Sengketa Pemilihan Kepala Daerah
Di dalam UU 8/2015 sebagai dasar penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota, sengketa pemilihan dalam pilkada dibagi atas dua bagian. Pertama, sengketa yang terjadi antarpeserta pemilihan. Kedua, sengketa antara peserta pemilihan dengan penyelenggara pemilihan.
Jika dilihat kecenderungan dari beberapa penyelenggaraan pemilu terakhir, sengketa antarpeserta pemilihan bisa dikatakan nihil terjadi.
Sebaliknya, sengketa antara peserta pemilihan dengan penyelenggara pemilihan cukup banyak muncul pada penyelenggaran pemilu ataupun pilkada terakhir.
Hal ini bisa dipahami karena melibatkan dua kepentingan yang berbeda. Pasangan calon kepala daerah mewakili sisi kepentingan kemenangan kontestasi pilkada. Di sisi yang lain, kepentingan KPU sebagai penyelenggara mesti memastikan proses pemilihan berjalan sesuai dengan aturan main dan regulasi yang sudah disusun.
Dalam konteks pilkada, objek penting yang perlu diperhatikan dari sengketa antara peserta pemilihan dan penyelenggara pemilihan adalah penetapan calon kepala daerah. Peserta pemi-lihan, dalam hal ini bakal calon kepala daerah, diberikan ruang untuk menggugat penetapan KPU dalam hal penetapan calon kepala daerah hasil verifikasi berkas pencalonan.
Lembaga yang diberi kewenangan untuk menyelesaikan gugatan bakal calon kepala daerah tersebut adalah pengawas pemilu untuk calon bupati dan wali kota, dan Bawaslu provinsi untuk calon gubernur. Sementara, Bawaslu RI sama sekali tidak diberi kewenangan dalam menyelesaikan sengketa pemilihan.
Kemudian, jika dilihat Pasal 144 ayat (1) UU 8/2015, putusan pengawas pemilu dan Bawaslu provinsi yang menyelesaikan sengketa pemilihan merupakan keputusan yang terakhir dan mengikat. Artinya, apa pun keputusan yang dikeluarkan oleh pengawas pemilu kabupaten/kota dan Bawaslu provinsi, maka kedua belah pihak wajib untuk melaksanakan keputusan tersebut.
Namun, ketentuan ini "diperjelas" oleh Fatwa Mahkamah Agung (MA) No 115/Tuaka.TUN/V/2015. MA mengatakan, keputusan pengawas pemilu bersifat terakhir dan mengikat, hanya berlaku jika yang dimenangkan di dalam sengketa pemilihan adalah pasangan calon kepala daerah atau peserta pemilihan.
Sebaliknya, jika yang dimenangkan adalah penyelenggara pemilihan atau KPU, maka putusan pengawas pemilu tidak bersifat terakhir dan mengikat. Artinya, jika putusan pengawas pemilu merugikan pasangan calon kepala daerah, maka calon kepala daerah dapat melakukan upaya hukum atas putusan pengawas pemilu ke pengadilan tinggi tata usaha negara (PTTUN).
Fatwa MA ini menurut saya sedikit mengusik asas dasar dalam pemberlakuan subjek hukum di dalam suatu sengketa. Tidak hanya dalam sengketa, asas hukum equality before the law menghendaki setiap orang diperlakukan sama di hadapan hukum. Perlakuan sama di hadapan hukum ini tentu dapat diartikan sebagai ba-gian dari pemberian kesempatan dalam melakukan upaya hukum di dalam suatu proses sengketa. Artinya, adanya pembedaan perlakukan dan kesempatan melakukan upaya hukum antara peserta pemilihan dengan penyelenggara pemilihan di dalam sengketa penetapan calon kepala daerah bukanlah suatu desaian ideal di dalam kerangka sengketa hukum.
Apalagi, di dalam proses sengketa administrasi, selain memastikan keadilan formil, jalannya sengketa administrasi tentu saja hendak menyelamatkan keadilan materil. Bagi pihak penggugat, dalam hal ini pasangan calon kepala daerah, rujukan mereka dalam gugatan akan memastikan bahwa penetapan pasangan calon kepala daerah oleh KPU sesuai dengan ketentuan yang ada serta tidak melenceng dari prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik dalam mengeluarkan suatu keputusan.
Artinya, gugatan dari pasangan calon kepala daerah akan menguji hasil kerja KPU di dalam proses verifikasi pasangan calon kepala daerah sampai pada penetapan, apakah sesuai dengan regulasi yang ada. Untuk hal yang lebih spesifik, proses sengketa pencalonan kepala daerah ini merupakan salah satu syarat untuk mewujudkan keadilan pemilu. Dalam suatu pemilihan umum, mesti ada mekanisme bagi seorang warga negara untuk mengembalikan haknya untuk dipilih, melalui proses yang free and fair.
Sementara, pada sisi KPU sebagai penyelenggara pemilihan, proses sengketa pencalonan kepala daerah ini akan memastikan KPU sebagai bagian dari negara, telah melaksanakan tugasnya dengan baik dalam menyelenggarakan salah satu tahapan pilkada. Tahapan tersebut adalah verifikasi dan penetapan pasangan calon kepala daerah.
Proses sengketa penetapan calon kepala daerah ini menjadi penting bagi KPU karena akan menguji kewibawaan KPU sebagai penyelenggara pilkada. Selain itu, KPU mesti mempertanggungjawabkan produk hukum yang telah dikeluarkan sebagai penyelenggara pilkada, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari tindakan hukum atas nama negara.
Oleh sebab itu, adanya kesempatan untuk melakukan upaya hukum bagi pasangan calon kepala daerah ke PTTUN, mestinya juga diberikan kepada KPU sebagai penyelenggara pemilihan. Jadi, seandainya keputusan pengawas pemilu menguntungkan pasangan calon, KPU semestinya juga diberikan ruang untuk mengajukan upaya hukum ke PTTUN.
Ketentuan ini juga semestinya konsisten dengan apa yang diatur ketika sengketa pencalonan pada Pemilu Legislatif 2014 yang lalu. Pada Pileg 2014, jika terdapat sengketa pemilihan antara peserta pemilu dan penyelenggara pemilu, maka dapat diajukan sengketa ke Bawaslu. Jika para pihak tidak puas dengan putusan Bawaslu, maka baik peserta pemilu maupun penyelenggara pemilu, dapat melakukan upaya hukum ke PTTUN, bahkan sampai ke MA.
Hal ini mesti menjadi catatan penting. Di atas persamaan perlakuan terhadap setiap subjek hukum, kepastian hukum di dalam suatu proses sengketa juga menjadi hal yang sangat penting. Pe-ngaturan terkait dengan sengketa pilkada ini mestinya konsisten saja dengan apa yang sudah diatur di dalam UU Pilkada. Jika hendak menyederhanakan proses, maka pastikan saja bahwa keputusan pengawas pemilu merupakan putusan yang terakhir dan mengikat, baik bagi bakal calon kepala daerah maupun bagi KPU sebagai penyelenggara pemilihan.
Namun, jika memang ingin bergeser ke arah yang lebih ideal pada suatu penyelesaian sengketa, memang sebaiknya ada upaya hukum yang disediakan di dalam proses sengketa pemilihan ini. Upaya hukum bertujuan untuk memberikan koreksi terhadap keputusan lembaga sebelumnya yang berpotensi mengandung kealfaan dan kekhilafan.
Namun, ruang upaya hukum ini mesti diberikan kepada setiap pihak yang bersengketa. Dalam hal pencalonan kepala daerah, kesempatan untuk melakukan upaya hukum mesti diberikan kepada bakal calon kepala daerah dan juga kepada KPU daerah sebagai penyelenggara pemilihan.***
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
Oleh: Fadli Ramadhanil