Keekonomian BBM Perlu Kepastian

Keekonomian BBM Perlu Kepastian


Pemerintah telah melakukan penghapusan subsidi Premium dengan mengalokasikan dana lebih besar untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan sektor sosial lainnya dalam pemerintahan Jokowi atau dikenal sebagai dana untuk pembangunan sektor produktif. Konsekuensinya, ada fluktuasi harga BBM yang harus dibeli masyarakat hingga dampak secara ekonomi yang dapat dirasakan sehari-hari.
Untuk menetapkan harga BBM pascapenghapusan Premium, telah diterbitkan Perpres No 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak. Dalam perpres itu, waktu penetapan harga BBM dapat dilakukan satu bulan sekali atau bila dianggap perlu lebih dari satu kali, dengan memperhitungkan perkembangan harga minyak, kurs, dan sektor rill.
Harga solar bersubsidi dan Premium penugasan nonsubsidi ditetapkan oleh pemerintah dan berubah setiap bulan mengikuti harga pasar. Sedangkan, harga Premium umum (nonsubsidi) ditetapkan badan usaha, yang harganya berubah setiap bulan mengikuti harga pasar dengan patokan margin 5-10 persen.
Implikasi kebijakan ini adalah persoalan harga BBM yang fluktuatif karena berkaitan dengan fluktuasi harga minyak, kurs rupiah atas dolar AS, belum lagi adanya berbagai kepentingan yang semakin membuat tidak stabilnya harga BBM sampai di tangan rakyat. Ketika harga minyak dunia menembus 50 dolar AS per barel, banyak kalangan yang meminta pemerintah menurunkan harga BBM, tapi tak berlaku sama ketika harga minyak dunia sempat naik. Padahal, penetapan harga tak bisa serta-merta, sebab BBM yang dikonsumsi masyarakat hari ini merupakan BBM yang diproduksi atau dibeli sekitar dua bulan lalu.
Mirisnya, ketika kebijakan harga keekonomian diambil, dari delapan kali penyesuaian harga keekonomian selama semester I 2015, justru tujuh kali pemerintah menetapkan harga BBM di bawah harga keekonomian. Jadi, hanya sekali penetapan harga BBM yang sesuai harga keekonomian, yakni pada 1 Februari 2014 sebesar Rp 6.700 untuk Premium, yang selisih Rp 300 dari harga proyeksi Rp 6.400.
Jika kondisi ini dibiarkan, di mana biaya produksi dan distribusi BBM akan lebih besar daripada harga jual, selain menyebabkan kerugian bagi Pertamina, juga secara langsung merugikan negara. Sebab, Pertamina memasukan pendapatan negara dari sektor migas yang besar. Dari sisi hukum, pelanggaran pada berbagai UU oleh pemerintah pun dilakukan, seperti UU Persaingan Usaha dan UU BUMN.
Kerugian Pertamina pada semester I 2015 yang mencapai Rp 12 triliun, berpotensi melanggar UU Persaingan Usaha karena menjual harga Premium di bawah harga wajar, yang dianggap dapat menghalangi sistem persaingan sehat. Dalam UU yang mengatur BUMN dinyatakan bahwa pemerintah tidak berhak ikut campur tangan jika aksi korporasi perseroan terkait barang nonsubsidi. Jika pemerintah mau mengatur BUMN harus memberi kompensasi termasuk margin yang diharapkan perseroan.
Implikasi dengan sampainya harga Premium pada harga keekonomian, maka jenis BBM Premium RON 88 bukan lagi sebagai produk subsidi. Oleh karena itu, badan usaha lain di luar Pertamina bisa menjual produk sejenis dengan spesifikasi tertentu. Pemerintah telah membuka pasar BBM wilayah Jawa, Madura, dan Bali ke pasar bebas.
Tentu saja badan usaha lain akan tertarik masuk ke wilayah ini karena pasar yang besar, lebih dari setengah kebutuhan total nasional didominasi pengguna BBM di ketiga wilayah ini. Bahkan, badan usaha lain pun akan memiliki peluang untuk bisa menjual BBM di luar ketiga wilayah tersebut.
Sudah bisa ditebak, harga jualnya akan semakin kompetitif. Ini terbukti dengan makin banyaknya jumlah SPBU asing, seperti Total dan Shell. Ke depan, kompetisi di bisnis ini akan semakin tajam dengan cukup banyak varian yang ditawarkan, seperti RON 88, RON 90, RON 91, dan RON 95.
Jika melihat struktur harga BBM Indonesia, sebenarnya sudah bisa dianggap kompetitif jika dibandingkan dengan negara lain, seperti Thailand, Malaysia, dan sebagainya. Alpha BBM solar bersubsidi hanya sekitar 16-17 persen hampir sama dengan alpha di Malaysia, yakni 18 persen. Sedangkan, Ghana mencapai 21 persen dan Thailand pada alpha 17,2 persen.
Demikian halnya dengan alpha untuk jenis Premium. Namun demikian, menilik ketatnya persaingan usaha di bisnis BBM, di mana dihadapkan pada kenyataan fluktuasi harga BBM yang justru membuat Pertamina masih menangguk sejumlah kerugian yang besar, semakin memberatkan beban BUMN ini.
Sebagai golden BUMN, yang menanggung begitu banyak kebutuhan negeri ini, semakin sulit BUMN berpelat merah ini meraih mimpi menjadi perusahaan berkelas dunia. Jangankan untuk ekspansi menguasai ladang minyak di luar negeri, menguasai pasar di negeri sendiri pun tampaknya ke depan menjadi kesulitan tersendiri.
Berdasarkan identifikasi implikasi harga keekonomian BBM yang berlaku saat ini, pemerintah hendaknya konsisten. Semestinya penetapan harga BBM yang tidak bersubsidi dilakukan secara objektif dan rasional. Pasokan BBM yang kontinu dan harga yang bisa dijangkau oleh masyarakat merupakan prioritas utama.
Implikasi dari kebijakan penetapan harga BBM senantiasa menjaga ekonomi masyarakat agar semakin meningkat. Rentang fluktuasi harga BBM semestinya tidak terlalu dekat karena memiliki banyak dampak pada kehidupan ekonomi masyarakat umum dan industri.
Penetapan harga keekonomian BBM per enam bulan berdasarkan data sebelumnya, akan lebih bijak. Pengelolaan harga BBM negeri ini bukan hanya menyoal fluktuasi harga pasar internasional, tetapi butuh kepastian. Penetapan harga keekonomian BBM sebagai salah satu faktor yang dapat menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Artinya, menentukan masa depan negeri ini.
Tetapkan saja harga keekonomian BBM jika bisa menghindarkan negeri ini dari kebangkrutan dan bisa menjaga pasokan BBM dengan kontinu, demi keberlangsungan hidup generasi.(rol)
(Oleh: Prima Mulyasari Agustini)Executive Director of Centre for Energy and Strategic Resources Indonesia