MK Restui Politik Dinasti
JAKARTA (HR)-Gonjang-ganjing seputar larangan terhadap keluarga petahana mengikuti Pemilihan Kepala Daerah serentak, memasuki babak baru. Hal itu setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan keluarga petahana (incumbent, red) boleh mengikuti ajang politik lima tahunan tersebut.
Sebagian kalangan menilai, kebijakan itu sebagai bentuk restu terhadap berjalannya politik dinasti.
Tidak hanya itu, Pegawai Negeri Sipil (PNS) juga dibolehkan ikut dalam proses pencalonan kepala daerah. Namun bagi PNS yang mengikuti proses ini, diharuskan nonaktif dari jabatannya. Setelah ditetapkan sebagai kepala daerah, PNS itu baru berhenti secara tetap.
Aturan serupa juga berlaku bagi anggota DPR dan DPRD yang berniat ikut dalam bersaing dalam Pilkada. Mereka juga diharuskan mundur dari jabatannya jika terdaftar sebagai peserta Pilkada.
Keputusan itu dikeluarkan MK setelah menerima gugatan Adnan Purichta Ichsan.Dalam putusannya, MK menghapus pasal pembatasan larangan keluarga petahana atau politik dinasti dalam UU Pilkada tahun 2015.
Saat membacakan amar putusannya, Ketua MK, Arief Hidayat, mengatakan, pasal 7 huruf r dalam UU Pilkada bertentangan dengan dengan UUD 1945.
"Pasal 7 huruf r soal syarat pencalonan bertentangan dengan Pasal 28 i ayat 2 yang bebas diskriminatif serta bertentangan dengan hak konstitusinal dan hak untuk dipilih dalam pemerintahan," ujarnya di Gedung MK, Rabu (8/7).
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan tidak menafikan kenyataan di mana kepala daerah petahana (incumbent, red) memiliki berbagai keuntungan, sebagaimana dikemukakan oleh Presiden. Sehingga karenanya penting untuk dirumuskan pembatasan-pembatasan agar keuntungan-keuntungan itu tidak disalahgunakan kepala daerah petahana untuk kepentingan dirinya, jika yang bersangkutan hendak mencalonkan diri kembali. Termasuk anggota keluarganya, kerabatnya, atau kelompok-kelompok tertentu yang dekat dengannya.
"Namun, pembatasan demikian haruslah ditujukan kepada kepala daerah petahana itu, bukan kepada keluarganya, kerabatnya, atau kelompok-kelompok tertentu tersebut," ujar majelis hakim.
Sebab, MK melihat, keuntungan-keuntungan itu hanya melekat pada si kepala daerah petahana saja, sehingga kemungkinan penyalahgunaannya juga hanya melekat pada si kepala daerah petahana.
Sedangkan bagi keluarga petahana atau kelompok-kelompok tertentu, hanya mungkin diuntungkan jika ada peran atau keterlibatan kepala daerah petahana. Terlepas keterlibatan itu secara langsung atau tidak langsung.
"Terhadap kemungkinan-kemungkinan yang demikian itulah seharusnya pembatasan-pembatasan terhadap kepala daerah petahana dirumuskan dalam norma UU," ujar majelis.
Sementara itu, Irmanputra Sidin selaku kuasa hukum A Irwan Hamid yang juga ipar petahana Kabupaten Pinrang, Sulsel, dalam siaran persnya mengatakan, ketentuan politik dinasti yang dinyatakan inkonstitusional adalah terkait ketentuan yang melarang warga negara menjadi calon kepala daerah karena statusnya memiliki hubungan yang memiliki konflik kepentingan dengan petahana.
"Yang dimaksud memiliki konflik kepentingan adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda satu kali masa jabatan," katanya.
Dengan putusan ini, imbuh Irman, maka tidak ada alasan lagi bagi penyelenggara Pilkada untuk menolak bagi siapa pun ipar petahana termasuk hubungan kekerabatan lainnya untuk dapat menjadi calon kepala daerah.
"Putusan ini juga sudah otomatis menjadi koreksi konstitusional terhadap UU Pilkada tersebut yang berlaku serta merta," pungkasnya.
Tidak hanya bagi keluarga petahana, MK juga merestui PNS yang ikut dalam ajang Pilkada. Namun yang bersangkutan harus nonaktif dari jabatannya. Setelah ditetapkan sebagai kepala daerah, PNS itu baru berhenti secara tetap.
Dalam sidang terbuka kemarin, Arief Hidayat memaparkan kondisi PNS saat ini, yang harus menyatakan pengunduran dirinya secara tertulis saat mendapat mendaftar sebagai calon peserta Pilkada.
Dikatakan Arief, bila syarat pengunduran diri PNS tersebut dimaknai seperti yang tertulis dalam ketentuan UU Aparatur Sipil Negara (ASN), maka seorang PNS akan segera kehilangan statusnya sebagai PNS begitu ia mendaftar sebagai pejabat publik yang mekanisme pengisiannya dilakukan melalui pemilihan.
"Pemaknaan atau penafsiran demikian memang telah memberi kepastian hukum namun mengabaikan aspek keadilan," papar Arief Hidayat.
Dengan kata lain, pemaknaan demikian hanyalah memenuhi sebagian dari jaminan hak konstitusional yang dinyatakan dalam Pasal 28D ayat 1 UUD 1945, yaitu hanya aspek kepastian hukumnya. Padahal, Pasal 28 D ayat 1 UUD 1945 tegas menyatakan bahwa hak dimaksud bukanlah sekadar hak atas kepastian hukum melainkan hak atas kepastian hukum yang adil.
Sedangkan bagi anggota DPR, DPD maupun DPRD yang mencalonkan diri dalam Pilkada, MK mengharuskan mereka membuat surat pengunduran diri dan mundur dari jabatannya saat resmi ditetapkan sebagai calon.
"Apabila telah ditetapkan secara resmi oleh penyelenggara pemilihan sebagai calon dalam jabatan publik atau jabatan politik yang mekanismenya dilakukan melalui pemilihan, maka yang bersangkutan membuat surat penyataan pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali,” kata Hakim Wahihudin Adam S.
Selama ini, jelas Wahihudin, dalam Pasal 7 huruf s dan d Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, anggota DPR, DPD dan DPRD yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah tidak perlu mundur. Mereka hanya dipersyaratkan memberitahukan kepada pimpinan.
Namun, syarat itu tak berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Mereka diharuskan mundur dari jabatannya sejak jadi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Majelis Hakim Konstitusi menilai, seharusnya syarat ini tak hanya berlaku bagi PNS. Anggota DPR, DPD maupun DPRD juga harus mundur, hal ini semata biar terjadi keadilan.
Keputusan MK terkait keluarga petahana tersebut, sontak mengundang pro dan kontrak dari sejumlah pihak. Menurut pengamat politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio, putusan MK seolah merestui politik dinasti dan menghambat regenerasi kepemimpinan nasional.
Keputusan MK itu juga dinilai akan politik dinasti jadi bertambah subur. Sementara saat ini politik dinasti sedang gencar-gencarnya diperangi seluruh rakyat Indonesia. "Menghilangkan kesempatan tokoh renegerasi baru yang mumpuni," kritiknya.
Pihaknya meyakini, setelah putusan MK tersebut, akan banyak politik dinasti mendominasi di Pilkada serentak Desember mendatang. Dengan demikian bakal lahir banyak raja-raja kecil yang tidak punya kapasitas namun terpilih jadi kepala daerah karena kekuasaan dinasti politik keluarganya.
Namun mantan Ketua MK Mahfud MD mendukung putusan tersebut. Ia menilai, putusan MK tersebut sudah tepat, karena memang seharusnya keluarga pejabat itu tidak boleh dilarang untuk menjadi calon kepala daerah. Karena, menurut Mahfud, bisa jadi anggota keluarga pejabat itu memang benar memiliki kapasitas yang unggul.
"Belum tentu juga dia didukung oleh kerabat, bisa jadi dia saudara tapi dia ingin mengganti kakaknya karena kakaknya dianggap kurang baik itu bisa juga. Maka tidak boleh ada larangan itu dan MK sudah benar memutus itu," ujarnya.
Mahfud juga menegaskan, di dalam Undang-undang diitegaskan bahwa setiap orang berhak untuk maju sebagai calon kepala daerah. Untuk itu, diperlukan Peraturan Pemerintah (PP) lebih lanjut untuk mengawal kebijakan tersebut.
Sedangkan Menkum HAM Yasonna Laoly meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) segera menyesuaikan putusan MK tersebut dengan peraturan Pilkada.
"Terpaksa KPU harus membuat PKPU yang baru. (PKPU) soal petahana dan garis kerabatnya, kemarin kan dilarang jadi sekarang dibukalah. Ya kita tidak boleh protes, apa boleh buat tapi walau pun waktu saya ikut di dalamnya sudah kita pertimbangkan dari segala aspek sebetulnya. Tapi itu hak asasi manusia, MK memang the guardian of the constitution," ujarnya. (bbs, dtc, mtv, ral, sis)