Kerusakan Lingkungan Salah Siapa?
Bumi merupakan lingkungan yang disediakan oleh Tuhan untuk manusia. Di sinilah manusia hidup, sebagai tempat tinggal, mengembangkan keturunan, bahkan bersenang-senang sampai batas waktu yang telah ditentukan.
Di sisi lain, bumi sebagai lingkungan hidup manusia merupakan satu kesatuan dari jalinan alam raya yang jahu lebih besar, yang dinyatakan oleh Alquran tercipta atas asas keseimbangan. Oleh karena itu, kedudukan manusia menjadi urgens dan strategis dalam rangka memelihara lingkungan hidupnya demi kepentingan yang lebih besar, yaitu menjaga dan memelihara keseimbangan alam raya tersebut.
Alquran menyatakan bahwa keberadaan manusia di bumi adalah sebagai khalifah. Term khalifah yang makna hakikinya adalah “mengganti orang lain dalam suatu pekerjaan” ini berarti bahwa manusia telah dijadikan sebagai wakil Tuhan di muka bumi untuk mengatur, merawat dan memelihara bumi sebagaimana yang dikehendaki oleh-Nya. Sehingga tugas ini dibebankan kepada manusia, karena manusialah satu-satunya makhluk yang layak untuk mengemban amanat ini. Meski sang pemberi tugas/mandat (baca; Tuhan) tidak secara langsung terkait dalam proses kekhalifahan, justru kesadaran ilahiyyah inilah yang akan membimbing manusia dalam mengembang amanatnya.
Ada hal yang perlu diteliti lebih jauh, sebenarnya faktor apa yang paling dominan sehingga menjadi proses pengurusan (istikhlaf) tersebut tidak sesuai dengan yang dikehendaki oleh Yang Maha Pemberi Mandat? Apakah kerusakan lingkungan hidup sebagai akibat bencana alam yang terjadi secara alamiah, atau sebenarnya semuanya akibat dari perilaku manusia, baik langsung maupun tidak langsung?
Di mana posisi Allah, dalam konteks kerusakan lingkungan ini, dalam kaitan dengan sifat Rahman dan Rahim? Siapa yang dipersalahkan dalam kerusakan lingkungan ini?
Terkait kerusakan lingkungan secara langsung, ada beberapa istilah yakni term fasad, halaka dan sa’a. Term fasad yang berarti sesuatu yang keluar dari keseimbangan, sedangkan cakupan makna fasad cukup luas, yaitu berkaitan dengan jiwa/ rohani, badan/fisik dan apa saja yang menyimpang dari keseimbangan/yang semestinya.
Term lainnya yang memiliki makna kerusakan adalah halaka dan sa’a . Al-Asfahani menjelaskan bahwa salah satu makna halaka berarti kebinasaaan dan kehancuran kolektif dan makna seperti ini yang paling banyak.
Dari klasifikasi tersebut istilah halaka yang menunjukkan arti kehancuran yang mengarah kepada kerusakan alam sebagaimana terdapat dalam Alquran QS: Albaqarah ayat 205.
Sedangkan istilah sa’a seringkali diartikan sebagai menunjukkan kesungguhan dalam melaksanakan suatu persoalan, baik terpuji maupun tercela. Kerusakan yang bersifat fisik pada hakikatnya merupakan akibat dari kerusakan nonfisik atau mental, argumentasinya bahwa ayat-ayat yang bisa diidentifikasi sebagai yang menunjukkan makna kerusakan lingkungan juga tidak secara spesifik dinyatakan sebagai akibat langsung dari perilaku manusia, seperti illegal logging, pencemaran udara dan lain-lain. Dari sini, dapat dilihat adanya korelasi positif antara kerusakan lingkungan dengan rusaknya sikap mental atau keyakinan yang menyimpang.
Jika demikian halnya maka kerusakan akidah yang dianggap sebagai sebab kerusakan lingkungan, mestinya bukan diukur dari benar atau salahnya akidah seseorang, akan tetapi diukur dari perilakunya. Atau dapat dipahami , bahwa perilaku menyimpang, merusak dan tidak bermanfaat sebenarnya menjadi cerminan rusaknya mental seseorang. Makanya Tuhan mendedikasikan untuk senantiasa menjaga bumi ini jika perilaku penduduknya mencerminkan seorang muslih sebagai antonim mufsid yaitu senantiasa berusaha untuk mengembangkan kebajikan yang bersifat sosial.
Terjadinya degradasi lingkungan hidup ada dua penyebab yaitu penyebab yang bersifat langsung dan tidak langsung. Faktor penyebab tidak langsung pada kenyataannya merupakan penyebab yang sangat dominan terhadap kerusakan lingkungan. Artinya rusaknya ekosistem manusia tidak memiliki peran misalnya gunung meletus, gempa bumi, tsunami dan lain lain. Sedangkan yang bersifat langsung terbatas ulah manusia yang terpaksa mengeksploitasi lingkungan secara berlebihan karena desakan kebutuhan, keserakahan atau mungkin kekurangsadaran akan pentingnya menjaga lingkungan misalnya menebang hutan secara ilegal, membakar hutan yang mengakibatkan kabut asap yang melanda negeri ini, membuang sampah sembarangan, membendung aliran sungai sehingga menciut.
Namun jika dianalisa lebih jauh maka akan ditemukan penjelasan bahwa alam raya ini diciptakan dan diatur atas dasar keseimbangan. Perjalanan alam raya selamanya tidak akan menyimpang dari ketetapan yang telah ditentukan. Inilah yang dinyatakan oleh Alquran sebagai takdir. Bahkan, Alquran juga menegaskan bahwa di balik keteraturan alam raya, ia tundukkan untuk kepentingan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan dan juga keinginannya.
Jika terjadi kerusakan alam atau penyimpangan alam dari ketentuan yang ada, termasuk bencana- bencana alam yang kita persepsikan sebagai fenomena alam semata, tentunya harus diyakini sebagai akibat dari perbuatan manusia, langsung maupun tidak langsung. Sebab, jika bencana alam dikatakan sebagai fenomena alam yang terjadi secara alamiah justru ini tidak sesuai dengan ketentuan pencipta atas alam semesta yang sejak awal telah ditetapkan untuk kepentingan atau ditundukkan untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Begitu juga, jika bencana alam yang melanda dikatakan sebagai ‘takdir Tuhan’ maka hal itu juga tidak sesuai dengan sifat Sang Pencipta yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Adalah lebih tepat jika dikatakan bahwa bencana alam, kerusakan lingkungan terjadi karena ulah manusia itu sendiri. Dengan kata lain bahwa terjadinya bencana pada hakikatnya adalah sebagai akibat rusaknya mentalitas atau moralitas manusia.
Jika perilaku menyimpang yang tidak terkait langsung dengan kerusakan alam itu berlangsung secara massif dan membudaya, maka di sinilah Sang Pencipta akan meresponsnya, salah satunya melalui bencana-bencana alam yang bersifat alamiah seperti sudah menjadi ketentuan-Nya sebagaimana yang terjadi pada umat masa lalu.
Inilah yang diungkapkan sebagai sunnatullah yang tidak pernah berubah dan diganti. Manusia memang diberi kebebasan untuk mengeksplorasi alam demi memenuhi kebutuhannya, namun yang harus disadari adalah bahwa selamanya manusia tidak akan mampu melawan, menundukan keganasan alam, justru yang harus dilakukan adalah “bersahabat” dengan alam baik secara langsung.
Terjadinya bencana alam dalam perspektif Alquran merupakan kelanjutan dari kehendak Tuhan untuk mengembalikan perjalanan alam raya kepada awal mula penciptaannya, yang berjalan di atas asas keseimbangan. Sehingga fungsi dan keberadaan manusia sebagai khalifah-nya harus dibarengi dengan kesadaran bahwa dirinya merupakan satu kesatuan dari makrokosmos. Wallahu a’lam.***
Ketua MUI Pelalawan
Oleh: H Iswadi M Yazid, LC, M.Sy