Percaya Dolar akan Turun
Ketika 1998 Indonesia dilanda krisis moneter, saya termasuk salah satu rakyat yang merasakan pukulan berat. Bisnis produksi kaset nasyid dan percetakan yang kami rintis langsung mati suri, kehilangan pembeli. Jangankan membeli kaset, masyarakat kala itu bahkan susah untuk membeli susu dan makanan pokok.
Saat itu, saya terpaksa menjual barang-barang ke pegadaian, bahkan hingga lemari plastik dan perkakas rumah tangga harus dijual ke kerabat untukmenutupi kebutuhan harian, termasuk anak pertama kami yang masih bayi.
Bersama suami, saya mencari pekerjaan apa saja, termasuk melamar sebagai guru privat bahasa Inggris karena saat itu banyak dibutuhkan. Antara lain untuk mereka yang memutuskan pergi ke luar negeri demi menyelamatkan diri karena khawatir situasi di tanah air.
Apa yang saya alami memang tidak separah saudara kita yang harus meninggalkan tanah air karena mendapat tekanan pihak tertentu. Tidak juga semenderita mereka yang bisnisnya hancur -– ada yang sampai aset perusahaan dan keluarga dijarah, dibakar serta dirusak massa.
Akan tetapi saya bisa merasakan betapa krisis yang didahului dengan membengkaknya nilai dolar merusak nyaris semua sendi kehidupan.
Ketika kurs dolar melambung tinggi seperti yang terjadi sekarang, ingatan saya kembali ke masa-masa pahit dalam episode bangsa Indonesia itu.
Kalau dikaji dan dikaji lagi, boleh jadi sebenarnya semua terjadi karena: Percaya atau sebaliknya Tidak Percaya.
Krisis moneter 1998 dimulai dengan Tidak Percaya-nya rakyat Indonesia bahwa pemerintah mampu mengatasi masalah, sebaliknya rakyat Percaya dolar akan terus naik.
Karena keyakinan demikian, maka kalangan yang memiliki simpanan dolar akan menahan, sementara mereka yang belum memiliki berusaha membelinya.
Selama hal ini dipercayai, maka kurs dolar akan terus tinggi, dan terjadilah krisis. Sekalipun saya mengakui ada kepentingan politik yang menyertai, tapi tanpa ketidakpercayaan yang masif, krisis moneter sebenarnya masih mungkin dihindari.
Sadar krisis dimulai ketika rakyat Percaya dolar akan naik terus, maka untuk menghindarinya saya kali ini bersikeras untuk Tidak Percaya dolar akan terus melambung.
Pilihan sikap ini membuat saya memilih tidak membeli dolar meski sekadar investasi atau mengambil keuntungan sesaat. Karena percaya dolar akan turun, saya -mungkin juga sebagian masyarakat yang berpikir serupa- tanpa ragu justru menjual dolar sisa perjalanan dari luar negeri.
Jika seluruh pihak meyakini kurs dolar pasti turun, masyarakat akan berbondong-bondong menjual dolar hingga nilainya benar-benar turun. Kekuatan kepercayaan adalah kuncinya. Sebaliknya, jika rakyat percaya dolar akan terus naik, lebih banyak orang akan membeli dolar sebagai simpanan, hingga nilainya meningkat terus.
"Tapi saya hanya membeli sedikit, cuma 1.000 dolar," kilah seorang rekan ketika bertemu.
Benar juga. Perbedaan apa yang bisa dibuat oleh satu orang?
Persoalannya jika ada di antara penduduk Indonesia satu juta orang yang berpikir demikian, maka akan ada transaksi pembelian dolar sebanyak 1 miliar USD. Lebih buruk lagi jika jutaan orang dari kelas menengah kita memutuskan menabung dolar, berarti nilai mata uang tersebut akan semakin melambung. Dan setiap kita yang melakukannya tanpa disadari telah berkontribusi dalam mencabik-cabik nilai rupiah.
Saya mengerti ada banyak alasan untuk bersikap pesimis saat ini. Namun pesimistis tidak pernah membawa kita ke arah lebih baik. Sebagai rakyat yang bisa dilakukan saat ini adalah percaya. Yakin bahwa nilai dolar akan turun. Percaya pemerintah akan melakukan yang terbaik untuk mewujudkannya.
Jika hal ini dipercayai maka kita tidak akan membeli dolar untuk investasi. Jika memutuskan mendukung pemerintah, berarti memberi kesempatan pemerintah untuk berkonsentrasi bekerja.
Sementara peran pemerintah saat ini adalah membuat rakyat percaya bahwa pemerintah mereka sedang berpikir dan bekerja keras untuk meredam laju dolar. Termasuk membuat langkah luar biasa yang bisa menarik dolar sebanyak-banyak ke Indonesia atau ditukarkan dengan rupiah.
Saya ingat, dulu pemerintah Habibie membuat kebijakan ‘gila’ dengan menaikkan suku bunga hingga 70%-an hingga masyarakat melihat bahwa menabung dalam rupiah lebih menguntungkan dari dolar. Yang kemudian terjadi adalah rakyat akhirnya berbondong-bondong menjual dolar, hingga nilai dolar langsung anjlok sampai 7.000-an.
Saya tidak menyarankan untuk menerapkan hal ini, namun pemerintah harus memikirkan jalan keluar. Selain yang sudah dilakukan, tentu harus dirumuskan langkah-langkah brilian. Dan semua harus diputuskan dalam waktu yang cepat, sebelum kepercayaan rakyat benar-benar menghilang dan negara semakin terpuruk.
Mungkin kebijakan visa digratiskan sementara untuk memancing turis asing.
Mungkin kepemilikan properti tertentu bagi orang asing dimudahkan.
Mungkin mengawasi eksportir yang menahan devisa hasil ekspor di luar kebutuhannya.
Mungkin membuka mega proyek yang memakai modal asing.
Mungkin mempercepat status diaspora atau kebijakan dwi kewarganegaraan hingga bangsa Indonesia berpaspor luar negeri mudah membeli properti di Indonesia.
Usul-usul di atas mungkin terlalu sederhana, barangkali sudah terpikirkan atau malah terkesan ngawur bagi yang lebih faham ekonomi. Tapi bukan itu yang perlu digarisbawahi melainkan gentingnya membuat langkah-langkah luar biasa dari pemerintah untuk menyelamatkan rupiah kita.
Protes, kritik, saran langsung maupun di sosial media sudah banyak yang meneriakkan. Rasanya tak mungkin pemerintah sampai tak mendengar. Semoga mereka memahami dan bergerak, melakukan ikhtiar seperti yang menjadi harapan rakyat. Sementara saya juga masyarakat terus berjuang menggenggam rasa percaya dolar akan turun.
Semoga kepercayaan menjadi sugesti, doa yang direspons alam semesta dan diperkenankan Allah. Bukankah setelah manusia berikhtiar -sebagai syarat berubahnya nasib- Allah mengikuti prasangka hamba-Nya? (rol)
oleh: Asma Nadia