Menggugat “Tuhan” dan “Saiton”
Publik terutama di dunia maya dihebohkan oleh sebuah nama. Padahal, menurut penyair Shakespeare mengatakan “what is in a name?”, apalah arti sebuah nama. Namun, nama yang menghebohkan para netizen, bukanlah nama biasa. Walau nama itu biasa didengar publik dalam narasi kitab suci, tapi ketika dihubungkan dengan nama manusia, maka ia akan nampak janggal dan aneh. Nama tersebut adalah Tuhan dan Saiton.
Tuhan dalam literatur umat beragama bermakna Sang Kuasa dan pemilik alam jagad raya. Kepada-Nyalah manusia menyembah dan meminta perlindungan. Sosok Tuhan adalah zat yang mulia dan tak terjangkau oleh nalar manusia. Sedangkan Saiton atau Saitan adalah makhluk ciptaan tuhan yang jahat, kerjanya mengajak manusia untuk melanggar aturan-aturan Tuhan.
Kini, kedua nama itu melekat kepada manusia dan tercantum dalam administrasi kependudukan seperti KTP dan Kartu Keluarga. Bahkan sosok keduanya menjadi terkenal dan diundang dalam wawancara di media televisi.
“Tuhan” dan “Saiton” berbicara, sesekali tersenyum dan tertawa dan merasa tidak ada yang salah dengan nama yang disandang. Apa sesungguhya yang terjadi sehingga nama-nama yang tak lazim bagi manusia, sekarang disematkan kepada manusia? Benarkah ini gejala biasa atau ketidaktahuan yang memberi nama, atau asal memberi nama saja.
Sangat sulit untuk menjawab dengan pasti. Tapi satu hal, nama adalah properti pertama seseorang ketika lahir ke dunia. Nama menjadi kebanggaan bagi pemiliknya serta sangat vital dalam konteks komunikasi. Dan dalam pemberian nama ada etika dan tatacara yang baik.
Walaupun menurut Lyons (1995) proses pemberian nama bisa manasuka atau arbitrer. Namun dalam masyarakat Indonesia terikat oleh ruang budaya, norma, etika dan agama. Apalagi pemberian nama sering dilakukan dengan upacara dan doa kepada yang Maha Kuasa.
Dalam Islam pemberian nama tidak hanya bermakna artifisial saja, namun memiliki makna substansial. Sebab di samping doa juga sebagai identitas pengenal di akhirat kelak. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya kalian pada hari kiamat akan dipanggil dengan nama-nama kalian dan nama-nama bapak bapak kalian, maka baguskanlah nama-namamu “, (HR Muslim).
Pemberian nama hendaklah dengan nama yang baik-baik dan dilarang memberi dengan nama yang jelek. Nama-nama sang pencipta dilarang dijadikan nama manusia, seperti Aziz ( Yang Maha Perkasa). Kalaupun ingin memberi nama seseorang dengan ungkapan Aziz harus didahului dengan kalimat Abdu atau Abdul ( hamba). Sehingga menjadi Abdul Aziz atau yang lainnya. Juga dilarang memberi nama dikaitkan dengan patung sesembahan, seperti Abdul Uzza, nama patung dan Tuhan masyarakat Jahiliyah.
Sejatinya dalam perspektif Islam, nama memiliki urgensitas dalam merajut nilai-nilai baik dari sebuah nama dan berharap nilai itu terinternalisasi dalam kepribadian sang pemilik nama. Akan sangat naif, bila manusia menggunakan nama “Tuhan” dan Saiton” sebagai namanya.
Walaupun argumentasinya, yang bernama “Tuhan” berharap lakunya bisa meneladani sifat-sifat Tuhan dan yang bernama “Saiton” agar kelak dia tidak berperilaku Saitan. Namun pemberian nama tersebut dirasa kurang bijak dan arif dalam komunitas masyarakat di Indonesia.
Untuk itu tidak salah, kalau nama “Tuhan” dan “Saiton” sebagaimana usulan MUI Jatim untuk ditukar dan diganti dengan nama lain yang lebih baik. Secara psikologis nama-nama itu akan berpengaruh dalam lalu lintas pergaulan masyarakat kita, baik terhadap penyandang nama maupun bagi anaknya kelak. Bahkan berpotensi menjadi bahan olok-olok, seperti “Tuhan telah dibunuh oleh Saiton”, atau “Tuhan dan Saiton tertangkap sedang pesta narkoba”, dan lain-lain. Apalagi dalam kultur masyarakat, nama-nama tersebut dianggap tidak layak dan di luar kebiasaan.
Memang mengubah nama yang terlanjur dicatatkan dalam administrasi kependudukan dianggap sulit dan merepotkan, namun bukan berarti tidak bisa dilakukan perubahan. Apalagi dalam Islam merubah nama-nama yang buruk merupakan sunnah. Nabi juga terbiasa mengubah nama-nama yang buruk. Sebagaimana yang terungkap dalam sabda Nabi, “ Dari Aisyah ra, bahwa nabi Muhammad SAW biasa mengubah nama yang buruk”, (HR. At-Tirmidzi).
Sekarang, terpulang kepada yang memiliki nama “Tuhan” dan “Saiton”. Publik hanya mengingatkan bahwa nama-nama itu tidak baik dan tidak dilayak disandang oleh manusia. walaupun seeorang mempunyai kebebasan untuk memberi atau memiliki nama sesukanya, namun sebagai manusia yang hidup dalam teras lingkungan adat, budaya dan agama sudah semestinya tidak keluar dari kelaziman dan etika yang dijunjung masyarakat.
Semoga kehebohan “Tuhan” dan “Saiton” menjai ibrah bagi publik, bahwa nama bukan masalah sepele, tapi nama memiliki arti dan makna yang sangat penting dalam lalu lintas kehidupan sebagai makhluk Tuhan. Wallahu’alam.***
Pengamat Sosial Keagamaan
Oleh: Suhardi