Dimensi Idul Kurban
SETIAP Hari Raya Idul Adha (10 Dzulhijah) dan hari-hari tasyriq (11-13 Dzulhijah), umat Islam yang memiliki kemudahan dan kelapangan rezeki sangat dianjurkan menyembelih hewan kurban. Nabi SAW menyatakan, "Siapa yang memiliki kelapangan rezeki, tetapi tidak berkurban, maka jangan sekali-kali mendekati masjid kami." (HR at-Thabarani).
Hadis ini menunjukkan, berkurban itu bukan sekadar anjuran biasa, tetapi sunah muakkadah (sangat dianjurkan) yang diharapkan bisa berdampak spiritual, moral, dan sosial yang positif, baik bagi pekurban, pemilik hewan kurban, maupun para penerima daging kurban. Larangan Nabi SAW untuk tidak mendekati masjid kepada orang yang mampu berkurban tetapi enggan berkurban mengandung pelajaran bahwa ibadah ritual, seperti shalat, tidak bermakna dan tidak berdampak signifikan terhadap pembentukan kepribadian dan kesalehan sosial, jika tidak ditindaklanjuti dengan ibadah sosial seperti berkurban.
Karena itu, Allah SWT menyandingkan dan menyejajarkan perintah shalat dan perintah berkurban dalam satu rangkaian ayat. "Shalatlah karena (mengharap ridha) Tuhanmu dan berkurbanlah." (QS al-Kautsar [108]: 2). Dengan demikian, jika seorang Muslim sudah rajin dan khusyuk melaksanakan shalat tetapi belum membiasakan berkurban padahal ia mampu, maka shalatnya menjadi tidak bermakna. Kesalehannya hanya berhenti pada tataran personal, tidak transformatif menjadi kesalehan sosial.
Tradisi berkurban merupakan teladan kekasih Allah (Khalilullah) Ibrahim AS. Beliau diperintahkan Allah SWT untuk menyembelih anak kesayangannya, Ismail AS, melalui sebuah mimpi. Ketika sang ayah meminta pendapatnya mengenai perintah Allah untuk menyembelihnya, sang anak (Ismail) jus tru meneguhkan keyakinan ayahnya. "Wahai Ayahanda, lakukanlah apa yang telah diperintahkan oleh Allah kepadamu. Insya Allah engkau akan mendapati diriku termasuk orang yang sabar." (QS ash-Shaffat [37]: 102). Sang ayah dan anak sama-sama tunduk dan patuh dengan penuh keikhlasan dan kesabaran menerima ujian iman dari Allah SWT.
Ketegaran Ibrahim dan kebugaran mental Ismail dalam menerima ujian iman dari Allah untuk berkurban menunjukkan bahwa ibadah kurban memerlukan kesadaran, kesabaran, komitmen kuat, dan kecerdasan spiritual yang tinggi. Jika direnungi, hakikat berkurban pada dasarnya merupakan manifestasi rasa syukur hamba terhadap nikmat dan karunia Allah yang luar biasa banyak dan besar. Bersyukur sebagai salah satu dimensi spiritual kurban menunjukkan kedalaman jiwa seorang hamba untuk mengapresiasi karunia Ilahi dengan bersedia berbagi kepada sesama, berbagi kenikmatan dan kebahagiaan.
Karena itu ketika memerintahkan shalat dan berkurban, Allah terlebih dahulu menyatakan, "Sungguh Kami telah memberimu [Muhammad] nikmat dan karunia yang luar biasa banyak." (QS al-Kautsar [108]: 1). Dengan penegasan semacam ini, Muslim yang mampu berkurban seharusnya malu dan merasa rendah kecerdasan spiritualnya jika tidak mensyukuri nikmat-Nya dengan berkurban. Menyembelih hewan kurban merupakan simbol kesadaran dan komitmen spiritual untuk selalu mendekatkan diri kepada Tuhan, sekaligus bukti keimanan sejati bahwa berkurban itu berhati mulia dan bersedia berbagi untuk kemaslahatan kemanusiaan.
Dimensi Sosial Ekonomi
Berkurban dalam Islam sangat sarat dengan nilai-nilai sosial yang luhur. Jika Nabi Ibrahim dan Ismail telah berhasil mengubah tradisi mengorbankan manusia dengan mengganti tradisi berkurban hewan (karena Allah akhirnya mengganti Ismail dengan domba), maka berkurban di era modern ini harus dimaknai sebagai "menyembelih" egoisitas, nafsu serakah, tamak, rakus, dan sifat-sifat kebinatangan yang sering kali membuat harkat dan martabat manusia menjadi rendah, terhina serta bermoral asosial, seperti korupsi, pembalakan hutan, dan membakar hutan untuk membuka lahan baru.
Berkurban hewan juga harus diaktualisasikan dalam bentuk pengembangan kepedulian sosial, semangat berbagi, dan sikap mengasihi sesama yang tidak mampu. Nabi SAW pernah bersabda, "Sayangilah sesamamu yang ada di muka bumi ini, niscaya yang di langit (Allah) juga akan menyayangimu!" (HR Muslim).
Sebagai teladan kemanusiaan dalam berkurban, selama berada di Madinah, Nabi SAW setiap Idul Adha selalu menyembelih sendiri hewan kurbannya, kemudian mendistribusikannya kepada kaum fakir dan miskin, dan sedikit disisakan untuk dimakan keluarganya.
Berkurban merupakan bukti ketulusan cinta Ilahi yang sejati sekaligus bukti aktualisasi ketakwaan seorang hamba kepada Allah SWT. "Daging dan darah [dari hewan yang dikurbankan] itu sama sekali tidak sampai kepada Allah. Akan tetapi yang sampai dan diterima oleh Allah adalah kualitas takwa yang ada pada diri kalian yang berkurban." (QS al-Hajj [22]: 37).
Jadi, esensi berkurban bukan sekadar meritualkan penyembelihan hewan kurban, melainkan juga transformasi diri menuju kepribadian Muslim yang bertakwa dalam arti bebas dari penjajahan hawa nafsu dan sifat kebinatangan yang rendah.
Idul Adha atau Idul Kurban juga sarat dengan simbol pemberdayaan sosial ekonomi. Melalui ibadah kurban ini, umat Islam dididik untuk bisa mengembangkan ternak hewan kurban secara terprogram, belajar merawat dan membudidayakan hewan kurban secara sehat dan layak disembelih secara syar'i. Prosesi penyembelihan hewan kurban juga menghendaki adanya "pejagal profesional" yang memahami etika penyembelihan hewan kurban. Pada saat penyembelihannya, syiar dan takbir menandai rasa syukur dan bahagia bisa memberdayakan banyak orang, menyantuni fakir miskin dan anak-anak yatim.
Dimensi sosial Idul Adha tidak hanya berhenti pada pembagian daging kurban kepada para mustahik (yang berhak menerimanya), tapi terus berlanjut dengan signifikansi peningkatan kualitas pangan dan gizi warga bangsa. Bagi mayoritas fakir miskin, mengonsumsi daging boleh jadi hanya setahun sekali saat menerima daging kurban.
Tak jarang, atas nama kemiskinan, sebagian penerima daging kurban itu menjual dagingnya kepada pihak lain untuk dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. Jadi, melalui ibadah kurban sejatinya kita diimbau kembali mendata, menyantuni, dan memberdayakan para mustahik agar kualitas hidup mereka meningkat, tidak kekurangan pangan dan gizi.
Idealnya, ibadah kurban itu menjadi momentum kebangkitan ekonomi kerakyatan. Petani, peternak, dokter hewan, pengusaha, penjagal, perajin kulit binatang, pengelola masjid, dapat bersinergi membuat perencanaan dan pengembangan peternakan hewan yang sehat dan dapat mencukupi kebutuhan pekurban. Potensi sosial ekonomi dari mata rantai penyembelihan dan pembagian daging kurban ini perlu dipikirkan bersama untuk dijadikan salah satu solusi pengangguran dan pemberdayaan ekonomi kreatif umat.
Sosialisasi dan pembiasaan menyembelih hewan kurban bagi umat Islam yang mampu perlu disertai dengan proses edukasi yang men cerdaskan dan mencerahkan agar tradisi berkurban tidak berhenti pada tataran ritual-formal, tapi dapat membawa kepada proses transformasi nilai-nilai spiritual, moral, dan sosial bagi yang berkurban menuju peningkatan kualitas akhlak mulia dan kesejahteraan sosial bagi sesama.
Jadi, esensi kurban adalah menundukkan egoisitas, individualitas, dan meterialitas personal demi merespons cinta Ilahi dengan mengurbankan yang paling dicintainya agar memperoleh kedekatan dengan-Nya sekaligus kedekatan dengan sesamanya. Wallahu a'lam bi al-shawab! (rol)
Oleh: Muhbib Abdul Wahab - Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta