Pembenahan di Udara
Oleh Yaddi Supriyadi
Menteri perhubungan ambil tindakan. Beberapa pejabat di otoritas bandara, AirNav dan Bandara Juanda dinonaktifkan dan dimutasi. Tarif dasar tiket pesawat dinaikkan. Izin terbang dievaluasi. Keputusan yang bersifat taktis. Mengundang pro dan kontra.
Menteri perhubungan memang harus mengambil tindakan, harus membuat keputusan-keputusan untuk meningkatkan pelayanan perhubungan udara, membenahi Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Tetapi bukan keputusan-keputusan yang bersifat taktis belaka. Menteri harus juga melakukan gebrakan mengambill keputusan yang bersifat strategis. Apa itu?
UUP
ICAO telah memutuskan tiga pendekatan untuk meningkatkan keselamatan penerbangan masa kini dan masa depan, yaitu pendekatan reaktif, proaktif dan prediktif. Untuk pendekatan reaktif, kita sudah punya KNKT yang sudah mampu bekerja profesional. KNKT mampu menghasilkan kesimpulan dan rekomendasi dari setiap kecelakaan dan serius insiden yang terjadi dalam penerbangan Indonesia. Yang harus dilakukan menteri perhubungan dalam pendekatan reaktif ini adalah memastikan pelaksanaan rekomendasi KNKT oleh lembaga atau perusahaan terkait. Harus ada mekanisme pengawasan pelaksanaan rekomendasi KNKT. Jangan sampai rekomendasi KNKT hanya jadi arsip di website belaka.
Untuk pendekatan proaktif dan prediktif, menteri perhubungan harus mengambil keputusan strategis merombak struktur organisasi Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Struktur organisasi Direktorat Jenderal Perhubungan Udara tidak sesuai dengan tuntutan kebijakan internasional ICAO dan kebijakan nasional yang tertulis dalam UU No 1 tentang Penerbangan (UUP 2009).
UUP 2009 merupakan kebijakan nasional yang menggantikan UUP 1992. Dari perspektif Manajemen Strategis, ketika kebijakan suatu lembaga atau perusahaan berubah signifikan, maka harus segera diiringi dengan perubahan dalam struktur organisasi dan alokasi sumber daya. UUP 2009 termasuk UU yang sangat maju karena paradigma-paradigma ilmiah penerbangan yang dijadikan landasan kebijakan internasional ICAO telah masuk dalam UU tersebut. Perlu perubahan struktur organisasi Direktorat Jenderal Perhubungan Udara.
CAP
Salah satu peran yang dilakukan ICAO dalam meningkatkan keselamatan penerbangan di seluruh dunia adalah melaksanakan Universal Safety Oversight Audit Program (USOAP). Dari audit tersebut ICAO menemukan ketidakpatuhan negara terhadap kebijakan (regulasi) standar ICAO dalam delapan aspek atau elemen yang kritis dalam penerbangan. Dalam USOAP tahun 2007 di Indonesia ditemukan 121 ketidakpatuhan dan pada USOAP tahun 2014 Indonesia masih di bawah rata-rata kepatuhan dunia.
Yang harus dilakukan oleh menteri perhubungan adalah memastikan bahwa Direktorat Jenderal Perhubungan Udara telah membuat Corrective Action Plan (CAP) dengan benar dan dilaksanakan baik untuk yang bersifat jangka pendek, menengah, maupun panjang. Untuk itu maka perlu perbaikan struktur organisasi Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Bila Inggris sebagai negara maju dalam menghadapi dan melaksanakan USOAP tahun 2006 telah membentuk unit baru MITC (Manager for International Coordination), mengapa kita tidak melakukan hal serupa?
Pola Wilayah
Pembenahan struktur organisasi bukan hanya untuk kantor pusat Direktorat Jenderal Perhubungan Udara tetapi juga harus meliputi juga struktur organisasi di daerah. Ruang udara Indonesia sangat luas, setara London-Teheran dengan ratusan bandara di daratan. Dari sisi rentang kendali jelas memerlukan regionalisasi. Amerika Serikat dan Australia pun mempergunakan pola wilayah. Dalam pemberian pelayanan perhubungan udara Indonesia harus dibagi menjadi beberapa wilayah administratif penerbangan.
Dulu, founding fathers Perhubungan Udara membentuk enam Kantor Wilayah Perhubungan Udara (KWPU). KWPU tersebut dibubarkan dan dilebur menjadi KW Dephub di tiap provinsi, sekarang Dinas Perhubungan, yang tentunya berada dan bertanggung jawab kepada pemerintah daerah.
Menteri perhubungan harus berani mengembalikan pola wilayah yang diciptakan founding fathers dan dibubarkan oleh menteri perhubungan pada tahun 1990-an. Bentuk kembali KWPU, berikan kewenangan yang jelas dalam pembinaan dan pengawasan sehingga fungsi Direktorat Jenderal Perhubungan Udara di pusat benar-benar hanya sebagai regulator. Tarik kembali tanah dan bangunan milik KWPU yang diserahkan ke PT Angkasa Pura I dan II untuk dijadikan kantor dan perumahan karyawan KWPU. Kendala yuridis adalah bahwa dalam UUP 2009 tidak dikenal KWPU, tetapi Otoritas Bandar Udara.
Airnav di Indonesia
Mengatasi kemelut kepadatan lalu lintas udara di Eropa pada tahun 1980-an, Eropa dan ICAO membuat program penanggulangan. Eurocontrol membuat konsep ATFMU dan kawasan integrasi FIRs, ICAO mencetak konsep yang lebih luas lagi dalam upaya mengatasi penuh sesaknya ruang udara Eropa, yaitu konsep FEATS (Future European Air Traffic System). Bila ATFMU berorientasi mengatur (to adjust) permintaan-permintaan penggunaan ruang udara, maka FEATS berorientasi (to cope) peningkatan penggunaaan ruang udara, baik pada dekade akhir 1990 maupun dekade setelah tahun 2000.
Menteri perhubungan harus memastikan bahwa AirNav Indonesia, melalui konsultan andal internasional, membuat dan memiliki konsep masa depan ATS Indonesia. AirNav harus menyusun program jangka panjang FIATS (Future Indonesian Air Traffic Services) hingga tahun 2030 atau dengan istilah masa kini NIATS (Nextgen Indonesian Air Traffic Services). Konsep ini harus selaras dengan sistem pelayanan lalu lintas udara di Singapura (LORADS 3) dan di Australia (TAAATS). ICAO telah mengingatkan dalam era CNS/ATM berbasis satelit negara akan jadi korban pertarungan pabrikan fasilitas CNSATM. AirNav harus dijaga tidak jadi korban pabrikan yang berbeda dan menimbulkan kesulitan integrasi pelayanan lalu lintas udara.
Bila menteri perhubungan dapat melakukan gebrakan dengan keputusan-keputusan bersifat strategis seperti diuraikan di atas, maka, Insya Allah, keputusan-keputusan tersebut akan dapat meyakinkan ICAO bahwa Indonesia mampu melaksanakan tiga pendekatan yang dicanangkan ICAO dalam meningkatkan keselamatan penerbangan, yaitu pendekatan reaktif, proaktif, dan prediktif. Semoga. (rol)
Penulis adalah dosen Jurusan Keselamatan Penerbangan STPI.