Dibahas Senyap, Koalisi Masyarakat Sipil Kecam Revisi UU TNI

Riaumandiri.co - Rencana revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) menuai kecaman luas dari masyarakat sipil.
Pasalnya, tak hanya subtansinya dinilai bermasalah, pembahasannya pun digelar senyap oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di sebuah hotel Jakarta.
Sebanyak 34 organisasi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Advokasi HAM Internasional (HRWG) menilai bahwa revisi ini tidak hanya mengancam profesionalisme militer, tetapi juga mencederai komitmen Indonesia di forum Hak Asasi Manusia (HAM) internasional.
"Draf revisi UU TNI dinilai bertolak belakang dengan rekomendasi berbagai mekanisme HAM internasional, seperti Komite Hak Sipil dan Politik (CCPR), Universal Periodic Review (UPR), serta instrumen HAM global seperti Statuta Roma ICC dan Konvensi Anti-Penyiksaan (CAT)," ujar koalisi dalam siaran persnya, Minggu (16/3).
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mendesak agar DPR dan Presiden menghentikan pembahasan revisi UU TNI yang tidak sejalan dengan agenda reformasi, yang justru melegitimasi bangkitnya praktik dwifungsi ABRI dan membawa Indonesia ke rezim Neo Orde Baru.
Tak hanya itu dalam pernyataan tertulisnya, YLBHI juga mendesak DPR dan Presiden harus terbuka dan memastikan adanya ruang partisipasi revisi TNI dilakukan untuk memperkuat agenda reformasi TNI dalam tegaknya supremasi Sipil, konstitusi, demokrasi dan perlindungan HAM.
Ketua YLBHI Muhammad Isnur mengatakan DPR dan Presiden melalui usulan revisinya justru akan menarik kembali TNI dalam peran sosial politik, bahkan ekonomi-bisnis. Padahal, di masa Orde Baru terbukti tidak sejalan dengan prinsip dasar negara hukum dan supremasi sipil serta merusak sendi-sendi kehidupan demokrasi.
“Selain itu, revisi UU TNI justru akan mengancam independensi peradilan dan memperkuat impunitas/kekebalan hukum anggota TNI. Jika hal ini dibiarkan akan berdampak serius pada suramnya masa depan demokrasi, tegaknya negara hukum dan peningkatan eskalasi pelanggaran Berat HAM di masa depan,” kata Isnur Minggu (16/3) dalam keterangan persnya.
Isnur menyampaikan penambahan komando teritorial adalah inti dari dwifungsi. Menurut dia, sistem ini dipertahankan sebagai basis kekuatan angkatan bersenjata di daerah-daerah, yang memungkinkan mereka mengakses sumber-sumber ekonomi di akar rumput (berhadapan dengan rakyat), dan mempertahankan peran mereka sebagai pemain penting dalam politik lokal.
Masyarakat Sipil Riau, Pram tegas menolak segala macam tindakan represi terhadap rekannya warga sipil yang mengutarakan suaranya.
"Tentu saya menolak dengan tegas atas hal ini dan mengecam keras segala bentuk represi dan teror terhadap teman teman warga sipil dalam mengutarakan suaranya, sangat jelas tercium hantu Orba bangkit," katanya.
Ia meminta agar TNI bekerja sesuai keahliannya tidak mengambil ranah dan kewajiban sipil .
"Ya kegagalan reformasi ini mesti kita perbaiki bersama, sudahlah bapak bapak TNI kerja sesuai keahlian masing-masing. Biarkan kami warga sipil yang mengerjakannya, Pak Prabowo juga bilang efisiensi dimana mana tapi menambah kelembagaan setingkat menteri untuk TNI bukanlah hal yang bijak," tegasnya.
Pengamat Hukum Tata Negara UNRI, Zulwisman, S.H., M.H menilai apabila seorang anggota TNI ingin menduduki jabatan sipil, maka wajib baginya untuk mundur dari keanggotaan militernya.
"Ya harus dan wajib mundur dari TNI," katanya.
Karena ia menambahkan bahwa di berbagai UU yang ada, TNI dilarang untuk merangkap jabatan.
"Sebaiknya tidak, karena di berbagai UU kita dilarang merangkap jabatan," ujarnya.
Berita Lainnya
- Wali Kota Risma Usir Pesepeda Nongkrong: Ayo Bapak Ibu Segera Pulang
- Patrialis Diduga Terima Suap Rp2,15 M
- Pemko Medan Diminta Batasi Tempat Penjualan Minuman Beralkohol
- Pemprov Sumut Harus Kaji Pemindahan Markas TNI AU
- Masjid Sriwijaya Menjadi Daya Tarik Baru di Palembang
- Misbakhun: Imbasnya Lihat di Pemilu 2019