Januari 2015, “Kado” KPK untuk Jokowi

Januari 2015, “Kado” KPK untuk Jokowi



Oleh Wira Atma Hajri

Indonesia lagi-lagi dikejutkan pasca ditetapkannya calon orang nomor satu di tubuh Kepolisian Republik Indonesia (Polri) Komjen Polisi Budi Gunawan menjadi tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penetapan status ini tentunya menjadi “kado” pahit di awal tahun ini yang mungkin tak akan terlupakan oleh “sang presiden blusukan”, Joko Widodo atas pilihannya kepada Budi Gunawan itu. Meminjam bahasanya Prof. Satjipto Rahardjo, ini bagaikan petir di siang bolong.

Inkonsistensi Jokowi

Tak hanya pilihan Presiden Jokowi atas HM Prasetyo sebagai Jaksa Agung yang kemudian menimbulkan kontroversial, pilihan atas Budi Gunawan sebagai calon Kapolri tunggal juga begitu. Sebab Presiden Jokowi sudahlah tidak melibatkan dua institusi yang telah “terakreditasi”, yaitu KPK dan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK), namun sang presiden juga mengabaikan “suara-suara” dan “nyayian-nyayian” publik baik melalui pengamat terutama pengamat kepolisian dan pegiat anti korupsi misalkan Indonesian Corruption Watch (ICW).

Kendatipun merupakan hak prerogatif presiden akan hal itu, namun proses yang baik seharusnya pula dijalankan oleh Presiden Jokowi. Memang melibatkan DPR, namun ya lihatlah budi pekerti anggota-anggota DPR hari ini. Tak bisa berharap banyak kita.

Cara pengisian jabatan ini oleh Jokowi, sangatlah berbeda bilamana dibandingakan dengan pengisian jabatan yang lainnya baik Jokowi setelah menduduki jabatan presiden maupun sebelumnya yaitu ketika masih menjabat sebagai Gubernur Jakarta. Sebut saja untuk jabatan menteri-menteri. Di mana dalam hal ini Presiden Jokowi melibatkan KPK dan PPATK. Hal ini tentunya patut untuk kita apresiasi dan kita acungkan jempol. Sebab tidak ada kewajiban untuk itu. Terlebih lagi hal ini tak pernah dilakukan sama sekali oleh presiden sebelumnya. Cara seperti ini sungguh bijaksana untuk ditempuh dalam rangka mengetahui treck record dari calon-calon pembantu-pembantunya itu. Sambilan berharap jangan sampai membeli kucing dalam karung. Sebab negeri ini memang kaya dengan orang-orang pintar, namun miskin akan orang-orang yang baik. Mungkin agak sedikit berlebihan, kalau boleh saya katakan bahwa mestilah Presiden Jokowi sedikit “berburuk sangka” terhadap calon-calon pembantu-pembantunya itu.

Di samping pengisian jabatan menteri, juga menarik adalah pengisian jabatan hakim konstitusi untuk menggantikan Hamdan Zoelva. Tak hanya melibatkan KPK dan PPATK, tetapi juga panitia seleksi (pansel). Bahkan pansel juga membentuk pansel di dalam pansel dengan mendatangkan dua ahli di bidang agama dengan alasan mereka tidak mempunyai kemampuan yang mumpuni di bidang itu. Dan tak hanya sampai di situ, Presiden Jokowi juga mengakomodir calon-calon hakim konstitusi yang diusulkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Selain itu, tak kalah “terpujinya” sikap keterbukaan Jokowi dalam memilih pejabat adalah pada waktu menduduki posisi Gubernur Jakarta. Jabatan apa yang tak dilelang Jokowi. Tak hanya jabatan-jabatan yang tak strategis, jabatan yang strategis juga ikut dilelangnya. Mulai dari lelang jabatan kepala sekolah, lurah, camat, bahkan bupati/walikota di Jakartapun juga ikut dilelangnya. Harus diingat bahwa bupati/walikota di Jakarta bukanlah jabatan politis, tidak dipilih secara langsung oleh rakyat. Berbeda halnya dengan bupati/walikota di 33 provinsi lainnya di negeri ini.

Oleh karena itu, mencermati dinamika pejalanan Jokowi dalam mengisi pejabat publik sampai hari ini, dapat dinilai bahwa Jokowi tidak konsisten. Dan sulit juga untuk dibantah pandangan para pengamat yang berpandangan bahwa Jokowi belakangan ini lebih sering dan cenderung bagi-bagi jabatan. Bahkan juga “intervensi” dari seorang Megawati. Percaya atau tidaknya kita akan hal itu, namun lagi-lagi hal ini sulit untuk dibantah.

Kendatipun demikin perlu digarisbawahi bahwa tak ada soal juga kalau Pak Presiden memilih orang-orang terdekatnya dan orang-orang yang membuatnya nyaman. Sebab bagaimana pula bekerja dengan menjalankan program yang ada dengan orang-orang yang kita tidak nyaman dengan mereka. Namun lagi-lagi proses yang baik untuk rekruitmen pejabat seharusnya tidak dinapikan oleh Presiden Jokowi. Mestilah melibatkan KPK, PPATK, Pansel, LSM, dan masyarakat pada umumnya. Hal ini dimaksudkan agar “kado” KPK hari ini tidak lagi ditujukan ke Presiden Jokowi untuk masa-masa yang akan datang.

Mengambil Hikmah
Tak ada satupun peristiwa yang terjadi di muka bumi ini keculai ada hikmahnya. Begitu juga apa yang terjadi hari ini pasca ditetapkanya Budi Gunawan sebagai tersangka. Kendatipun penetapannya juga menuai kontroversi, namun paling tidak ini menjadi “teguran” bagi Presiden Jokowi. Mudah-mudahan “teguran” ini menjadi pembelajaran bahwa dalam hal memilih pejabat publik tidak serta merta merupakan persoalan hak perogatif. Namun mestilah Presiden Jokowi memfungsikan telinga lagi dengan baik seperti sedia kala terutama ketika menjabat Walikota Solo dan Gubernur Jakarta.

Kita punya dua telinga, dan satu mulut. Seharusnya kita lebih banyak mendengar ketimbang berbicara.  Telebih lagi yang diurus Pak Presiden Jokowi hari ini bukanlah “sekelas” Kota Solo, tetapi Indonesia, Indonesia, dan Indonesia.

Penulis adalah dosen Fakultas Hukum UIR.