Saksi Sebut Kesalahan Administrasi
PEKANBARU (HR)-Saksi ahli bidang hukum administrasi negara, Dr Dian Puji N Simatupang, SH, MH, menyebutkan perkara yang terjadi di PT Bumi Laksamana Jaya merupakan 'salah kira' atau kesalahan administrasi.
Hal itu dilontarkannya saat dimintai keterangannya dalam sidang dugaan korupsi penyertaan modal Pemkab Bengkalis ke PT Bumi Laksamana Jaya (BLJ), di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru, Kamis (20/8).
Pernyataan itu disampaikannya ketika menjawab pertanyaan jaksa penuntut umum (JPU) Sahron Hasibuan. Ketika itu, Sahron memberikan ilustrasi terkait penyertaan modal dari pemerintah Saksi ke Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk membangun pembangkit listrik. Namun, oleh PLN mengalihkan dana tersebut untuk membeli sapi, cabai, dan lainnya yang tidak ada kaitannya dengan pembangkit listrik.
"Bagaimana pendapat ahli soal ilustrasi tersebut?," tanya Sahron. "Itu contoh yang ekstrem," jawab Dian yang juga merupakan akademisi Universitas Indonesia tersebut.
Lebih lanjut, Dian menyebutkan, jika hal itu memang terjadi, sementara pelaksanaan dari penyertaan itu disetujui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), maka hal itu merupakan kesalahan administrasi. "Itu salah kira. Termasuk kesalahan administrasi dan bukan ranah pidana," sebut Dian.
Jika ditemukan suatu dugaan kerugian negara dalam suatu operasional perusahaan negara atau daerah, lebih efektif menggunakan jalur penyelesaian secara administrasi, dengan berupaya mengembalikan kerugian negara.
"Efektifnya jangan menempuh ranah pidana, melainkan dengan penyelesaian administrasi. Biasanya, jika menemukan adanya penyimpangan, BPK (Badan Pemeriksa Keuangan, red) bisa memberikan waktu tertentu agar dilakukan pengembalian kerugian negara. Jika tidak ada tikad baik, Undang-Undang (UU) memperbolehkan menempuh ranah pidana," tegas Dian.
Dalam kesempatan tersebut, Dian juga menyebut kalau penyertaan modal dalam BUMD bukanlah termasuk ke dalam pos belanja. Melainkan pos pembiayaan yang terdiri dari penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan. "Pengeluaran pembiayaan dengan cara investasi permanen yang ditetapkan pemerintah daerah agar dapat kembali pada tahun-tahun selanjutnya," pungkas Dian.
Sementara itu, saksi ahli lainnya, Drs Dani Sudarsono Ak, menyebut kalau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tidak berwenang menerbitkan hitungan kerugian negara yang resmi, untuk dipergunakan sebagai pembuktian unsur kerugian negara dalam perkara korupsi.
"Sesuai Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 15 tahun 2004, dinyatakan BPK melaksanakan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara," terang mantan Deputi Kepala BPKP Bidang Pengawasan Pengeluaran Pusat dan Daerah, di hadapan majelis hakim yang diketuai Achmad Setyo Pudjoharsoyo.
Dalam kasus ini, unsur kerugian negara sebagaimana dalam dakwaan JPU yakni berdasarkan penghitungan BPKP, yaitu sebesar Rp268 miliar. Dimana data diperoleh auditor merupakan data yang disampaikan pihak penyidik.
"Untuk memperoleh keyakinan (kerugian negara) tersebut, secara profesional harus dilaksanakan tahapan pemeriksaan investigatif yang bertujuan mengungkap adanya kerugian negara," terang mantan Anggota Dewan Pengurus Nasional (DPN) Ikatan Akuntan Indonesia tersebut.
Menyikapi hal tersebut, JPU menerangkan penyertaan modal dalam kasus PT BLJ berdasarkan Perda Nomor 7 Tahun 2012. Di dalamnya disebutkan, penyertaan modal itu untuk pembangunan dua pembangkit listrik di Desa Buruk Bakul dan Desa Balai Pungut, Kabupaten Bengkalis. Namun kenyataannya, dialihkan dengan membentuk dua anak perusahaan, PT Riau Energi Tiga dan Sumatera Timur Energi.
"Belum tentu ada indikasi kerugian negara. Jika masih tersisa entitasnya, belum bisa dikatakan ada indikasi kerugian negara. Namun jika tidak tersisa, ya itu (uang) digelapkan," jawab Dani, menjawab pertanyaan anggota majelis hakim, M Suryadi.
Menurutnya, dalam penyertaan modal tidak serta merta langsung dapat dirasakan manfaatnya dalam satu hingga dua tahun ke depan. "Namun jika seandainya dirasa tidak mendatangkan hasil, semestinya kepala daerah harus mengkaji ulang kebijakannya (penyertaan modal,red)," tegas Dani.
Dalam perkara ini terdapat dua orang terdakwa, yakni Yusrizal Andayani, yang merupakan mantan Direktur PT BLJ, dan Ari Suryanto, yang merupakan mantan staf ahli Direktur di PT BLJ.
Sementara agenda sidang berikutnya, yakni mendengarkan keterangan saksi yang meringankan atau Ad Charge, yang dijadwalkan digelar pekan depan. (dod)