasarkan penelusuran fakta sejarah, PKI bersalah atas pembunuhan-pembunuhan kejinya untuk memperoleh kekuasaan. PKI yang menyulut api kemarahan rakyat.

Negara tidak wajib meminta maaf terhadap PKI, tetapi PKI-lah yang harusnya meminta maaf kepada negara jika memang mereka masih merasa bagian dari NKRI. Hal ini dibenarkan oleh Wakil Ketua DPR Fadli Zon ketika mendengar adanya isu Presiden Jokowi meminta maaf pada PKI. “Saya tidak bisa membiarkan pemerintah meminta maaf kepada PKI, dia yang memberontak kok kita yang meminta maaf,” pungkasnya.
Hal yang sama juga diutarakan oleh Wakil Sekjen DPP PPP, Sudarto bahwa presiden Jowo Widodo tidak perlu meminta maaf kepada keluarga korban dan pengikut PKI. “Oh enggak perlu (minta maaf). Imbasnya panjang. Itu gejolak sosial, jangan dipikir sederhana,”tuturnya. “Karena begitu dimaafkan itu berarti peristiwa yang pernah terjadi, PKI mengatakan negara bersalah. Kalau negara bersalah apa konsekuensinya? Banyak tuntutannya, panjang urusannya, dia akan minta kembali dipulihkan hak-haknya, direhabilitasi kembali dan mereka akan menuntut kembali partai komunis berdiri di Indonesia sama seperti partai-partai lain. Panjang dampak sosial dan politisnya, luar biasa itu,” ujar Sudarto. Adanya permintaan maaf langsung kepada PKI akan membuka kesempatan paham komunis eksis kembali. Tentunya akan sangat berbahaya akan eksistensi Pancasila dan menimbulkan gejolak sosial yang lebih besar.

Menanggapai isu minta maaf ini, Presiden Jokowi telah melakukan klarifikasi bahwa pemerintah sampai saat ini tidak memiliki niat untuk meminta maaf kepada korban keluarga dan pengikut Partai Komunis Indonesia. Pernyataan Jokowi tersebut sekaligus menepis berita yang beredar di media sosial yang berisi rencana pemerintah meminta maaf pada keluarga korba PKI terkait peritiwa Gerakan 30 September 1965 atau G30S 1965. “Tidak ada pemikiran mengenai minta maaf. Sampai detik ini, tidak ada ke arah itu” tegasnya setelah memimpin upacara Hari kesaktian Pancasila di Monumen Kesaktian Pancasila.
Besarnya gejolak mengenai isu Presiden yang meminta maaf pada PKI juga disebabkan cepatnya beredarnya informasi di media terutama media sosial. Kebebasan bertransaksi informasi di media sosial lebih cenderung digunakan netizen Indonesia untuk menyebarkan isu-isu negatif walaupun kebenaran isu tersebut belum akurat. Bukti kuatnya dapat kita lihat bagaimana isu minta maaf ini bergejolak sekarang. Isu ini tentunya dimanfaatkan oleh pihak tidak bertanggung jawab untuk menghilangkan kepercayaan kita pada pemerintah. Jika publik tidak bijak dalam menanggapi informasi ini, mungkin saja terjadi demonstrasi, perang saudara dan konflik berdarah lainnya. Publik sebaiknya lebih bijak dalam menanggapi isu yang masih tidak jelas kebenarannya. Jangan sampai sebuah isu yang menyebar di media sosial justru membut Indonesia semakin terpuruk dan hancur.***
Pengamat Sosial.