Catatan Inflasi Ramadan

Catatan Inflasi Ramadan


Ramadan telah usai. Euforia Lebaran dengan agenda mudik nasional juga telah berakhir. Kaum urban perlahan-lahan kembali menjejali perkotaan. Laju kehidupan kembali berputar “normal”. Namun, sebuah catatan kiranya penting diberikan tentang paradoks perekonomian yang terus berulang di tengah oase religiusitas bernama Ramadan, yakni inflasi.
Semestinya, Ramadan adalah bulan pengendalian diri. Tentu termasuk di dalamnya pengendalian konsumsi. Namun, fakta berkebalikan. Pertemuan momentum religi dengan tradisi budaya menjadikan Ramadan hajatan nasional. Gairah “perayaan” menumbuhkan potensi pasar. Permintaan barang dan jasa meningkat. Uang beredar lebih banyak dan cepat. Imbasnya, nilai riil uang merosot. Harga mayoritas barang dan jasa melonjak. Inflasi tak terhindari.
Statistik empat tahun terakhir mengkonfirmasi kebenaran pola tersebut. Pada 2011 dan 2012, inflasi menjelang Ramadan tercatat 0,67% dan 0,62%. Ketika Ramadan (Agustus 2011 dan Juli 2012) inflasi melonjak menjadi 0,93% dan 0,70%. Tahun 2013 merupakan pengecualian dimana lonjakan inflasi sangat fantastis dari 1,03% menjadi 3,29% dikarenakan momentum Ramadhan bertemu dengan kenaikan harga BBM yang diputuskan pemerintah sebulan sebelumnya. Pada 2014, inflasi Ramadhan (Juli 2014) sebesar 0,93%, jauh lebih tinggi dari inflasi sebulan sebelumnya yang tercatat 0,43%.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan kecenderungan pola ini kembali berulang. Realisasi inflasi Mei 2015, secara bulanan tecatat 0,50%. Sedangkan secara tahunan mencapai 7,15%. Pada Juni 2015, atau hampir dua minggu Ramadhan berjalan, inflasi bulanan tercatat sebesar 0,54%, sedangkan secara tahunan sebesar 7,26%. Peningkatan tipis ini juga terjadi sepanjang Juli 2015.
Fakta ini memperlihatkan dua hal. Pertama, inflasi musiman sepanjang Ramadan disusul Lebaran hampir tak mungkin dihindari. Bahkan cenderung menjadi keniscayaan. Kedua, pemerintah pada Ramadan dan Lebaran tahun ini ternyata mampu menekan inflasi ke titik yang sangat rendah. Dengan kata lain, pemerintah mampu mengendalikan sehingga tidak memberatkan masyarakat.
Catatan ini merupakan prestasi, mengingat kompleksitas persoalan perekonomian yang harus dihadapi pemerintah sudah terlalu rumit. Kelesuan ekonomi global dan tekanan- tekanan eksternal terbukti membuat perekonomian rentan. Berlarutnya masalah utang Yunani menyebabkan ketidakpastian ekonomi kawasan Euro. Disusul ancaman krisis ekonomi Tiongkok, membuat potensi untuk memacu pertumbuhan ekonomi menjadi tersendat. Gejolak kecil, termasuk di dalamnya sebagai akibat inflasi Ramadan niscaya harus dihindari. Dan sekali lagi, pemerintah terbukti berhasil mewujudkannya.
Dalam ilmu ekonomi, secara garis besar dikenal dua jenis inflasi. Yang pertama adalah cost push inflation, yakni inflasi yang disebabkan oleh kenaikan biaya. Cost push inflation terjadi terutama sebagai imbas kebijakan pemerintah. Sebagai contoh, kebijakan pengurangan subsidi energi dengan menaikkan harga BBM. Kenaikan harga BBM menyebabkan biaya produksi naik. Efek karambol terjadi dimana harga barang dan jasa turut naik secara merata.
Kedua adalah demand pull inflation, yaitu inflasi yang disebabkan oleh peningkatan permintaan dalam waktu tertentu tanpa disertai peningkatan penawaran yang memadai. Inflasi jenis ini murni akibat terganggunya keseimbangan pasar. Di saat permintaan meningkat, penawaran justru stagnan atau bahkan berkurang. Harga-harga kemudian melonjak.
Inflasi Ramadan tergolong inflasi jenis kedua. Permintaan barang dan jasa meningkat sejak menjelang Ramadan sampai setidaknya sepuluh hari setelah Lebaran. BPS mencatat peningkatan permintaan secara rata-rata terutama didominasi oleh barang kebutuhan pokok seperti beras, aneka daging, dan aneka bumbu. Peningkatan permintaan didorong oleh kecenderungan budaya konsumtif sesaat sebagai bagian dari semangat perayaan. Hal ini sesuai dengan teori Kotler (1995), bahwa perilaku pembelian konsumen dipengaruhi oleh faktor-faktor budaya, sosial, pribadi, dan psikologis. Semangat perayaan Ramadan merangkum empat faktor yang disebutkan Kotler.
Di luar itu, mekanisme ekonomi yang terbangun dalam sistem bernegara dan bermasyarakat juga memungkinkan terjadinya inflasi Ramadhan. Kewajiban konstitutif pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) kepada tenaga kerja dan masifnya kiriman uang dari tenaga kerja di luar negeri menyebabkan jumlah uang yang beredar di masyarakat meningkat. Semakin banyak uang beredar akibatnya semakin turun nilai riil uang. Harga yang oleh mekanisme pasar telah naik menjadi makin terasa memberatkan karena nilai riil uang turun. Catatan BI untuk Ramadan dan Lebaran tahun lalu perputaran uang beredar mencapai lebih Rp. 118 triliun atau meningkat sekitar 14% dibanding tahun 2013. Untuk tahun ini, peningkatan uang beredar makin bertambah mengingat pemerintah memprogramkan pencairan gaji ke-13 PNS/TNI/Polri dan pensiunan dilaksanakan di awal Ramadan.
Mengingat karakteristik demand pull inflation, kenaikan harga tidak terjadi jika peningkatan permintaan disertai dengan peningkatan penawaran atau jumlah barang beredar. Di sinilah peran pemerintah tahun ini lebih terlihat. Pemerintah lebih sistematis menjaga struktur distribusi. Bila terjadi kemacetan, atau mata rantai distribusi yang kelewat panjang, pemerintah bisa mengaktifkan semua instrumen untuk bertindak. Pemerintah sedari awal juga menekankan perlunya peningkatan kualitas infrastruktur, baik pembangunan baru maupun perbaikan dan pemeliharaan. Hal ini menjamin proses pengangkutan tanpa gangguan.
Desentralisasi pemerintahan memungkinkan masing-masing kepala daerah lebih aktif menjaga perekonomian masing-masing daerah dari ancaman inflasi. Fungsi ini dijalankan oleh Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) yang kemudian bersinergi antardaerah untuk mengefektifkan sistem deteksi harga dan memperlancar jalur pasokan. Desentralisasi penanganan inflasi adalah langkah tepat mengingat karakter inflasi di masing-masing daerah tak seragam.
Hal inilah yang menjadi kunci inflasi Ramadhan tahun ini dapat lebih dikendalikan. Inflasi Ramadhan sebagai inflasi musiman memang hampir tak mungkin dihilangkan. Namun, dengan berhasil dikendalikan maka beban masyarakat terutama yang secara teoritis menjadi penanggung terberat inflasi, yaitu golongan berpendapatan tetap dan kaum penganggur yang tidak memiliki pendapatan, setidaknya dapat diringankan.(kkg)

(Oleh: Hendi Kristiantoro)Pegawai Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara Kemenkeu RI