Kontroversi Dana Aspirasi
Bagai tidak mengenal lelah untuk mencari celah politik, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali mengorak langkah pasti dengan mensahkan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (P2DP) atau dana aspirasi. Tak tanggung-tanggung, angkanya mencecah Rp11,2 triliun, dengan asumsi setiap anggota DPR memperoleh 20 miliar setiap tahunnya. Kebijakan ini memantik kritik publik, termasuk Presiden Jokowi.
Langkah DPR yang tidak menghiraukan kegelisahan publik semakin menambah empati terhadap citra DPR. Cap masyarakat sebagai lembaga yang terkorup semakin menjadi-jadi pasca dana aspirasi disahkan. Sejatinya dewan yang terhormat bisa mengambil langkah yang lain agar marwah kembali terjaga dan simpati publik semakin tumbuh.
Getol dan ngototnya DPR memperjuangkan dana aspirasi memunculkan spekulasi? Benarkah dana aspirasi sebagai wujud nyata keberpihakan wakil terhadap rakyatnya? Atau jangan-jangan menjadi bancakan baru bagi DPR untuk mengakali uang negara dengan mengatasnamakan aspirasi. Ada beberapa hal yang menyebabkan kontroversi sehingga publik tidak setuju dengan dana aspirasi.
Pertama, bertentangan dengan UUD 1945. Dalam pasal 20A dijelaskan bahwa tugas dan fungsi DPR adalah legislasi, pengawasan dan budgeting (anggaran). Dengan mensahkan dana aspirasi, DPR menambah fungsinya sebagai pengguna anggaran. Artinya DPR bertindak wasit sekaligus pemain, dan ini jelas menyalahi UUD. Walaupun DPR mengajukan argumentasi bahwa tindakan mensahkan dana aspirasi sebagai bentuk kepatuhan terhadap UU MD3 dan penggunaanya akan diawasi oleh BPK. Namun publik melihatnya sebagai alasan pembelaan. Apalagi keberadaannya menimbulkan overlapping dengan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharan Negara serta UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Kedua, munculnya kecemburuan daerah-daerah di luar pulau Jawa. Padahal salah satu tujuan pembangunan Indonesia adalah pemerataan. Publik sudah tahu secara terang benderang bagaimana pincangnya pemerataan di Indonesia. Ditambah lagi dana aspirasi diberikan kepada setiap anggota DPR. Artinya Pulau Jawa akan memperoleh alokasi terbanyak. Estimasi alokasinya,dengan 306 kursi, Pulau Jawa menerima 6,1 triliun, Sumatera 120 kursi memperoleh 2,4 triliun, Kalimantan 35 kursi mendapat 700 miliar, Bali/NTB/NTT 32 kursi memperoleh 640 miliar, Sulawesi 47 kursi memperoleh 940 miliar, Maluku 7 kursi mendapat 140 milyar dan Papua dengan 13 kursi mendapat 260 miliar. Sebuah ketimpangan terjadi secara besar dengan daerah-daerah lain yang seharusnya mendapat porsi besar pembangunan.
Ketiga, terbukanya peluang korupsi. Walau DPR mengatakan bahwa dana dikelolapemerintah daerah dan mereka hanya sebagai pengusul, tetap saja dana aspirasi membuka celah korupsi. Bisa saja DPR membentuk perusahaan sendiri atau menunjuk rekanannya untuk mengerjakan proyek pembangunan di daerah. Terjeratnya beberapa anggota DPR oleh KPK dan aparat hukum lainnya, banyak disebabkan keterlibatannya diluar tugas sebagai anggota DPR. Seperti memberi rekomendasi kepada oknum pemerintah agar meluluskan perusahaan-perusahaan tertentu dalam mengerjakan proyek. Atau minimal mereka menerima komisi dari lembaga atau perusahaan yang mereka bantu.
Keempat, upaya melanggengkan kekuasaan. Pola dana aspirasi ini sesungguhnya telah dilakukan di Amerika, yang dikenal dengan istilah pork-barrel politics atau politik gentong babi. Yakni penggunaan dana untuk pembangun di daerah konstituen anggota parleman.Implementasinya banyak anggota senat Amerika menggunakannya untuk politik beli suara rakyat (vote buying politics). Sama halnya nanti di Indonesia, lahan subur jual beli suara akan tumbuh bak cendawan dimusim hujan. Apalagi dana aspirasi merupakan keputusan politik, yang sudah tentu mempunyai kepentingan politik. Hilang sudah idealisme rakyat akan demokrasi yang sejati. Yang terpilih nanti diprediksi siapa yang mau membayar lebih. Artinya peluang incumbent dengan dana aspirasi semakin terbuka lebar. Dan ironinya, kemunculan tokoh-tokoh berkualitas akan terhambat, sebab mereka belum memiliki saham kepada rakyat dan untuk membalikkan pilihan rakyat memerlukan investasi yang banyak dan itu sangat sulit.
Sesungguhnya dana aspirasi terdengar indah ditelinga tapi megap-megap di dada. Rakyat khawatir nama mereka kembali dibajak atas nama demokrasi dan aspirasi. implementasi di lapangan kembali dipenuhi liku-liku dan laku politik yang penuh intrik. Padahal untuk menyerap aspirasi DPR bisa kembali menata fungsinya aslinya.Bukankah mereka wakil rakyat yang seharusnya mendengar keluhan dan kebutuhan rakyat. Bukankah lewat fungsi yang melekat, anggota DPR bisa merancang anggaran bersama pemerintah untuk rakyat.
Tujuan baik dan mulia untuk menyerap aspirasi seharusnya dilakukan dengan cara yang baik dan sesuai dengan aturan. Bukan dengan cara-cara membuat aturan untuk melegalkan, atau menafsirkan aturan secara sendiri. Alhasil, muncul apa yang dikatakan Prof. Saldi Isra sebagai sesat tafsir terhadap fungsi anggaran yang diatur dalam UUD 1945. Wallahu’alam.***
(Oleh: Suhardi ) Pemerhati sosial politik.