Peristiwa Selalu Terulang
Ada banyak yang bertanya tentang tragedi Mina. Mina memang selalu saja menelan korban, mulai terowongan Mu'aishim Mina pada 1990 itu, kejadian di tempat lempar jumroh hampir setiap tahun dan saat ini adalah kejadian di jalan menuju jamarat.
Secara dzahir perbaikan sarana setiap tahun semakin bagus, polisinya semakin banyak dan sistem permaktaban semakin ketat. Melihat kenyataan ini, ada pengamat banyak yang langsung berkata "inilah takdir."
Beberapa jalan menuju jamarat memang ada yang lancar walaupun padat, namun tak bisa dipungkiri bahwa di beberapa ruas jalan padatnya sungguh menyiksa karena harus berebut oksigen untuk bernafas di tengah panas terik yang menguras keringat dan tenaga. Satu saat polisi menghentikan satu rombongan besar untuk berlanjut menuju jamarat karena pertimbangan keamanan tentunya.
Namun tak disangka, jamaah yang dari belakang terus mendesak dan terdesak. Sesak nafas dan kelelahan menyebabkan mereka roboh dan akhirnya meninggal. Rata-rata mereka adalah orang luar dengan tubuh tinggi besar.
Tidak di satu titik kejadian seperti ini. Sedikitnya di tiga titik, salah satunya di lantai dasar jamarat. Ada beberapa jamaah Indonesia yang juga menjadi korban.
Jelasnya masih menunggu data verifikasi. Di sini diperlukan kecerdasan managemen pelaksanaan jumroh oleh pihak maktab dan keamanan. Tak luput pula diperlukan kecerdasan pembimbing jamaah yang mengerti tentang posisi keselamatan jiwa sebagai bagian terpenting kemaslahatan.
Tidak sedikit pembimbing yang ngotot memilih waktu afdlal (utama) untuk melontar jumrah, waktu yang biasanya penuh sesak manusia terutama oleh oleh orang-orang non Asia. Tak salah memilih waktu ini ketika diyakini bahwa kondisi lapangan tak meragukan menjanjikan keamanan (safety).
Namun, ketika ada sinyal membahayakan, maka gunakanlah salah satu nilai maqasid bernama "hifdz al-nafs" (menjaga jiwa) harus dijadikan konsiderasi utama. Pilihlah waktu yang masih dibolehkan, walau tidak afdlal.
Tentang waktu melontar jumrah, sesungguhnya pemerintah saudi sudah mengatur dengan lunak. Ulama Saudi yang biasanya tekstual dan berkarakter keras dalam hukum Islam mulai melunak dengan kesediannya mempertimbangkan kemaslahatan sebagai konsiderasi utama.
Waktu melontar jumrah dibagi-bagi agar tidak bertumpuk di tempat yang sama pada waktu yang sama. Namun sayangnya, para pembimbing tidak menghiraukannya dan tetap bergerak di waktu yang paling afdlal walau nyawa taruhannya.
Terulang Lagi
Tahun ini tragedi Mina kembali terulang. Jumlah korban sementara sudah melewati angka 717 yang meninggal dunia, 863 orang lebih yang luka-luka. Mayat dengan wajah kelelahan bergelimpangan. Tubuh-tubuh kesakitan digotong bersama menuju rumah sakit.
Sungguh keadaan ini menjadi potret yang menyedihkan; sesuatu yang sesungguhnya tak perlu terjadi andai saja semua mau tunduk pada aturan yang telah dibuat dan ajaran hukum Islam yang dipahami dengan benar dan bijak.
Pertanyaan yang menggema dan menjadi perbincangan banyak orang adalah "ini tanggung jawab siapa?" dan "siapa yang harus mengganti kerugian yang terjadi?"
Pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang wajar, bukan untuk mencari kambing hitam melainkan untuk mengurai masalah dan memberikan kejelasan pada publik tentang segala hal tetkait musibah ini.
Menjawab pertanyaan tersebut, marilah kita melihat sejarah masa lalu, yakni sejarah haji yang terjadi pada masa para sahabat, ketika jumlah jamaah haji membludak dan tak lagi bisa ditampung fasilitas terbatas yang tidak seluas saat ini.
Ibrahim al-Nakha'i menceritakan bahwa di masa Sayyidina Umar, terjadilah desak-desakan karena ramainya jamaah di mathaf (tempat tawaf) sehingga menelan korban jiwa.
Umar bin Khattab secara sigap bermusyawarah dengan masyarakat pada waktu itu untuk menentukan siapa yang bertanggung jawab atas korban ini.
Sayyidina Ali berkata bahwa diyat (denda) yang harus dibayarkan untuk korban adalah tanggung jawab semua umat muslimin atau ditanggung oleh baitul maal (lembaga keuangan negara).
Yazid bin Madzkur menceritakan fakta sejarah yang terjadi di Kufah pada masa pemerintahan Ali bin Abi thalib. Terjadilah peristiwa membanjirnya jamaah di masjid jami' Kufah. Jamaah berdesak-desakan dan akhirnya terjadilah peristiwa kematian beberapa jamaah karena peristiwa itu.
Banyak yang bertanya dan menuntut penyelesaian kasus ini. Khalifah Ali bin Abi thalib membayar diyat untuk korban- korban itu dengan menggunakan dana baitul mal.
Makna
Apa makna dari kisah sejarah di atas? Pertama adalah bahwa semua umat muslimin bertanggung jawab atas peristiwa keagamaan seperti ini.
Tanggung jawab yang dimaksud adalah bahwa semua umat muslim harus berkontribusi bersama untuk terlaksananya ibadah yang nyaman, aman dan penuh kekhusyukan. Peraturan-peraturan yang berorientasi pada keselamatan dan kenyamanan ibadah harus dibuat dan ditaati bersama.
Lebih dari itu, adanya aparat yang profesional di lapangan sangatlah dibutuhkan. Seringkali didapati di musim haji ini beberapa aparat dan petugas yang kelihatan kurang serius dalam melaksanaka tugas.
Yang paling tampak dalam setiap pelaksanaan haji adalah pelayanan imigrasi di bandara yang bisa memakan waktu 7 jam di bandara, waktu yang sangat melelahkan. Pengaturan lalu lintas menjadi satu hal lain yang banyak mendapatkan keluhan.
Tak kalah pentingnya adalah ketaatan semua jamaah dan pengurus travel pada peraturan-peraturan yang telah dibuat. Kendala utama untuk menjadi taat pada aturan yang ada adalah karena keyakinan yang tertanam dalam diri sekelompok orang bahwa cara dan waktu ibadah yang benar adalah hanya cara dan waktu yang diyakininya.
Cara dan waktu yang lain, walau ditentukan oleh otoritas pengurususan haji pemerintah saudi, dianggap salah dan tidak perlu ditaati.
Dalam konteks waktu melontar jum'rah misalnya, sesungguhnya pemerintah Saudi telah menentukan pembagian jam melontar untuk masing-masing maktab atau travel. Bahkan, dalam pelaksanaannya, setiap kelompok yang akan melontar jumrah diantar oleh petugas khusus.
Sayangnya, aturan dan fasilitas ini seringkali tidak ditaati atas dasar bukan waktu yang paling utama. Jumlah jamaah yang berpikiran seperti ini banyak sekali, maka terjadilah penumpukan jamaah dan terjadilah peristiwa yang kita perbincangkan saat ini.
Kedua adalah bahwa negara bertanggung jawab untuk membayar diyat (denda) atas hilangnya nyawa dalam kasus yang terjadi seperti dalam kisah sejarah tersebut di atas. Nyawa dalam Islam merupakan sesuatu yang sangat dihormati dan dihargai.
Urusan nyawa termasuk urusan besar yang dijadikan pesan akhir Rasulullah dalam khutbah Arafah di haji perpisahan beliau. Rasulullah bersabda:
"Hanyasanya darahmu, hartamu dan kehormatanmu adalah haram (diperlakukan secara dzalim."
Kalimat tersebut oleh para pengamat muslim hak-hak asasi manusia (HAM) dianggap sebagai pondasi paling awal yang disampaikan berkenaan dengan HAM, jauh sebelum Perancis, Inggris dan Amerika berbicara tentang HAM. Rasulullah menyampaikan hal ini 15 abad yang lalu, abad di mana Barat belum mendapatkan pencerahan apapun.
Banyak yang menduga bahwa liberty (kebebasan hidup), property (hak milik) and dignity (harga diri) yang dikemukakan Barat sebagai dasar HAM adalah copy paste dari sabda Rasulullah di atas. Giovanni Pico de La Mirandola, pengamat HAM abad 18 dari Italia, menyatakan bahwa Barat berutang budi kepada Islam dalam hal HAM ini.
Nyawa dalam hukum Islam sangat diproteksi. Menghilangkan nyawa merupakan pelanggaran berat. Hilangnya nyawa berakibat lahirnya sanksi hukum, bisa jadi berupa qishash (sanksi bunuh pada pelaku) ataupun diyat (denda).
Penentuan hukum ini tergantung pada konteks kejadiannya. Kalau pelakunya adalah perseorangan atau kelompok tertentu, maka penetapan hukumnya sangatlah mudah. Bagaimanakah jika hilangnya nyawa itu karena faktor alam, ketidaksengajaan sistem atau ketidaktaatan korban atas peraturan? Ini adalah pertanyaan yang membutuhkan diskusi panjang.
Ranah Pidana
Jika kejadian ini adalah karena kelalaian korporasi, kelompok bimbingan dan pengusaha travel, maka tanggung jawab bisa dibebankan pada perusahaan itu. Kelalaian yang dimaksud adalah, misalnya, karena pembiaran jamaah untuk berangkat ke jamarat di luar waktu yang ditentukan oleh pemerintah Saudi, atau ketidaktaatan pada peraturan yang sudah ditetapkan pemerintah Saudi.
Jika kejadian ini bukan karena ketidaktaatan pada peraturan yang ada dan bukan karena kelalaian para petugas, maka ini masuk dalam katagori social liability (tanggung jawab sosial). Pemerintah bisa mengambil alih tanggung jawab seperti ini.
Peristiwa jatuhnya crane beberapa waktu yang mengakibatkan meninggalnya banyak jamaah haji menarik untuk dibaca penyelesaian hukumnya. Bin Laden group sebaai kontraktor pelaksana pembangungan perluasan masjidil Haram dibebani sanksi denda 3,8 miliar rupiah kepada setiap keluarga korban. Lebih dari itu, pemerintah Saudi memberikan hadiah haji gratis kepada dua orang keluarga setiap korban. Ini adalah contoh perpaduan corporate libility dan social liablity dalam hukum.***