Korban Perampokan Akhirnya Meninggal
RENGAT(HR)- SU (47) korban perampokan yang terjadi di Desa Sibabat, Kecamatan Seberida, Kabupaten Indragiri Hulu, akhirnya meninggal dunia di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru, Kamis (9/7) sekira pukul 07.00 WIB dengan peluru masih bersarang di tubuh.
Menanggapi masalah ini, Kapolres Inhu AKBP Ari Wibowo, menyatakan tidak ada prosedur yang harus dilalui lagi. Korban sudah kritis, kenapa harus ada prosedur lagi, harusnya selamatkan terlebih dahulu nyawa orang, baru bicara prosedur. "Tidak ada SOP seperti itu, RSUD itu yang tidak becus.
Itu kondisi korban kritis, jangan menunggu apa-apa lagi, harusnya langsung dioperasi, apalagi korban membawa surat rujukan dari RSUD Indrasari Rengat yang juga sudah kita rekomendasikan," ujar Kapolres.
Terkait pendamping dari Kepolisian, Kapolres mengakui seharusnya ada, namun hal ini sudah dikomunikasikan dengan RSUD Indrasari Rengat, agar terlebih dahulu menangani korban tersebut sampai tuntas dan itu sudah mereka lakukan, sementara polisi masih melakukan pengejaran terhadap pelaku.
Kerabat korban, AR menyebutkan, RSUD Arifin Achmad lambat melakukan operasi pengambilan peluru. "Korban dirujuk dari RSUD Indrasari Rengat, Rabu (8/7), hingga Kamis belum dilakukan operasi pengambilan peluru, alasannya belum ada izin dari pihak kepolisian, masa harus nunggu izin polisi," sebutnya. Dikatakan, keluarga terus mendesak rumah sakit segera melakukan operasi mengeluarkan peluru dari jasad korban. Namun, meski korban sudah meninggal dunia, pihak rumah sakit masih juga menunda operasi pengeluaran peluru tersebut.
Ada Prosedur
Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Riau Andra, mengatakan, dalam operasi terhadap pasien seperti ini memang ada prosedur dan tak bisa langsung dilakukan. "Ada tahapannya, barangkali pihak rumah sakit bisanya siang, harus melalui proses terlebih dahulu," ujarnya.
Terkait korban meninggal dunia di RSUD lantaran karena tidak dilakukan operasi, Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Nuzelli, angkat bicara. "Dokter tidak bisa sembarangan mengoperasi, hal itu bisa dilakukan berdasarkan kondisi klinis yang dialami pasien. Timbul pertanyaan, apakah bila peluru terdapat didalam tubuh manusia, menimbulkan kematian? Kan tidak juga. Pasien dalam kasus ini tidak menunjukkan kondisi gawat darurat. Karena itu dokter hanya mengambil tindakan ringan atau konservatif. Bila pasien mengalami pendarahan atau luka tentu saja akan dilakukan observatif dengan cara transfusi darah dan mencari sumber dari mana asalnya," katanya, Kamis (9/7).
Saat disinggung mengenai nyawa pasien, Nuzelli menerangkan, secara observasi pasien memiliki HB 13. Dengan observasi yang ada, tiba- tiba kondisi pasien menurun, dokterp un mencari penyebab terjadi, yakni kembali memeriksa HB pasien yang diketahui masih dalam tingkat normal. "Banyak pertanyaan yang mengatakan, kenapa dalam permasalahan ini, pihak RSUD tidak mengambil tindakan, sekali lagi saya jelaskan bahwa, tidak ada indikasi untuk melakukan tindakan. Dokter mengobok-obok perut orang, pakai sumpah itu kan, jadi dalam melakukan tindakan harus ada indikasi. Dengan keilmuan yang cukup dimiliki, dokter dalam hal ini tidak punya keharusan untuk mengoperasi," katanya.
Memang kalau dipandang secara mata awam, bila korban tembak segera diambil pelurunya ia dipastikan akan hidup. Namun sebenarnya secara kedokteran tidak demikian, dan pandangan seperti itulah yang harus dirubah. Secara klinis ada SOP yang harus diikuti oleh dokter. Namun dimata awam sekarang ini, seolah- olah dengan tidak dioperasinya pasien menjadi penyebab kematian. Sebenarnya bukan pandangan itu yang menjadi indikatornya, melainkan dokter akan melakukan tindakan dengan indikasi emergencinya.
Sementara itu, Kisman Harahap, Dokter Spesialis Bedah RSUD menyatakan, korban termasuk dalam kategori pasien gawat tidak darurat. Ia menyebutkan, kejadiannya baru dengan luka tembus tapi tidak darurat, sehingga tidak ada indikasi untuk operasi. Hal itu bisa dilakukan kalau pasien pendarahan sampai dalam kondisi tidak stabil. (eka/her)