Hari Kartini 2025: Momentum Evaluasi Keberpihakan Hukum terhadap Perempuan

Hari Kartini 2025: Momentum Evaluasi Keberpihakan Hukum terhadap Perempuan

Riaumandiri.co - Dalam semangat Hari Kartini 2025, suara perempuan dalam dunia hukum kembali menggema. Di antara gema itu, Wita Sumarni mencoba bersuara.


Advokat perempuan asal Riau ini telah lebih dari satu dekade berdiri di garis depan, mendampingi korban kekerasan, memperjuangkan keadilan, dan mendorong kesetaraan gender di tengah sistem hukum yang masih jauh dari kata ideal.



"Hari Kartini bukan sekadar seremoni. Ini momentum untuk bertanya: sudahkah hukum berpihak pada yang tertindas?," tegas Wita, Founder sekaligus Owner LBH Pelita Keadilan 99, dalam refleksinya menyambut Hari Kartini tahun ini.


Wita menyoroti berbagai persoalan krusial yang dihadapi perempuan dalam ranah hukum, mulai dari minimnya pemahaman hukum di desa hingga bias gender dalam proses penegakan hukum. Meski jumlah perempuan dalam profesi hukum meningkat, ia menilai substansi keadilan belum benar-benar dirasakan.


Bagi Wita, kehadiran aparat dan sistem hukum sering kali belum menjamin perlindungan yang berpihak. Ia mengungkapkan, banyak korban kekerasan dalam rumah tangga dan pelecehan seksual yang memilih diam karena takut stigma, tak percaya pada proses hukum, atau bahkan tidak tahu bahwa mereka memiliki hak untuk melawan.


"Di banyak desa, korban justru merasa menjadi aib keluarga jika bicara. Bahkan ada yang tidak tahu bahwa mereka bisa melawan secara hukum. Ini krisis kesadaran hukum yang berbahaya," jelas Wita yang juga merupakan pengurus DPC Peradi SAI Pekanbaru.


Ia juga menyoroti buruknya penanganan kasus oleh aparat. Mulai dari pertanyaan yang menyudutkan korban hingga proses yang berlarut-larut dan tidak berpihak.


"Ada korban pelecehan yang malah ditanya soal pakaian yang mereka kenakan, atau dimintai kronologi berkali-kali oleh polisi berbeda tanpa pendampingan. Itu memperburuk trauma," tambah Wita.


Selain kekerasan, Wita mengangkat isu kriminalisasi perempuan dalam kasus narkotika. Ia menilai banyak perempuan yang bukan pelaku utama, melainkan korban eksploitasi pasangan atau tekanan ekonomi.


"Banyak yang dipaksa jadi kurir oleh pasangannya, atau karena kondisi ekonomi yang terjepit. Tapi sistem hukum belum melihat konteks itu. Padahal mereka seharusnya dibina, bukan langsung dihukum berat," tegas dia.


Dalam perkara perceraian, Wita menggarisbawahi lemahnya perlindungan terhadap hak-hak perempuan dan anak. Minimnya pemahaman hukum membuat banyak perempuan kehilangan hak atas harta bersama maupun hak asuh anak.


"Perempuan sering berada di posisi tidak setara secara ekonomi dan hukum saat bercerai. Banyak yang pasrah karena tidak tahu cara memperjuangkan haknya. Ini jadi PR besar kita di dunia hukum," ungkapnya.


Menurut Wita, solusi mendasar adalah memperluas pendidikan hukum berbasis gender, baik kepada aparat penegak hukum maupun masyarakat umum. Ia menekankan bahwa keadilan bukan sekadar soal prosedur, tapi soal keberpihakan.


"Kesadaran gender bukan cuma soal pelatihan teknis. Ini soal cara pandang. Keadilan bukan hanya prosedural, tapi harus berpihak pada mereka yang rentan," jelasnya.


Ia juga mendorong pembentukan lebih banyak ruang aman bagi perempuan, seperti rumah aman, layanan hukum gratis, pusat konsultasi komunitas, hingga advokasi berbasis desa. Selain itu, perlindungan terhadap pembela Hak Asasi Manusia (HAM), terutama advokat perempuan yang sering menghadapi intimidasi, juga menjadi sorotannya.


Di tengah sistem hukum yang masih banyak menyisakan ketimpangan, Wita Sumarni hadir sebagai Kartini masa kini. Ia bukan hanya berbicara dari balik meja hukum, tapi terjun langsung ke ruang sidang dan pelosok desa, menantang pasal-pasal yang tidak ramah perempuan.


"Hari Kartini bukan seremoni tahunan. Ini saatnya kita bertanya, sudahkah hukum kita berpihak pada yang tertindas? Sudahkah suara perempuan benar-benar didengar dalam pengambilan kebijakan?," pungkasnya.


Dengan suara lantangnya, Wita menyuarakan harapan dan perjuangan yang belum selesai. Bahwa hukum harus hidup, dan keadilan harus berpihak, terutama kepada mereka yang paling rentan.



Berita Lainnya