Penghapusan Kuota Impor, MITI Sarankan Pemerintah Perbaiki Tata Kelola Daging

Penghapusan Kuota Impor, MITI Sarankan Pemerintah Perbaiki Tata Kelola Daging

RIAUMANDIRI.CO - Peneliti Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI) Pudjiatmoko sarankan memperbaiki tata kelola perdagangan daging secara total menyusul rencana Pemerintah menghapus kuota impor.


Mantan atase pertanian Tokyo, Jepang itu menyebut tanpa mengubah tata kelola yang ada, kebijakan penghapusan kuota impor akan menimbulkan kekacauan dan merugikan peternak lokal.

Rencana Pemerintah menghapus kuota impor daging yang tak kunjung terealisasi karena diduganya ada pemain baru yang bersiap masuk bisnis impor komoditas.

"Rencana pemerintah untuk menghapus kuota impor daging sapi belum terealisasi sepenuhnya karena adanya dinamika internal, termasuk diduga keterlibatan pemain baru dalam bisnis impor komoditas ini," kata Pudjiatmoko, Rabu (23/4).

Pemerintah perlu bersikap bijak dan cermat dalam menyikapi kebijakan pembebasan kuota impor, terutama untuk komoditas strategis seperti daging dan produk peternakan.

"Langkah ini tidak bisa dilihat sekadar sebagai solusi jangka pendek untuk memenuhi kebutuhan menjelang hari besar keagamaan nasional (HBKN) atau sekadar mengatasi keluhan asosiasi importir atas keterlambatan izin,” terang Pudjiatmoko.

Pudjiatmoko menambahkan kebijakan impor harus disertai pertimbangan mendalam agar tidak merusak ekosistem produksi nasional, terlebih bila hanya berujung pada pergeseran kepentingan dari satu kelompok ke kelompok lain tanpa perbaikan sistem yang mendasar.

Komitmen terhadap swasembada pangan harus tetap menjadi pijakan utama. Swasembada bukan sekadar soal produksi, melainkan juga menyangkut kedaulatan, perlindungan terhadap petani dan peternak, serta keberlanjutan ekonomi nasional.

Ia mengatakan penguatan sektor peternakan dalam negeri memerlukan konsistensi kebijakan, perlindungan pasar domestik dan dukungan terhadap rantai pasok lokal.

Ketika BUMN dilibatkan dalam kuota impor daging sapi sebesar 100 ribu ton dari total 180 ribu ton di tahun 2025, hal ini harus dibarengi dengan pengawasan ketat agar tidak menyingkirkan pelaku usaha lokal yang telah lama berinvestasi dalam negeri.

“Jika kebijakan penghapusan kuota tidak dibarengi dengan sistem yang transparan, terbuka, dan adil, maka yang terjadi hanyalah penggantian pemain, dari importir lama ke importir baru tanpa memperbaiki tata niaga secara menyeluruh," katanya.

Publik berhak mempertanyakan siapa yang sebenarnya diuntungkan dalam penghapusan kuota impor tersebut, apakah rakyat dan konsumen, atau sekelompok pelaku usaha tertentu.

Sistem kuota memang menyimpan banyak kelemahan namun penghapusannya harus diikuti dengan deregulasi yang berpihak pada kepentingan nasional dan kepastian usaha, bukan membuka celah dominasi baru dalam bentuk monopoli terselubung,” jelas Pudjiatmoko.

Karena itu, lanjut Pudjiatmoko, proses evaluasi dan harmonisasi kebijakan impor yang dilakukan oleh Kementerian Perdagangan bersama kementerian dan lembaga terkait perlu menjawab kebutuhan nyata di lapangan.

Sinkronisasi dengan neraca komoditas dan instrumen Peraturan Presiden harus menghasilkan sistem yang berbasis data, transparan, dan responsif terhadap dinamika pasar domestik. Tanpa sistem ini, pembebasan kuota hanya akan melahirkan kebingungan, persaingan tidak sehat, dan potensi disrupsi pasokan yang lebih besar.

Pemerintah harus menunjukkan arah kebijakan yang jelas dan berkelanjutan. Fokus bukan pada membebaskan impor, tetapi memperkuat kapasitas produksi dalam negeri dan memperbaiki rantai distribusi nasional.

Dukungan terhadap swasembada harus dibuktikan lewat insentif bagi peternak, kemudahan akses pembiayaan, teknologi, serta kepastian pasar.

"Jika benar ingin menciptakan harga daging yang terjangkau, konsumsi protein hewani yang meningkat, dan usaha yang kompetitif, maka solusi bukan hanya soal kuota atau izin impor, tetapi keberpihakan terhadap produsen dalam negeri," katanya.

"Swasembada bukanlah mimpi, selama kebijakan tidak dikorbankan demi kepentingan jangka pendek atau sekadar ganti pemain,” ulasnya.

Karena itu, Pemerintah perlu menyampaikan secara transparan dasar evaluasi dan rencana implementasi penghapusan kuota impor, termasuk siapa saja pihak yang akan memperoleh akses impor. Perlu dilakukan audit terhadap kebijakan kuota impor sebelumnya untuk mengidentifikasi potensi konflik kepentingan atau praktik monopoli tersembunyi.

Dalam proses transisi kebijakan, jaminan terhadap kontinuitas pasokan daging dan kestabilan harga di pasar harus menjadi prioritas. Program swasembada daging harus dikawal dengan indikator yang terukur, bukan hanya bergantung pada masuknya investor asing atau BUMN semata.

"Keterlibatan swasta yang berpengalaman dan kredibel harus tetap dijaga untuk memastikan kompetisi sehat dan efisiensi distribusi komoditas pangan strategis,” tandas mantan peneliti BRIN ini. (*)



Tags Ekonomi

Berita Lainnya