Asa(p) Negeri
Untuk kesekian kalinya Bumi Lancang Kuning kembali diguyur kabut asap pekat yang mendera anak negeri dan makhluk hidup lainnya. Mata menjadi pedih, pandangan kabur, nafas sesak dan aktivitas keseharian ikut tergangggu. Anak sekolah dan mahasiswa sudah beberapa kali diliburkan karena karena kepekatan asap sudah dalam tahap membahyakan kesehatan manusia, terutama anak-anak, warga lanjut usia serta warga yang menderita sakit pernafasan seperti asma dan yang sejenisnya.
Kini, kita terpaksa bertahan hidup di dalam suasana selimut kabut asap. Mau menghindarinya juga terasa sukar, karena hampir semua wilayah di Riau dan provinsi tetangga juga mengalami nasib serupa. Mau tidak mau kita harus beradaptasi dengan keadaan ini.
Sadarkah kita, bahwa bencana asap yang berulangkali mendatangi negeri ini adalah akibat kelalaian dan kealfaan kita di dalam menjaga dan memelihara sumberdaya alam (SDA) dan lingkungan negeri yang berlimpah ruah. Khususnya didalam memelihara dan melestarikan hutan tropis yang kita banggakan.
Asa negeri dan anak negeri untuk menggapai kesejahteraan hakiki tergadaikan dan berganti menjadi asap negeri, yang kini mengepung dan menyelimuti bumi Lancang Kuning.
Nimat Membawa Sangsara
Sekiranya, kita mau intropeksi diri, bahwa bencana kabut asap yang terjadi adalah akibat ulah segelintir oknum yang tidak amanah di dalam memanfaatkan sumberdaya alam negeri ini.
Hutan bukannya tidak boleh ditebang dan dimanfaatkan, namun di dalam pemanfaatannya harus diselaraskan dengan prinsip-prinsip pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan, tidak boleh melebihi kemampuan dan daya dukung lingkungan (carrying capacity).
Secara teoritis, yang kemudian dituangkan di dalam berbagai peraturan dan undang-undang di dalam pengleolaaan hutan berkelanjutan sudah dicantumkan, berikut dengan sanksi dan ancaman bagi yang melanggarnya. Kajian akademis juga sudah tak terkira jumlahnya di dalam menerangkan dan menjelaskan fungsi hutan dan prinsip-prinsip pengelolaan hutan dan SDA yang berkelanjutan.
Namun semua itu kemudian diletakkan di dalam laci dan dikunci kuat-kuat, lalu berganti dengan prinsip pertumbuhan ekonomi dan urusan perut lainnya. Diakui, dalam jangka pendek sangat menjanjikan dan menguntungkan di dalam menghasilkan uang dan limpahan materi. Memberikan nikmat yang tak terkira dari eksploitasi sumberdaya hutan, khususnya kayu-kayannya yang bernilai tinggi. Setelah kayu-kayannya dijual dengan setumpuk rupiah dan dolar menyertainya, lalu lahan yang sudah bersih ditanami dengan kelapa sawit yang kemudian juga mencucurkan finansial yang sangat menggiurkan. Atau jika pemilik hak guna lahan enggan bersusah payah, tinggal dilelang lahan yang sudah bersih tadi kepada pihak lainnya dengan harga yang juga sangat fantastis.
Akibat dari perbuatan jahat tersebut (environmental crime), kini asa negeri dan anak negeri menjadi pupus, bahkan bertukar menjadi petaka dan bencana. Ini yang saya katakan nikmat membawa sengsara. Limpahan materi, hasil dari eskploitasi hutan hanya dapat dinikmati sekejap, dengan istilah uang panas, atau ada juga yang mempelesetkan dengan uang hantu dimakan setan.
Penikmat utamanya juga hanya segelintir oknum saja. Sehingga jika dikalkulasikan secara ekonomi juga tidak memberikan sumbangan berarti bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat awam jikapun kecipratan rezeki dari eksploitasi hutan, hanya sekedar untuk dapur berasap saja. Jikapun ada yang berlebih hasilnya, boleh dihitung dengan jari jumlahnya.
Bagaimana Sikap Kita?
Terlepas dari siapa penyebab utama kebakaran lahan dan hutan (karhutla) dan hukuman yang diterima oleh oknum yang melakukan tindakan tersebut, ataupun oknum yang terbebas oleh hukuman, kini kita semua secara terpaksa ataupun tidak terpaksa, harus beradaptasi dengan keadaan ini.
Tentu, tidak pada tempatnya sekarang mengumpat-umpat dan sumpah serapah kepada oknum dan pihak-pihak yang menyebabkan bencana kabut asap. Kita serahkan saja persoalannya kepada para penegak hukum.
Sebagai insan yang beragama, kita juga meyakini, jikapun di dunia yang fana ini mereka (oknum yang melakukan karhutla dan antek-anteknya), bisa terbebas dari berbagai hukuman, kita meyakini bahwa keadilan hakiki akan ditegakkan kelak di hari kiamat.
Yang dapat kita lakukan sekarang sebagai masyarakat awam, adalah menjaga kesehatan pribadi dan keluarga supaya tidak terkena dampak yang lebih jauh akibat kabut asap yang mengepung negeri. Menggunakan masker jika keluar rumah, mengkonsumsi makanan bergizi, dan mengurangi aktivitas di luar ruangan/rumah. Selain itu, juga tidak boleh melakukan pembakaran terbuka di sekitar rumah dan lingkungan sekitar, karena akan menambah parah keadaan.
Anak-anak sekolah dan mahasiswa yang diliburkan karena asap, dapat memanfaatkan waktu dengan belajar di rumah dengan bimbingan dan arahan dari orang tua masing-masing. Juga dapat belajar melalui media internet. Sekolah dan para guru juga harus dapat beradaptasi dengan keadaan ini, dengan kreativitas melalui pembelajaran jarak jauh melalui media internet (e-learning), khususnya bagi sekolah-sekolah di daerah perkotaan yang relatif telah diperkenalkan dengan pembelajaran melalui media internet.
Bagi pemerintah atau pihak-pihak lainnya yang memiliki wewenang, dukungan finansial atau teknologi, sudah semestinya bekerja keras dan berupaya semaksimal mungkin untuk melakukan berbagai tindakan supaya bencana kabut asap ini segera dapat diakhiri. Sebelum aktivitas ekonomi dan sosial utama lainnya benar-benar lumpuh yang akan merugikan semua pihak, semestinya fokus utama pemerintah (mulai dari camat hingga gubernur) beserta stakeholder pembangunan lainnya, duduk bersama dan bergandeng tangan untuk mengatasi kabut asap.
Negeri sekarang berada dalam keadaan darurat asap, sehingga semuanya harus turut aktif, tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah saja. Untuk sementara tinggalkan segala bentuk perbedaan dan warna partai. Kita harus fokus bagaimana untuk sesegera mungkin menyingkirkan kabut asap. Paling tidak untuk jangka pendek, tahap pencemaran kabut asap dapat diturunkan tingkatnya dari kategori tidak sehat.
Kini, seluruh masyarakat Riau harus bergandengan tangan dan bahu-membahu untuk turut aktif berpartisipasi mengatasi kabut asap yang melanda negeri, sesuai dengn kemampuan dan kapasitas setiap individu di dalam masyarakat. Tidak boleh ada yang berpangku tangan, dan menunggu. Harus aktif dan berusaha menyumbangkan segala bentuk kemampuan yang dimiliki.
Sebab, kekuatan dan ketahanan tubuh kita juga terbatas. Jika berlama-lama terdedah asap, dikhawatirkan masyarakat Riau akan mengalami sakit berjemaah. Semoga hal ini tidak terjadi.
Mungkin juga yang kerap terlupakan, adalah mohon pertolongan dari Allah untuk menurunkan hujan, yang kita kenal dengan istilah do’a minta hujan (sholat istisqo’). Tentu jika yang menginisiasi dan menghimbaunya dari pemerintah, maka gaungnya akan lebih bergema dan dapat dilakukan secara bersama-sama. Mungkin juga karena dosa rakyat negeri yang sudah demikian pekatnya, maka permohonan do’a tidak bisa sekali-dua kali.
Disadari, hujan sudah turun beberapa kali. Namun, hujan reda asap pun tiba lagi. Mengapa? Kapan drama kabut asap yang semakin liar ini akan enyah dari negeri ini?
Semoga, Yang Maha Kuasa senantiasi mencurahkan rahmat dan nikmatnya bagi negeri ini, dan kita semua terhindar dari bencana asap yang lebih parah. Amin. Wallahu a’lam.***