Vatikan Teken Perjanjian Bersejarah dengan Palestina
VATIKAN (HR)-Untuk pertama kalinya, Vatikan menandatangani perjanjian bersejarah dengan Palestina. Hal itu setelah Menteri Luar Negeri Vatikan Paul Gallagher dan Menlu Palestina, Riad al-Malki, menandatangani traktat yang mengatur keberadaan dan aktivitas Gereja Katolik di wilayah Palestina.
Perjanjian ini merupakan yang pertama sejak Vatikan mengakui negara Palestina pada Februari 2013 lalu. Vatikan mengaku Palestina sebagai negara merdeka, menyusul keputusan Majelis Umum PBB pada November 2012 lalu, yang mengakui kemerdekaan negara Palestina.
Penandantanganan dilakukan dalam dalam seremoni yang digelar di Vatikan, Jumat (26/6). Traktat tersebut ditandatangani setelah melewati 15 tahun negosiasi. Perjanjian tersebut secara prinsip telah disetujui bulan lalu. Namun kesepakatan itu dikecam Israel, yang menyebutnya sebagai kemunduran bagi proses perdamaian Israel-Palestina.
Meski demikian, Vatikan tetap bergeming. Bahkan Vatikan berharap pengakuan resminya akan negara Palestina ini akan membantu mendorong perdamaian dengan Israel.
Sementara itu, Otoritas Palestina akhinrya menyerahkan berkas berisi bukti-bukti kejahatan perang yang dilakukan Israel, ke Mahkamah Kejahatan Internasional (ICC) di Den Haag, Belanda, Kamis (25/6). Penyerahan bukti tersebut, terkait keinginan Palestina disidang karena aksi kejahatan perang tersebut.
"Palestina berjanji akan kooperatif dengan pengadilan, termasuk memberikan informasi relevan dan memenuhi janjinya hari ini," ujar Menteri Luar Negeri Palestina, Riad al-Malki, seperti dilansir AFP, Jumat kemarin.
"Informasi yang diberikan oleh Palestina menjadikan kasus ini menarik untuk segera dimulainya penyelidikan," imbuhnya.
Jaksa utama ICC, Fatou Bensouda pada Januari lalu telah memulai penyelidikan awal, untuk melihat apakah ada cukup bukti untuk melakukan penyelidikan kejahatan perang secara menyeluruh terhadap konflik Israel-Hamas di Gaza pada tahun 2014 lalu.
Berkas yang diserahkan Palestina terdiri atas dua dokumen. Pertama, soal dugaan kejahatan yang dilakukan Israel di Gaza selama 50 hari konflik pada Juli dan Agustus 2014 lalu. Konflik itu menewaskan 2.200 warga Palestina, yang sebagian besar warga sipil dan 73 warga Israel yang sebagian besar tentara.
Kedua, soal pendudukan Israel di Tepi Barat dan Yerusalem Timur termasuk informasi soal tahanan Palestina.
"Mendapatkan keadilan itu penting bagi para korban Palestina, baik yang sudah mati maupun yang masih hidup. Palestina telah memilih untuk mencari keadilan, bukan membalas dendam, itulah mengapa kita di sini hari ini," tandasnya.
Israel yang tidak bergabung dengan ICC menentang dengan keras upaya Palestina ini. "Ini tidak lebih dari upaya untuk memanipulasi ICC," sebut juru bicara Kementerian Luar Negeri Israel Israel, Emmanuel Nahshon.
"Kami harap jaksa (ICC) tidak akan jatuh ke dalam jebakan," imbuhnya.
Sama saja, sikap serupa juga dilontarkan kompatriot Israel, Amerika Serikat. Negara ini juga ikut mengecam langkah Palestina melaporkan Israel ke Mahkamah Pidana Internasional tersebut.
"Amerika Serikat telah menjelaskan bahwa kami menentang tindakan terhadap Israel di ICC sebagai hal yang kontraproduktif," cetus juru bicara Dewan Keamanan Nasional Alistair Baskey seperti dikutip kantor berita AFP. (bbs, dtc, cnn, afp, ral, sis)