Kemerdekaan dan Kebangkitan Sains

Kemerdekaan dan Kebangkitan Sains


Republik Indonesia kini sudah berumur 70 tahun. Bagi manusia, umur sekian bukanlah usia muda lagi karena sudah memasuki masa-masa uzur. Sebagai sebuah negara, umur 70 tahun juga meniscayakan kedewasaan mengingat turbulensi politik yang telah dilewati.
Bagi Indonesia, fase-fase kenegaraan juga sudah amat jamak dengan puncaknya adalah reformasi 1998 yang akhirnya menyadarkan rakyat akan kuasa kedaulatan yang dipunyainya.
Salah satu wujud keinsafan akan kedaulatan rakyat yang sesungguhnya menjadi modal pembangunan bangsa ke depan adalah berlimpahnya kekuatan sumber daya manusia yang sangat instrumental menghadapi keniscayaan era kesejagatan yang memang tak bisa ditolak lagi, semisal Masyarakat Ekonomi ASEAN (2015).
Terus terang, kekuatan republik ini yang sekarang tak boleh dianggap remeh adalah membeludaknya para saintis yang tersebar di pelbagai bidang dengan reputasi internasional yang serius. Kontribusi mereka bisa dilacak secara jelas terutama sejak berdirinya Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4) yang dideklarasikan sejak enam tahun silam, 5 Juli 2009.
Peringatan hari jadi bangsa ini seyogianya menjadikan keberadaan kalangan saintis-teknokratis ini sebagai momentum kebangunan sains di Indonesia. Organisasi Muhammadiyah, yang baru saja usai menyelenggarakan muktamar ke-47 di Makassar, bisa memerankan kepeloporan memberikan ruang artikulasi, eksistensi, dan ekspansi para saintis di negeri ini.
Dengan modal 155 perguruan tinggi—40 universitas, 88 sekolah tinggi, 23 akademi, 4 politeknik, serta 14 perguruan tinggi ‘Aisyiyah—Muhammadiyah bisa menyumbang bagi penguatan para saintis dan tradisi saintifik di Tanah Air.
Gerakan ini bisa dimulai dengan aktif mencetak perguruan tinggi berkualitas dengan menetapkan sejumlah universitas sebagai model universitas riset dengan keberpihakan anggaran yang serius. Lewat politik anggaran yang nyata, universitas riset ini bisa bekerja sama dengan Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4) untuk menampung diaspora Indonesia yang berkiprah di negara-negara asing tapi enggan pulang lantaran absennya jaminan karier dari pemerintah sendiri.
Tidak tertutup kemungkinan suatu saat perguruan tinggi Muhammadiyah, tentu dengan kerja sama dengan berbagai elemen bangsa yang lain, akan berdiri sejajar dengan kampus-kampus terbaik global yang mayoritas merupakan perguruan tinggi swasta yang didanai oleh masyarakat, bukan negara.
Partai Keadilan Sejahtera juga dikenal sebagai gudangnya para saintifis dan teknokrat. Lewat lembaga swadaya masyarakat yang dibentuknya, Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI)—yang didirikan oleh 150 doktor dan master pada 18 Januari 2004 dan sekarang ini memiliki anggota dengan kualifikasi doktor melebihi angka 300 orang organisasi yang bergerak di bidang iptek ini telah berperan aktif tanpa hiruk pikuk media untuk memberikan kontribusi maksimal guna mewujudkan Indonesia Madani yang berbasiskan pengetahuan. Kebangunan sains pada gilirannya akan melahirkan peradaban berbasis kemajuan iptek demi menjadikan bangsa ini mandiri dan sejahtera.
Kaum teknokrat fungsional mempercepat transformasi sosial yang diprakarsai para pengambil kebijakan. Merebaknya pikiran dan terobosan kontroversial yang disuarakan banyak pihak sesungguhnya amat berkorelasi linear dengan pendekatan antagonis yang digunakan, sesuatu yang amat dihindari oleh kalangan teknokrat. Bila pendekatan antagonis mencoba melihat orang lain lewat kaca mata "siapa musuh kita", pendekatan teknokratis bekerja berdasarkan prinsip "apa yang bisa kita lakukan segera".
Logika teknokratik mendorong orang untuk mencari solusi dari masalah terlepas apa pun ideologi seseorang. Pendekatan ini melihat orang lain sebagai mitra kerja dengan prinsip bekerja sama dalam hal-hal yang disepakati dan bertoleransi dalam hal yang diperselisihkan. Logika teknokratis berfungsi krusial mempercepat transformasi sosial karena hubungan sosial lebih dipandang sebagai kerja sama daripada kompetisi, praktikalitas alih-alih filosofi.
Dalam konteks pemahaman keagamaan, misalnya, para teknokrat memainkan peran penting dalam memperkaya pemahaman skriptural umat Islam dalam memahami teks-teks keagamaan. Interpretasi para ahli tafsir Alquran tentu lebih bersifat moralis dan normatif. Cara ini, bagaimanapun, tidak selalu memberikan pemahamaan yang tepat ketika berhubungan dengan kebutuhan menafsirkan teks-teks suci dengan isyarat-isyarat ilmiah yang kental.
Tafsiran saintifik dari ayat-ayat Alquran akan jauh lebih otoritatif tatkala ia dilakukan oleh mufasir dengan keterampilan atau pengetahuan tingkat tinggi menyangkut persoalan yang bersifat saintifik. Umat Islam Indonesia kini sangat membutuhkan para saintifis yang berkaliber, seperti Bruno Guiderdoni seorang Muslim dan ahli dalam astrofisika Prancis dalam upaya untuk memberikan pemahamaan dan kesadaran kepada umat Islam secara lebih mendalam menyangkut ayat-ayat ilmiah.
Hari Kemerdekaan tidak akan bermakna apa-apa bagi generasi sekarang tatkala nasionalisme tereduksi sekadar menjadi ritual tahunan pada 17 Agustus atau hanya menjadi bagian dari masa lalu (a thing of the past) lantaran kegagalan untuk berdiri di atas dua kaki sendiri serta kegagapan beradaptasi dengan dunia global yang niscaya berubah. Sudah saatnya rejuvenasi nasionalisme lewat penguatan kemandirian bangsa berbasiskan sains mengilhami esensi dari perayaan Hari Kemerdekaan ini. Merdeka!(rol)
(Oleh: Donny Syofyan) Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas